Rabu, 27 Jumadil Awwal 1446 H / 30 Mei 2018 23:31 wib
3.671 views
Kampanye No! Pendidikan Politik Yes!
Oleh: Fadh Ahmad Arifan
Tak terasa kita memasuki tahun politik. Tahun dimana kandidat kepala daerah, kandidat anggota legislatif dan tim pemenangan Partai politik bersiap-siap berlaga di Pilkada serentak bulan Juni 2018 dan juga perhelatan Pilpres 2019. Alhasil, wajib bagi mereka untuk kampanye.
Kampanye adalah aksi atau gerakan serentak untuk berpropaganda (Kamus Bahasa Indonesia, 2008, hal 627). Dalam konteks politik praktis, kampanye adalah gerakan mempropagandakan profil dan program-program individu maupun Partai politik kepada masyarakat.
Model kampanye terdiri dari dua macam. Kampanye damai, yakni dengan cara santun dan kampanye Hitam, yakni dengan menjatuhkan lawan politik.
Mempropagandakan program-program partai bisa memakai media apapun. Televisi, radio, koran dan media sosial. Asalkan di dalam muatan kampanye tidak mengandung unsur rasisme, hoax dan pornografi. Selain itu, hendaknya tidak memesan lembaga survei tertentu untuk menggiring opini publik.
Dari segi waktu kampanye, KPU dan KPUD sudah menentukan jadwal sekaligus larangan keras menggunakan fasilitas negara (lihat Pasal 84 ayat (1) huruf h UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif)
Namun, ada yang masih jadi perdebatan. Misalnya bagaimana jika di saat pengajian, tabligh akbar bahkan Khutbah jumat terlebih itu di dalam Masjid, seorang politikus atau tim pemenangan melakukan kampanye?
Menjawab persoalan diatas, perlu saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Awal mula kampanye di masjid sebenarnya sudah muncul sebelum adanya partai politik dan dilaksanakannya sistem voting.
Adalah Muawiyah bin Abu sufyan sosok yang pertama kali menggunakan masjid untuk berkampanye bahkan menjatuhkan lawan politiknya yakni Khalifah Ali bin abi thalib. Ia memanfaatkan kasus pembunuhan Khalifah Usman. Tak lupa membangkitkan kemarahan pendukungnya dengan memperlihatkan di dalam masjid Damaskus barang-barang peninggalan Usman bin affan beserta potongan jari istrinya Khalifah Usman (Lihat Syed Mahmudunasir, Islam konsepsi dan sejarahnya, hal 197).
Dari Damaskus beralih ke DKI Jakarta. Januari 2017 masih lekat dalam ingatan saya akan ceramah salah satu kandidat gubernur di Masjid al-Azhar. Dikutip dari detik.com, "Nanti silakan semua yang disini menentukan pilihan bulan depan. Saya nggak boleh kampanye kalau di masjid. Karena nggak boleh kampanye jadi saya bicara Qiyamul lail saja".
Apa yang dilakukan kandidat ini berbeda dengan Muawiyah. Kandidat ini sudah menghormati fungsi masjid di era modern. Dimana ketika di dalam masjid tidak boleh bicara urusan lain seperti dagang dan urusan duniawi lainnya seperti politik praktis yang akan menimbulkan pertengkaran, salah paham dan hal-hal lain.
Syeikh Mutawalli Asy-Sya'rawi berkata "Orang yang masih melakukannya (bicara dagang dan urusan duniawi) tidak akan mendapat berkah, malah ia akan mendapat kerugian" (Anda bertanya Islam Menjawab, Gema insani, 2005, hal 219).
Pengurus masjid harus berani menolak politikus dan tim pemenangan partai yang melakukan kampanye politik. Baik melalui ceramah, tebar kalender hingga memasang spanduk.
Bukan hanya pengurus masjid, pengasuh pondok pesantren wajib menolak jika ada politikus tertentu, terlebih lagi politikus itu non Muslim berkampanye di pesantrennya. Jangan diberi peluang ia tampil berceramah di dalam masjid, acara harlah pesantren bahkan perayaan hari besar Islam.
Saya khawatir marwah masjid sebagai tempat merekatkan ukhuwah akan amburadul seketika akibat ceramah yang disusupi kampanye dan budaya menjatuhkan lawan politik seperti yang dilakukan Muawiyah kepada Khalifah Ali. Sesuai pesan surah An-Nahl ayat 125, dakwah itu menyeru manusia ke jalan Allah swt, bukan menyeru kepada golongan atau partai.
Saya lebih suka bilang begini : "Kampanye NO!, Pendidikan politik YES!!". Yang jelas tidak diharamkan berceramah atau bertausyiah di masjid yang muatannya berupa "Pendidikan Politik". Contohnya : Menelisik hadis-hadis Nabi tentang Khilafah, metode pengangkatan Khalifah, bagaimana Koalisi menurut Islam, hukuman bagi kaum pemberontak (bughat), kebijakan Daulah terhadap non Muslim dan bolehkah memilih Presiden perempuan.
Topik-topik yang disampaikan sangat berguna agar umat Islam yang awalnya awam menjadi mendapat wawasan baru di bidang politik. Sekali lagi saya tegaskan, silahkan memberi pendidikan Politik, tapi jangan memakai masjid untuk berkampanye baik untuk mempromosikan diri sendiri maupun partai politik. Wallahu'allam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!