Ahad, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 10 Desember 2017 09:30 wib
4.231 views
Penyederhanaan Golongan Listrik, Kebijakan yang Tidak Bijak
Oleh: Verawati, S.Pd (Guru)
Saat ini pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan penyeragaman golongan pengguna listrik. Yaitu, menghapus golongan 4.400 VA ke bawah. Artinya pengguna listrik golongan 900 VA, 1.300 VA, 2.200 VA dan 3.500 VA terpaksa harus dinaikan dayanya. Maka konsekwensinya adalah tarif listriknya akan mahal. Meski pemerintah berjanji tidak akan menaikan tarif dasar listrik. Tetep saja rakyat harus bayar lebih mahal, karena biaya abodemennyapun berbeda.
Dalih pemerintah mengambil kebijakan ini adalah pemerintah ingin memberi kemudahan bagi masyarakat untuk menaikan daya listrik tanpa harus bayar, serta diklaim bahwa penyeragaman daya listrik ini akan menguntungkan masyarakat terutama para pemilik usaha kecil, micro dan menengah (UMKM) sebagaimana yang diungkap oleh I Made Suprateka (DetikFinance, 14/11/2017).
Selain itu, pemerintah tengah kelebihan daya listrik karena pembangunan 35.000 MW sudah berjalan. Sebenarnya tujuan dibangunnya proyek 35000 MW adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik di luar Jawa dan Bali. Namun faktanya, di beberapa daerah seperti Sumatra, Kalimantan dan timur jauh sering terjadi pemadaman listrik. Akibatnya merugikan pelanggan baik rumah tangga maupun sector usaha.
Saat ini siapa yang tidak butuh listrik? Sebagian besar peralatan rumah tangga pasti menggunakan listrik. Perusahan kecil maupun besar ataupun perkantoran pasti membutuhkan listrik. Kebutuhan ini bersifat pasti, artinya listrik merupakan kebutuhan yang bersifat pokok dan umum. Maka sudah sewajarnya pihak pemerintah menyediakan kebutuhan tersebut yang sifatnya bukan berjualan tapi mengurus kebutuhan rakyatnya. Jadi bukan perkara untung rugi yang dipikirkan oleh pemerintah. Namun semestinya pemerintah mengusahakan rakyat bisa menikmati listrik dengan harga murah bahkan kalau bisa gratis.
Bila pemerintah menggunakan prinsip jualan pada rakyat, maka jadilah rakyat akan dipaksa untuk membeli. Seperti keadaan saat ini, ketersediaan listrik yang berlebih, akhirnya pemerintah memaksa rakyat untuk menaikan daya. Padahal kalau dilihat lebih dalam lagi proyek 35.000 MW ini tidak dimiliki seratus persen oleh pemerintah. Melainkan ada beberapa perusahaan listrik swasta yang ikut di dalamnya. Jadi siapa yang diuntungkan? Jelas pihak swasta.
Hal ini adalah buah dari liberalisasi sumber energi primer. UU no. 22 tahun 2001 menjadi payung hukum legalisasi perampokan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia. Hampir sebagian besar migas telah dikuasai asing. Akhirnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) kesulitan untuk mendapatkan bahan baku listrik, bahkan harus membeli pada swasta.
Selain itu, terjadi liberalisasi (komersialisasi) pada layanan listrik. Kekacauan pengelolaan listrik terjadi sejak tahun 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik dengan dikeluarkannya Kepres No. 37 Tahun 1992. Saat itu digembar-gemborkan bahwa kita akan kekurangan pasokan listrik. Oleh karenanya perlu dibuka pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Maka sejak itu berdirilah berbagai pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN.
Dalam pandangan Islam, listrik adalah milik umum dilihat dari dua hal. Pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api (energi)’ yang merupakan milik umum. Nabi Muhammad saw bersabda: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi)." [HR Ahmad]. Termasuk dalam kategori api (energi) tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.
Kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara merupakan juga milik umum. Abyadh bin Hammal ra. bercerita:
"Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rosulullah memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rosulullah, “Ya Rosulullah, tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Kemudian Rosulullah menarik pemberiannya dari Abyadh bin Hammal." [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban].
Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rosul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu bahwa tambang itu seperti "laksana air yang terus mengalir", maka Rosulullah menariknya kembali dari Abyadh. "Laksana air yang terus mengalir" artinya adalah cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum. Karena milik umum, bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersil, baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil olahannya seperti listrik.
Dengan demikian, listrik tidak boleh pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta apapun alasannya. Negara bertanggung-jawab penuh untuk setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis (jika memungkinkan). Untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga yang melangit.
"Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa Allah menguasai hati manusia, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan." [Al Quran, 8:24].
Jadi kalau kebijakan penyederhanaan golongan listrik ini diberlakukan, maka sungguh yang demikian itu akan menjadi kebijakan yang tidak bijak. Wallahu a’lam bi shawab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!