Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 29 September 2017 08:32 wib
6.103 views
Kasus Bayi Debora, Saatnya Menuju Sistem Kesehatan yang Lebih Baik
Oleh: Ventin Yurista, S.Ked.
(Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)
Meninggalnya Tiara Debora Simanjorang, seorang bayi berusia empat bulan, menjadi pemberitaan yang menyentak dunia kesehatan. Bayi Debora meninggal diduga karena terlambat mendapat penanganan medis di RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta. Pihak rumah sakit menolak memasukkan bayi Debora ke ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) karena keluarga tak mampu membayar uang muka secara penuh. RS Mitra Keluarga Kalideres diketahui merupakan rumah sakit swasta yang tidak bekerja sama dengan BPJS.
Kasus diskriminatif terhadap pasien tak mampu tak hanya terjadi pada kasus bayi Debora. Tahun 2016 di Tangerang, M. Rizki Akbar, bayi berusia dua tahun, meninggal setelah berpindah rumah sakit sampai enam kali. Rizki ditolak rumah sakit dengan berbagai alasan, seperti ketiadaan ruang rawat, tidak lengkapnya fasilitas RS, hingga keharusan membayar uang muka sebelum mendapat fasilitas. Reny Wahyudi juga kehilangan nyawa anaknya setelah ditolak tujuh rumah sakit. Selain itu, masih banyak lagi kisah pilu akibat pelayanan kesehatan yang tidak memadai bagi orang tak mampu.
Berbagai kasus tersebut menjadi bukti pelayanan kesehatan di Indonesia tidak pro rakyat. BPJS yang diharapkan dapat menjadi solusi, justru makin menambah masalah. Berbagai keluhan atas kualitas pelayanan BPJS pun muncul, seperti pengurusan administrasi BPJS yang lama, mahalnya iuran BPJS, penanganan medis yang diskriminatif, dan ruwetnya sistem rujukan yang mengakibatkan pasien harus dioper berkali-kali ke rumah sakit lain.
Bukan hanya pasien yang dirugikan. Pihak rumah sakit dan tenaga medis juga mengalami dilema. Undang-undang dan kode etik tenaga kesehatan mengharuskan penanganan pasien dengan optimal. Namun, di sisi lain tidak ada jaminan pembiayaan dari BPJS. Banyak rumah sakit swasta yang tidak mau bekerja sama dengan BPJS karena klaim BPJS tak sebanding dengan beban biaya rumah sakit. Semua klaim pembiayaan telah dipatok dengan sistem INA CBG’s, sehingga rumah sakit tak bisa memberikan obat-obatan dan penanganan medis terbaik. Kesejahteraan tenaga medis pun tak diperhatikan. Jika ada kasus pasien meninggal, pihak rumah sakit dan tenaga medis yang langsung disalahkan.
Berbagai masalah ini harusnya membuat pemerintah mengevaluasi kembali sistem kesehatan nasional. Pembiayaan kesehatan dengan sistem asuransi sosial seperti BPJS merupakan bentuk pengelolaan ala kapitalisme. Pembiayaan kesehatan dengan mekanisme ini meniscayakan lepasnya tanggung jawab pemerintah atas kesehatan rakyatnya. Negara mengalihkan tanggung jawab tersebut pada rakyat dengan mekanisme asuransi sosial semacam BPJS yang hakikatnya rakyat membiayai sendiri jaminan kesehatannya.
Ketidaksiapan pelaksana teknis dan ketidaksesuaian jumlah iuran dengan klaim layanan menyebabkan kesemrawutan layanan kesehatan. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Tenaga medis pun tidak bisa disalahkan karena ini merupakan kesalahan pengaturan kesehatan yang sifatnya mendasar dan sistemik. Tenaga medis pun sesungguhnya telah terjebak dalam sistem kesehatan yang amburadul dan tidak manusiawi ini.
Mari bandingkan dengan pengelolaan kesehatan ala Islam. Islam memandang bahwa kesehatan menjadi kebutuhan pokok publik yang sangat penting. Negara bertanggung jawab penuh menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan diberikan secara gratis atau murah dengan kualitas terbaik kepada seluruh rakyat tanpa memandang status ekonomi. Semua pembiayaan kesehatan berasal dari anggaran negara, yang didapatkan dari pos pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut dimungkinkan karena sistem ekonomi pun diatur berdasarkan syariat Islam.
Sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak menjadi kepemilikan umum yang pengelolaannya diatur oleh negara. Hasil pengelolaan ini dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk SDA siap konsumsi ataupun berupa layanan pendidikan, kesehatan dan jaminan keamanan. Mekanisme seperti ini memastikan ketersediaan dana yang diperuntukkan bagi jaminan pendidikan, keamanan termasuk kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Hal ini terbukti pada masa Kekhilafahan Islam. Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah yang pertama kali membangun rumah sakit di Baghdad. Tahun 982 M, didirikan RS Al-Audidi, dengan bangunan megah bak istana dan peralatan yang lengkap. Selain di Baghdad, hampir di setiap kota, termasuk kota kecil sekalipun, terdapat rumah sakit. Kota Kordoba bahkan memiliki lebih dari 50 rumah sakit, padahal kota tersebut hanya seluas propinsi Banten.
Tidak hanya itu, rumah sakit keliling juga tersedia untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan individu masyarakat di pedesaan. Rumah sakit yang didirikan tersebut tidak memungut biaya, bahkan memberikan uang saku bagi pasien yang memiliki kewajiban mencari nafkah bagi keluarga. Ini merupakan kompensasi karena selama pasien sakit ia tidak dapat memenuhi kewajiban mencari nafkah. Jumlah rumah sakit dan tenaga medis yang memadai di setiap wilayah menjadikan pelayanan kesehatan dapat dioptimalkan. Demikian pula kesejahteraan fisik dan psikis tenaga amat diperhatikan oleh negara.
Sistem kesehatan ala Islam terbukti tidak hanya menjamin pelayanan bagi pasien, tapi juga menyejahterakan tenaga medis. Sudah sepatutnya kita meninggalkan kapitalisasi kesehatan yang menyengsarakan. Meminjam istilah Brigaldo Sinaga, pendamping orang tua bayi Debora, ”Kematian bayi Debora menjadi martir bagi kehidupan bayi lain.”
Saatnya kita segera beralih ke sistem kesehatan yang lebih baik dengan Islam, sebelum kasus-kasus serupa terulang kembali. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!