Jum'at, 29 Jumadil Akhir 1446 H / 8 Juni 2018 10:03 wib
5.041 views
Homeschooling Lahirkan Teroris Anak?
Oleh:
Triana Arinda Harlis, ST
LEDAKAN bom yang terjadi pada 13 Mei lalu di Sidoarjo, Jawa Timur menyisakan berbagai perbincangan. Hal yang menarik dari tragedi tersebut adalah turut meninggalnya anak pelaku pengeboman yang masih berusia 10 hingga 17 tahun. Anton dan istrinya diduga melibatkan anak-anak mereka dalam tindakan terorisme dengan meledaknya bom di Rusun Wonocolo, Taman, Sidoarjo.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mewaspadai keterlibatan anak dalam aksi terorisme sebagai modus baru dengan cara mendoktrin anak selama terus-menerus oleh pelaku. Arist menambahkan bahwa usia anak-anak memang sangat rawan dan mudah untuk dipengaruhi sebab mereka masih memasuki usia masih rentan.
Terkait anak-anak pelaku teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengakui sulit mengawasi penyebaran paham radikalisme yang berpotensi menyebar melalui sekolah informal, khususnya sekolahrumah atau homeschooling tunggal yang diadakan oleh orang tua dalam satu keluarga. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Harris Iskandar tak menampik homeschooling tunggal mungkin menjadi sarana baru bagi orang tua mengajarkan radikalisme pada anak. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180518184741-20-299392/pemerintah-sulit-awasi-radikalisme-lewat-homeschooling)
Sebelum memberikan penilaian kepada proses pendidikan pada homeschooling berkaitan dengan terorisme, perlu pengkajian lebih jauh mengenai faktor penyebab menjamurnya homeschooling di Indonesia. Sekolah di rumah atau yang lebih dikenal dengan sebutan homeschooling belakangan ini kian banyak diminati dan jumlahnya kian banyak. Berdasarkan data Kemendikbud tahun 2015, ada 11.000 anak usia sekolah yang homeschooling. Setidak-tidaknya keberadaan homeschooling akan memenuhi sekitar 10% dari total jumlah anak di Indonesia (Kurniasih, 2009).
Di Amerika Serikat, pernah ada survey oleh National Center of Education Statistics (1999) mengenai alasan sebuah keluarga memilih homeschooling. Dari survey itu terpetakan alasan-alasan itu. Tiga alasan tertinggi sebuah keluarga memilih homeschooling adalah memberikan pendidikan yang lebih baik di rumah (48.9%), alasan agama/keyakinan (38.4%), dan lingkungan yang buruk di sekolah (25.6%)
Di Indonesia, homeschooling prakteknya sudah lama ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja dahulu belum memakai istilah homeschooling tetapi lebih terkenal dengan belajar otodidak. Keberhasilan Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara ternyata didapat tanpa menjalani pendidikan formal.
Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktikan homeschooling, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006). Homeschooling yang lebih modern di Indonesia mulai marak terjadi pada tahun 2005. Kehadirannya lebih dilatarbelakangi sebagai upaya mengantisipasi keberadaan sekolah (pendidikan formal) yang tidak merata ditiap-tiap daerah. Selain itu ada pula motivasi untuk memperkaya bentuk dan ragam pelaksanaan pendidikan khususnya anak berbakat / memiliki potensi khusus (Sugiarti, 2009).
Menyikapi anak-anak pelaku terorisme yang menjadi korban ledakan bom perlu kehati-hatian. Jangan sampai adanya pernyataan sulitnya mengawasi benih radikalisme dalam homeschooling mengantarkan arah pikir masyarakat pada generalisasi bahwa homeschooling adalah tempat menanamkan doktrin teroris. Penggunaan istilah terorisme dan radikalisme secara sembarangan yang berseliweran utamanya di media sosial membuat kelompok masyarakat satu menuduh kelompok lain sebagai teroris dan radikal tanpa adanya dasar yang jelas. Bahkan dari penilaian fisik dan opini yang dangkal. Yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah saat ini adalah menjelaskan dengan gamblang apa yang dimaksud dengan terorisme dan radikalisme kepada masyarakat luas. Penjelasan yang benar akan mengedukasi masyarakat mengantisipasi tindakan terorisme di lingkungannya.
Lebih jauh lagi, pemerintah memiliki kewajiban menyediakan pendidikan untuk masyarakat yang lebih baik dari segala aspek. Kurikulum, tenaga pendidik, manajemen, gedung, fasilitas belajar, mekanisme evaluasi, akses, biaya dan banyak hal lain yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kita. Sebagaimana pendapat Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Prof Din Syamsudin, bahwa terorisme tak melulu soal ideologi. Din menegaskan, terorisme bukan semata aksi kriminal luar biasa, tetapi ada dimensi intelijen, politik, dan ekonomi. Termasuk faktor geopolitik global. Kesenjangan ekonomi, tidak meratanya akses menikmati fasilitas sosial menjadi salah satu faktor pemicu seseorang melakukan tindakan teror kepada khalayak umum.
Menariknya, alasan agama dan keyakinan menjadi penyebab nomor dua terbesar dari alasan orang tua memilih pendidikan homescholing. Orang tua menilai ajaran agama yang disampaikan oleh kurikulum pendidikan yang ada belum sempurna membentuk anak berkepribadian yang diinginkan oleh agama. Patut dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk menjadikan anak-anak mereka lebih mulia dengan agama. Masyarakat menilai bahwa pembelajaran tentang attitude, etika, akhlaq, moral, ketaatan terhadap ajaran Tuhan dan hal-hal transedental lebih bernilai daripada tingginya kemampuan akademis dan intelektual, meskipun hal itu juga penting.
Apalagi Islam sebagai agama paripurna memiliki ajaran mencakup berbagai aspek kehidupan di antaranya ibadah, makanan, rumah tangga, pergaulan, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga politik dan pemerintahan. Oleh karena itu agama perlu diajarkan secara sempurna, menyeluruh, tanpa menutupi dan menyembunyikan sebagiannya. Karena pemahaman yang salah terhadap agama, sebagai salah satu pendorong aksi terorisme, berawal dari pengetahuan yang setengah-setengah atas ajaran agama.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!