Selasa, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Februari 2018 18:27 wib
3.349 views
Tidak Hanya Darurat Pemimpin yang Amanah
Oleh: Nurhaliza Permana
(Mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang)
Menjadi seorang pemimpin merupakan sebuah amanah besar yang harus dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Sebab pemimpin adalah pelayan umat.
Dalam Islam tugas dan kewajiban pemimpin adalah menjamin terpeliharanya urusan-urusan dan kemaslahatan rakyat. Hal kepengurusan terhadap rakyat inilah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Nabi SAW bersabda : "Imam adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diutusnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena mengenang pertanggungjawaban yang sangat besar di hadapan Allah SWT kelak, tak sedikit para pemimpin dalam Islam yang menangis tersedu-sedu saking takutnya memikul amanah yang sangat besar tersebut. Dikisahkan Umar bin Al-Khaththab menangis ketika diangkat menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Ash-shiddiq.
Fakta Pemimpin Saat Ini
Namun hari ini banyak yang berlomba-lomba menjadi pemimpin, entah itu pemimpin suatu wilayah atau pemimpin suatu kelompok /organisasi. Banyak yang berpandangan bahwa menduduki suatu jabatan tinggi adalah suatu kebanggaan. Mereka menghalalkan segala cara demi meraih dan melanggengkan jabatan tersebut. Mulai dari janji-janji manis saat berkampanye hingga berbagai pencitraan agar dipilih kembali sebagai pemimpin.
Dikutip dari http://nasional.kompas.com, saat masa kampanye Joko Widodo mengaku akan menghentikan kebijakan impor pangan jika ia terpilih menjadi presiden 2014 bersama wakilnya, M Jusuf Kalla. Menurut Jokowi, Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dengan tanah yang subur ini seharusnya jadi negara pengekspor.
"Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok," kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/7/2014).
Namun janji tersebut hanya dibibir saja, karena pada praktiknya kini pemerintah Indonesia mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton. Hal ini menuai kritik dimana-mana, sebab dilakukan menjelang panen Raya.
Selain itu, dikutip dari http://nusantara.rmol.co Natalius Pigai (Mantan Komisioner Komnas HAM) mengatakan masyarakat Indonesia selama ini tertipu dengan suguhan informasi pencitraan yang berlebihan tentang pembangunan di tanah Papua oleh Jokowi. Menurut Pigai, adanya pembangunan jalan, jembatan, gedung pencakar langit, jembatan yang melintasi laut, jalan bebas hambatan dan rel kereta ditampilkan hanya untuk menutupi kejadian yang sesungguhnya di wilayah paling timur Indoensia.
"Kita selama ini dihipnotis oleh Jokowi yang mengatakan Papu sudah seperti Jakarta baik pendidikan dan kesehatannya. Itu semua palsu. Kematian bayi berantai di Papua tersembunyi di balik pencitraan Jokowi," tegas Pigai.
Adanya kebijakan pro-asing juga menjadi catatan kelam sistem saat ini. Dimana pada tahun 2010, Anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan, ada campur tangan asing terlibat dalam penyusunan puluhan undang-undang di Indonesia. "Ada 76 undang-undang yang draft-nya dilakukan pihak asing," kata Eva saat dihubungi Tempo. (https://nasional.tempo.co/)
Rusaknya Sistem Saat Ini
Dari beberapa fakta tersebut, jelas bahwa kini pemimpin bukan lagi sebagai sosok yang mengurusi urusan rakyat. Inilah pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi.
Dilansir dalam http://www.mediaoposisi.com, Memang dalam teorinya demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, karena itu inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Namun dalam praktiknya, demokrasi sering bertentangan dengan dirinya sendiri. Diberbagai negara penganut demokrasi, entah itu negara maju atau berkembang rakyat nyaris tidak berdaulat. Yang berdaulat justru para pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa dan wakil rakyat.
Lalu bagaimana jika ia terpilih? Dalam buku Ilusi Negara Demokrasi; Karena biayanya mahal dan disokong oleh pemilik modal maka sangat wajar ketika ia terpilih dalam masa 5 tahun untuk satu periode maka 3 tahun pertama sibuk mengembalikan utang atas modal kampanye dan 2 tahun terakhir sibuk mempersiapkan pemilu. Selama 5 tahun itu juga pemerintahannya harus membuat kebijakan yang pro pasar (baca : pemilik modal) sebab keberhasilannya terpilih tidak lepas dari peran serta mereka.
Inilah realitas demokrasi di Indonesia. Ujung-ujungnya rakyat jadi korban dan menderita. Rakyat hanya dimanfaatkan saat pemilu untuk meraih kantong suara. Dan yang diuntungkan hanyalah segelintir pihak yang menguntungkan.
Pemimpin dan sistem kepemimpinan Islam
Islam berbeda dengan agama-agama yang lain yang pernah diturunkan oleh Allah SWT, karena Islam diturunkan sempurna dan menyeluruh, termasuk dalam hal mengatur pemimpin dan sistem kepemimpinan.
Dalam Islam, belum cukup ketika kaum Muslim memilih pemimpin yang amanah, namun dipilih untuk menjalankan sistem yang tidak amanah seperti sekulerisme, liberalisme dan demokrasi seperti saat ini. Tapi pemimpin Islam diwajibkan untuk menjalankan sistem amanah juga, yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Karenanya memilih pemimpin yang amanah tapi tidak sistem kepemimpinan yang amanah, hanya menjadikan pemimpin tersebut bermaksiat dalam sistem yang tidak amanah ini, dan merupakan sikap tak benar karena memilih dan memilah hukum Allah, setengah-setengah dalam ketaatan.
Seharusnya kaum Muslim menyadarkan dan mengingatkan satu sama lain bahwa sumber permasalahan besar ummat bukan hanya tentang pemimpin yang amanah, namun lebih karena ditinggalkannya hukum Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sistem kepemimpinan.
Jadi Islam mewajibkan bukan hanya pemimpin yang amanah, namun juga sistem kepemimpinan yang amanah. Wallahu a’lam bi Ashawab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!