Sabtu, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Juli 2017 04:11 wib
6.160 views
Idul Fitri: Totalitas Menjadi Muslim
Oleh: Adi Permana Sidik, S.I.Kom., M.I.Kom.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi USB YPKP dan Fisip Unpas)
Gema takbir, tahmid, tahlil, yang dikumandangkan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia, dari sejak petang kemarin sampai sesaat sebelum solat idul fitri menandakan bahwa bulan Ramadhan tahun 1437 ini H sudah berakhir. Kita merasakan bahwa waktu terasa begitu cepat berlalu.
Pada satu sisi, kita berbahagia, karena setelah sebulan lamanya kita berjuang semaksimal mungkin, untuk mengisi bulan Ramadhan ini dengan berbagai macam amal ibadah. Namun pada satu sisi yang lain, tentu saja kita juga harus bersedih, karena harus ditinggal pergi oleh bulan Ramadhan, bulan yang sangat dimuliakan dan penuh berkah ini
Kita semua pasti mengetahui, melihat, dan merasakan, bahwa saat ini hampir di seluruh wilayah muka bumi ini, nasib umat Islam masih memprihatinkan, menyedihkan. Kita semua juga pasti mengetahui, melihat, menyadari dan merasakan, bahwa saat ini, walaupun umat Islam adalah umat yang paling banyak di muka bumi ini, namun para pemeluknya masih jauh daripada nilai-nilai Islam itu sendiri.
Ini bisa diliat misalnya dari masih banyaknya umat Islam yang masih belum sepenuhnya melaksanakan ajaran-ajaran Islam seperti solat, puasa, zakat, membaca quran, menutup aurat, berbakti kepada orang tua, tolabul ilmi, dan ajaran-ajaran Islam lainnya.
Justru sebaliknya, banyak umat Islam yang justru melaksankan hal-hal yang sesungguhnya dilarang keras oleh agama Islam ini, seperti melakukan kemusyrikan atau menyekutukan Allah, berzina, meminum atau mengkonsumi khomer, alkohol, narkoba, membuka aurat, berjudi, riba, memakan makanan yang haram, mencuri, korupsi, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Kondisi seperti inilah yang kemudian menyebabkan umat Islam ditindas, dihinakan, dijajah oleh umat yang lain, padahal jumlah umat Islam sangat banyak. Itu artinya walaupun jumlah umat Islam itu banyak tapi nyatanya umat Islam tidak mempunyai kekuatan. Oleh Nabi Muhammad SAW dalam satu haditsnya kondisi umat Islam ini diibaratkan seperti buih di lautan. Buih terlihat banyak tapi sesungguhnya ia adalah lemah.
Melihat kondisi seperti itu, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya? Atau bagaimana caranya supaya kondisi seperti itu tida terus berlangsung? Mari kita simak surat Al-Baqoroh ayat 208 Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kaaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Beragama Islam secara kaffah (totalitas) paling tidak mencakup empat hal.
Pertama, kaaffah dalam pengertian keseluruhan ajaran Islam. Islam adalah pedoman hidup yang lengkap dan sempurna. Allah berikan kepada kita untuk mengatur keseluruhan aspek kehidupan. Oleh karena itu, maka kita harus menerima dan mengamalkan seluruh ajaran Islam. Tidak boleh kita ambil setengah-setengah. Salah satu ajarannya kita amalkan, sementara ajarannya yang lain kita buang.
Banyak orang yang ketika shalat menggunakan tata aturan Islam, tapi sayang ketika berjual beli tidak mau diatur oleh Islam. Ada juga yang saat berpuasa konsisten dengan tata aturan Islam; tidak makan, tidak minum dan tidak berdusta, tapi saat berbisnis, bekerja, berpolitik tidak mau berpegang teguh dengan ajaran Islam, sehingga bermain culas, curang, korupsi dan suka berbohong.
Padahal, Islam sesungguhnya, sebagaimana mengatur tentang shalat dan puasa, juga mengatur tentang dagang dan mengatur urusan negara. Islam, sebagaimana mengatur tentang keimanan dan ibadah, juga mengatur tentang hukum dan tata cara berbusana. Pendek kata, Islam itu mengatur manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan saat sedang tidur. Mengatur manusia dari lahir hingga menguburnya saat mati. Islam mengatur mulai dari masuk kamar mandi hingga mengatur bangsa dan negara bahkan dunia.
Perlu ditegaskan, bahwa Al-Qur’an, diturunkan oleh Allah adalah agar kita jadikan sebagai pedoman hidup. Kita amalkan semua ajarannya. Al-Qur’an bukan sekedar kita baca untuk mencari pahala, sementara tata aturannya kita tinggalkan. Kita ambil mana yang kita suka dan kita buang mana yang kita tak suka.
Sungguh, Allah mengecam berat terhadap orang-orang yang beragama secara parsial ini seperi dalam firman surat Al Baqoroh ayat 85.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian isi Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari kamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Yang kedua, kaaffah (totalitas) dalam pengertian tempat. Artinya, kita harus mengamalkan ajaran Islam di mana pun kita berada. Karena Islam, diturunkan oleh Allah untuk semua manusia di seluruh kolong jagat ini.
Ada yang punya pandangan bahwa Indonesia itu bukan Arab, maka tak bisa diatur dengan Islam. “Beda dengan Arab,” kata mereka. Ini adalah pandangan yang sangat keliru. Bumi Arab adalah Allah penciptanya, dan bumi Indonesia adalah sama, Allah penciptanya. Dan, memang bumi ini secara keseluruhan di mana saja, adalah Allah Penciptanya.
Maka siapa saja yang tak mau diatur oleh Islam yang diturunkan oleh Allah hendaknya tidak berada di bumi yang diciptakan oleh Allah. Di mana bumi dipijak, di sana langit pun harus dijunjung. Di bumi mana pun kita berada, hendaknya hukum langit kita patuhi. Allah berfirman dalam surat A Rahman ayat 33:
“Hai kaum jin dan manusia, jika kamu bisa menembus (keluar) dari penjuru langit dan bumi, maka keluarlah. Kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.”
Ada juga di antara kita yang saat berada di kota Madinah atau Makkah tunduk dan patuh kepada aturan Islam, rajin ke masjid, berdoa dan menangis beristighfar dan bertaubat, tapi sayang tidak lagi seperti itu bila sudah pulang ke kampung halamannya. Ini berarti tidak kaaffah secara tempat. Apakah kita mengira Allah itu ada hanya di Makkah dan Madinah, dan tidak ada Allah bila sudah di Bandung atau di Jakarta?
Perlu kita sadari, sebagai orang beriman, bahwa Allah melihat kita di mana saja kita berada. Di Arab dilihat Allah, maka di Amerika, di Eropa, di Mesir, di Cina, di Indonesia dan dimana saja, juga sama dilihat Allah. Tidak ada tempat di muka bumi ini, sejengkal pun, yang manusia boleh seenaknya berbuat dosa.
Yang ketiga, kaaffah (totalitas) dalam pengertian keseluruhan waktu. Artinya, kita harus berislam, tunduk dan patuh kepada Allah kapan saja. Pagi maupun sore. Siang ataupun malam. Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu.
Ada di antara kita ke Masjid kalau hari Jum’at saja. Padahal kita dipanggil oleh Allah lima kali dalam setiap hari. Bahkan ada yang hanya solat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri saja. Termasuk banyak di antara kita yang rajin ibadah hanya di bulan Ramadhan saja. Setelah bulan Ramadhan, selesai semuanya. Seakan-akan Allah hanya ada di bulan Ramadhan dan tak ada lagi di bulan-bulan yang lainya. Ini berarti tidak kaaffah.
Yang keempat, kaaffah dalam pengertian keseluruhan keadaan. Artinya, kita harus berislam, tunduk dan patuh kepada Allah baik dalam kondisi gembira atau susah, lapang atau sempit, sehat atau sakit, suka atau duka.
Ada orang yang ketika sehat rajin shalat, tapi ketika sakit tidak lagi. Atau sebaliknya, ketika sakit rajin shalat dan berdzikir serta berdoa, tapi ketika sehat lupa kepada Allah. Ketika miskin rajin ke Masjid, tapi ketika sudah kaya dan jadi pejabat tak lagi ke masjid. Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 11:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di pinggiran. Maka jika ia memperoleh kebaikan (kesenangan) tetaplah ia dalam keadaan itu. Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana (yang tidak menyenangkan) berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” Sementara Nabi kita bersabda:
“Ingatlah kamu saat senang, niscaya Allah mengingatmu saat susah.” (Hr. Thabrani).
“Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnhya Syetan itu musuh yang nyata bagi kamu.”
Syetan itu sangat licik, dan memiliki seribu satu cara untuk menyesatkan manusia. Syetan itu menyesatkan, tapi bisa datang dengan seakan-akan memberi nasehat (al-A’raf: 21). Syetan juga biasa mengubah nama sesuatu yang buruk dengan nama yang baik. Pohon larangan yang dilarang oleh Allah, dinamakan oleh Iblis sebagai syajarah khuldi yang berati pohon keabadian (Thaha: 120, Al-A’raf: 20). Syetan juga bisa menyulap sesuatu yang buruk tampak baik dan yang baik tampak buruk, yang diperintah terasa berat dan yang dilarang terasa ringan. (Al-Hijr:39).
Disamping itu, syetan akan menggoda manusia dari seluruh penjuru. Dari depan, dari belakang, samping kanan dan kiri. (Al-A’raf: 17).
Syetan itu adalah musuh yang sangat nyata bagi kita. Dalam surat Faathir ayat 6 Allah berfirman:
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6)
Mari kita jadikan Syetan sebagai musuh kita bersama.
Lewat surat Al-Baqoroh ayat 208, Allah SWT menyuruh kita melaksanakan seluruh ajaran Islam secara total, kita diminta untuk tunduk dan patuh kepada seluruh aturan-aturan dalam Islam, dan Allah juga sekaligus menyuruh kita untuk menjauhi dan tidak mengikuti langkah-langkah, bisikian-bisikan, ajakan-ajakan, godaan-godaan syetan, yang memang senantiasa ingin menjauhkan kita dari Allah SWT.
Intinya kita harus total menjadi seorang Muslim. Sehingga ketika kita semua totalitas menjadi seorang Muslim, maka kemenangan Al-Islam di muka bumi ini hanya tinggal menunggu waktu. Wallahualam bis showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!