Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Juni 2018 19:33 wib
3.454 views
Tegar di Jalan Yang Benar
Sahabat VOA-Islam...
Adalah hal yang patut disyukuri, Allah karuniakan nikmat Islam dan Iman. Dua nikmat luar biasa yang menjadi legalitas kepemilikan property masa depan, tanah surga.
Keduanya adalah oase yang meredam panasnya bola opini, yang saat ini sengaja digelindingkan kepada kaum muslimin dengan berbagai framing negatif oleh media mainstream. Keluasan oase ini tentunya kian bermakna dengan tambahan nikmat terpilihnya kita menjadi bagian dari kafilah dakwah, yang berorientasi menyuburkan kembali bumi Allah dengan Islam kaaffah.
Sungguh kenikmatan dan kesempatan yang luar biasa. Di saat kafilah ini berusaha dihadang dan diceraiberaikan dengan aneka makar, ukhuwah di dalamnya masih menguatkan satu sama lain agar senantiasa berpegang teguh pada tali agama Allah, agar tetap menjadi sosok kuat pembela Islam, sosok tegar di atas kebenaran.
Ketegaran Anda Menggagalkan Makar
Ketegaran (assabath) dalam menggenggam bara Islam dimaknai sebagai sikap kokoh, tidak mundur karena halangan, tidak lemah karena ancaman, tidak rusak karena serangan, dan tetap tegak untuk maju pantang mundur dalam membela kebenaran. Ketegaran ini mewujud dalam kesolidan. Yang terbaca pada sikap dan keyakinan atas apa yang kita emban, yakni Islam. Islam adalah kebenaran yang berasal dari Al Khaliq Al Mudabbir, sehingga tidak perlu ada keraguan dalam mengemban Islam ini hingga Allah menetapkan kemenangan.
Tegar dalam mengemban Islam mengharuskan adanya sifat teguh untuk tidak terbawa angin, agar tidak goyang-goyang saat kereta kafilah dakwah kian melaju ataupun kian mendapatkan goncangan. Keteguhan dapat bertahan dengan keyakinan bahwa Allah akan memberikan kemenangan bagi orang-orang beriman.
Kokohnya keyakinan ini terbangun dari iman akan isi kitabnya (QS Muhammad ayat 7 dan semisalnya) yang secara eksplisit menyampaikan bahwa dengan semakin kokoh azzam untuk menolong agama Allah maka kemauan membela agama Allah akan semakin besar, akan semakin giat dalam mengemban-menjaga-dan mendakwahkan Islam, maka akan semakin dikokohkan lagi pendirian yang sudah tertanam tersebut.
Kemurahan Allah menambah kekokohan azzam bagi mereka yang mengemban Islam dengan tegar, menjadikan keridloan Allah mengalir deras. Allah akan senantiasa menjaga hambaNya yang berjuang dengan caranya. Allah akan memberikan skenario-skenario menggapai kemenangan dengan jalan dan inspirasi yang datangnya tak terduga. Allah jua yang akan mengembalikan segala makar penjegal Islam kepada para pembuatnya hingga gagal total tak berpengaruh apa-apa.
Sirah mengisahkan yang demikian sebagaimana peristiwa luluh lantaknya musuh di perang khandaq. Tarikh pun menyebutkan keteguhan pasukan muslim di bawah pimpinan Amru bin Ash melawan Romawi di masa Abu Bakar. Dan banyak lagi kisah yang menunjukkan bagaimana ketegaran menjadikan sebab Allah menggagalkan segala makar.
Melayakkan Diri Mendapatkan Kemenangan
Kendati pertolongan Allah berupa kemenangan Islam adalah keniscyaan, namun pada siapa dan kapan diberikan adalah hak prerogative Allah semata. Hak ini mendudukkan sebagai pemilik pasti kemenangan, Allah mengisyaratkan bahwa hanya kepadaNya semata permintaan pertolongan dipanjatkan dan hanya dengan kebenaran dariNya saja kemenangan itu diperjuangkan.
Sebab di dalam al Quran kata kemenangan ini bersifat umum. Bisa kemenangan berupa pertolongan dimenangkannya Islam atas ideologi dan agama lainnya ataupun kemenangan berupa pertolongan kepada kaum muslimin yang mengimani semua perkara yang dibawa Rasul.
Namun tidak semua muslimin bisa mendapatkan kemenangan, sebab tidak semuanya turut berjuang. Hanya mereka yang terpilih yang masuk verifikasi mendapatkan kemenangan. Merekalah yang dijuluki dengan Thoifah al manshurah. Mereka selalu berpegang pada kebenaran Islam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, bahwasannya Rasulullah bersabda: “akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang menang di atas kebenaran. Tidak adak pernah membahayakan mereka orang yang menentang mereka hingga datanglah urusan Allah (kemenangan, -hari kiamat di syarah lain) dan mereka berpegang teguh pada kebenaran”.
Adapun kriteria lolos verifikasi tersebut meliputi: pertama, kualifikasi iman dengan standar aqidah aqliyah dan aqidah siyasiyah yang dicapai dengan jalan berpikir level mustanir. Kedua, mereka yang berniaga dengan Allah dan bersungguh-sungguh dengan mengorbankan apapun demi kemenangan, sebagaimana disebutkan dalam QS Ash Shaf ayat 10-13.
Jika kedua syarat lolos verifikasi tersebut sudah ada pada muslim -terlebih yang menggabungkan diri pada kafilah dakwah-, namun pertolongan Allah belum juga datang, maka ujian kesabaran sedang dimainkan. Ujian kesabaran itu sejatinya adalah pertanyaan besar “apakah kita sudah layak ditolong oleh Allah atau belum?” ataukah “arah perjuangan yang sedang ditempuh sudah benar atau belum?”. Jawaban pertanyaan kedua sudah dikaji dan dianalisis oleh yang berkompeten di bidangnya. Dan hasilnya dengan keyakinan pasti bahwa jalan bagi kafilah dakwah ini sudah tepat, on the right track.
Sedangkan untuk pertanyaan pertama, jika jawaban belum potensinya lebih besar, maka disitulah pentingnya setiap individu yang ter-ikut di dalam kafilah dakwah ini bersegera mematutkan diri. Sebab kelayakan datangnya pertolongan untuk kemenangan ini sama sekali tidak dihitung dari banyaknya individu di dalam kafilah dakwah tersebut. Tapi dilihat dari kepatutan mereka menerimanya, meskipun sebenarnya jumlah individu ini juga penting.
Kepatutan atau kelayakan individu menjadi penerima pertolongan hakikatnya melekat pada karakter, yakni karakter berupa kedekatan seorang hamba kepada Rabbnya. Karakter ini terlihat pada level mana individu yang muta’abid ini memposisikan dirinya pada aktivitas dakwah.
Level pertama adalah posisi pengamat, yakni berada dalam kafilah dakwah namun tenang dan duduk manis mengamati kesibukan yang lainnya dalam menyelasaikan amanah besar yang harusnya diselesaikan banyak orang. Level kedua adalah posisi penikmat. Mereka adalah kumpulan orang yang bergabung dalam jamaah, melakukan hijrah dari jahiliyah menuju keterikatan pada hukum syariat namun membatasi dalam hal kajian tsaqafah semata.
Rajin hadir di forum, rajin melahap tulisan media, namun geraknya pasif tanpa udzur syar’I dan terkesan lalai. Di level ini mereka pun secara tidak sadar telah memposisikan diri sebagai sekedar pendengar yang baik, bukan pionir, apalagi pendobrak kejumudan. Dan posisi inilah yang cenderung sakit lalu menularkan penyakitnya kepada yang lain. Level ketiga adalah pejuang sejati.
Mereka yang tidak mencukupkan berhenti pada kajian dan kepuasan intelektual ataupun sekedar menggugurkan kewajiban. Mereka melakukan rutinitas dalam rangka menyiapkan bekal untuk berkorban dan berkontribusi sebesar mungkin dalam medan dakwah Islam. Namun sayangnya level ini pengisinya tidak banyak. VVIP.
Level yang memiliki jumlah besar ada pada level kedua. Bergerumbulnya pengemban Islam pada posisi ini adalah indikasi jumlah besar namun aktifitas minim.
Terkait hal ini Rasulullah bersabda: “manusia laksana unta yang banyaknya 100, tapi hampir-hampir engkau dalam kumpulan yang banyak itu tidak menemukan satu untapun yang bisa dijadikan tunggangan” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad). Inilah yang menjadikan banyak potensi dahsyat menjadi tersia-siakan. Apa yang diberikan untuk Islam bukan lah yang terbaik, menyelisihi dalil “sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ahmad).
Dan tentu hal ini layak diperhatikan ulang, bagaimana mungkin untuk memperjuangkan Islam diberikan yang kurang baik (sisa-sisa,-pen), sementara untuk urusan makanan saja diminta yang baik (al Maidah 88), untuk sedekah pun juga demikian (al Baqarah 267).
Posisi VVIP tadi adalah perlu diupayakan serius untuk diraih. Upaya pertama yang dapat dilakukan adalah dengan me re-call kembali azzam menjadi pembela Islam, disertai niat seirus meneladani Rasul, menjadikan kehidupannya adalah kehidupan dakwah.
Selanjutnya niat kuat ini harus didukung dengan alat yang canggih dan mumpuni, yakni bekal ilmu dan iman yang harus dipersiapkan juga dengan sekuat tenaga agar mampu menghujamkan hararah mabda di tempat yang dipijak.
Dua tahapan ini perlu dimulai dan dikerjakan secara istiqomah sembari diukur capaian hariannya melalui aktivitas menghisab diri sendiri sesering mungkin. Dan tentunya semuanya akan terlaksana jika self power yang menjadi energi utama kuat, senantiasa terisi dengan ketundukan dan kedekatan kepadaNya melalui taqarrub ilallaah.
Hanya dengan paradigma hidup yang benar, taqarrub yang benar, dan bersama kafilah di jalur dawah yang benar semata akan diperoleh sikap tegar di jalan yang benar. Wallaahu Muwaffiq ila Aqwamith Thariiq. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Arin RM
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!