Senin, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Maret 2018 18:55 wib
3.712 views
Kritik Penguasa Zaman Now, Siap Diancam Pasal Karet
Oleh: Siti Saodah, S.Kom (Aktivis Forum Mahasiswi Muslim Cirebon)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berusaha membangkitkan kembali pasal karet yang mengatur kritik kepada penguasa. Mulanya pasal yang mengatur penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden sudah disuntik mati oleh Mahkamah Konstitusi dengan dikeluarkannya surat putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (31/01/2008/Kompas.com).
Pasal penghinaan terhadap Penguasa tersebut tercantum di dalam pasal 134, pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP. Pencabutan pasal karet tersebut sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam.
Menurut Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden perlu diatur lebih tegas di dalam KUHP (Kompas.com). Berbeda dengan Fadli Zon mengatakan ia menolak pasal penghinaan Presiden di dalam revisi UU KUHP, ia menilai pasal tersebut membuat demokrasi mengalami kemunduran. Pemerintah mengatakan bahwa dengan adanya pasal tersebut dapat menjaga kewibawaan Presiden dan Wakil Presiden. Namun hal itu dibantah oleh Fadli Zon yang mengatakan bahwa jika Pemerintah ingin menjaga kewibawaan yaitu dengan kinerja bukan dengan adanya aturan yang mampu dijadikan senjata penguasa (3/2/2018/merdeka.com).
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pembuatan Undang – Undang di dalam sistem demokrasi tidak diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat namun hanya menguntungkan mereka para penguasa. Banyak produk Undang-Undang lebih berpihak pada kapitalis. Revisi UU KUHP di dalamnya memasukkan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang dampaknya akan melegitimasi penguasa dari anti kritik. Hasil dari pasal penghinaan terhadap penguasa sebetulnya sudah banyak memakan korban.
Seorang Mahasiswa Monang Johannes Tambunan divonis dengan dakwaan menghina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melakukan aksinya menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di depan istana pada 25 Januari 2005 dan dijatuhkan hukuman penjara selama enam bulan, dikutip dari (2/2/2018/tirto.id). Pasal penghinaan terhadap penguasa tersebut sudah beberapa kali berhasil memenjarakan orang yang mengeluarkan kritik kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Seperti dilansir dari (tirto.id) bahwa Redaktur Harian Rakyat yaitu Supratman dijerat pasal 137 ayat (1) KUHP tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina Presiden dan Wakil Presiden yang dikarenakan judul pemberitaannya dianggap menghina Presiden Megawati saat itu. Dilansir dari (2/2/2018/tirto.id) yang mengambil dari hukumonline, dia Supratman divonis hukuman penjara selama enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan.
Mereka yang bersuara lantang membela kepentingan rakyat dan menentang kebijakan pemerintah dijerat dengan pasal karet yang anti kritik. Suara-suara lantang tersebut dibungkam dan tak mampu lagi bebas mengeluarkan pendapat.
Bukankah Demokrasi sesungguhnya menjamin dan melindungi hak warga negaranya untuk bebas mengeluarkan pendapat dihadapan pengusa? Karena demokrasi menjanjikan kebebasan berbicara, berkumpul, berkeyakinan, dan bertingkahlaku. Namun hakikat Penguasa di sistem demokrasi saat ini hanya dijadikan alat kepentingan kelompok tertentu dan menguntungkan segolongan orang saja.
Kondisi antikritik terhadap penguasa amat bertentangan dengan Islam. Islam memandang seorang penguasa adalah sebagai Junnah (Perisai) seperti di dalam Hadits berikut ini:
“Sesungguhnya Al – imam (khalifah) itu adalah perisai, dimana (orang – orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dan berlindung dari musuh dengan kekuasaannya.” (HR. Al – Bukhari, Muslim, Ahmad, dll).
Abu Said Al Khudzri berkata, Rasulullah Saw bersabda "Jihad yang paling afdhal adalah menyatakan keadilan dihadapan penguasa yang zalim" (HR. Abu Dawud, at -Tirmidzi, Ibnuh Majah dan Ad-Dailami).
Penguasa di dalam Islam ia menjadikan dirinya pelayan umat dan tempat berlindung umat. Penguasa Islam akan selalu membutuhkan umat untuk senantiasa mengoreksi setiap sikap dan kebijakan. Penguasa Islam tak ingin sikap dan kebijakan yang telah dilakukan dapat menyengsarakan umat bahkan membawa kemungkaran di tengah - tengah umat. Oleh karena itu penguasa di dalam islam faham betul kewajibannya dan tindakan yang dilakukan akan Allah mintai pertangungjawaban dihadapan Nya.
Seperti yang telah diriwayatkan hadits di atas bahwa kewajiban mengoreksi penguasa dan menyatakan keadilan di hadapan penguasa merupakan jihad yang afdhal. Amar makruf nahi munkar dihadapan penguasa adalah wajib.
Selain aktivitas tersebut merupakan wajib karena setiap kebaikan dan keburukan penguasa itu akan menentukkan baik dan buruknya masyarakat. Oleh sebab itu sikap dan kebijakan yang diambil penguasa berpengaruh kepada semua orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Karena itu amar makruf nahi munkar kepada penguasa mengantarkan pada baiknya masyarakat dan mencegah kerusakan masyarakat banyak selain menghindarkan kepada kezaliman penguasa. Maka tak aneh jika amar makruf nahi munkar kepada penguasa termasuk kedalam afdhal al jihad. Waallahualam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!