Kamis, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Juni 2017 23:50 wib
5.910 views
PLN Harus Beli Listrik ke Swasta?
Oleh: Taufik Setia Permana (Geopolitical Institute)
Sesuai dengan Peraturan Menteri (PERMEN) Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 tahun 2017 yang mengatur tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, mengharuskan PT. PLN membeli kebutuhan listrik ke perusahaan swasta (independent power producer).
Dalam Permen tersebut disebutkan bahwa dalam Pasal 2 ayat 1, PLN diwajibkan untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan. PLN wajib membeli listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS Fotovoltanik), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik tenaga Biogass (PLTBg), Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) , dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP). dikutip pada Metrotvnews.com, Kamis (2/2/2017)
Pada bulan Mei pemerintah telah mensetujui investasi dengan perusahaan Qatar dibidang Energi. "Saat ini investasi di bidang energi Indonesia mencapai 2 miliar dolar AS. Potensi investasi kami lihat bisa sampai 5 miliar dolar AS," kata Suhail di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (18/5).
Ketergantungan PLN terhadap perusahaan-perusahaan swasta menyebabkan fluktuatifnya tarif dasar listrik. Pasalnya, perusahaan-perusahaan swasta telah mematok biaya produksi yang cukup mahal, sehingga mengakibatkan PLN menyesuaikan harga dengan perusahaan-perusahaan swasta tersebut.
Arthur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menilai, regulasi yang baru ini menghambat bauran energi 23% pada tahun 2025. Selain itu, investasi energi baru dan terbarukan hanya akan menarik bagi investor di wilayah-wilayah yang memiliki biaya pembangkitan masih tergolong tinggi.
Ali Herman Ibrahim, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menyebut, Permen 12/2017 itu menjadi tantangan bagi pengembang listrik. Salah satunya mengenai akurasi dan dasar penentuan biaya produksi listrik. Pasalnya penentuan harga listrik biasanya mencakup beberapa parameter dan kondisi.
Dengan begitu, penentuan harga sepatutnya tidak absolut pada saat pembangkit listrik EBT selesai dan siap beroperasi. Untuk itu, jika aturan itu diterapkan, pengusaha minta insentif fiskal seperti pembebasan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu. “Insentif itu sama seperti di Dubai,” dilansir tambang.co.id (3/3)
Jika kita merujuk pada Permen Energi dan Sumber Daya Mineral No 2 tahun 2016. Dalam pasal tersebut disebutkan kenaika harga listrik ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya; nilai tukar mata uang rupiah dengan dolar; Indonesia Crude Price (ICP); dan Inflasi.
Faktor Nilai Tukar Rupiah dengan Dolar
Mata uang rupiah merupakan mata uang yang tergolong bersifat soft currency, artinya mata uang ini mudah terfluktuatif ataupun terdepresiasi. Sedangkan dolar mata uang AS sebagaimana mata uang ini digunakan sebagai transaksi internasional tergolong mata uang hard currency, artinya mata uang ini memiliki kemampuan untuk melemahkan mata uang negara-negara yang tergolong menggunakan mata uang soft currency.
Inilah sebenarnya bentuk penjajahan AS terhadap negara-negara berkembang. Negara berkembang dipaksa untuk bersepakat menggunakan dolar sebagai mata uang transaksi internasional. Sehingga hal ini menjadikan Indonesia sebagai pelarian modal (capital flight). Artinya modal yang ada di Indonesia sebagian besar berasal modal Asing. Maka tidak heran jika PT PLN sebagai perusahaan negara menyerahkan beberapa asetnya kepada perusahaan asing
Indonesia Crude Price (ICP)
Tahun 2015 Presiden Jokowi melalui kebijakannya menyerahkan sektor komoditi minyak kepada pasar internasional, sekaligus menandakan bahwa harga minyak nasional akan tergerntung terhadap harga minyak internasional. Artinya harga minyak yang dikuasai negara tidak lain adalah BBM akan diserahkan dengan mekanisme harga internasional. Dengan diserahkan pada mekanisme pasar internasional naik maupun turunya minyak pemerintah hanya mampu menjadi penerima harga daripada pembuat harga.
Jika dikaji secara mendalam keputusan tersebut sangat tidak menguntungkan masyarakat. internasional akan sangat mudah memperamainkan harga sesuai dengan kehendaknya, jika harga minyak naik tajam jelas secara tidak langsung rakyat yang akan terkena imbasnya. Begitu juga dengan PLN yang akan terpotong anggarannya dari penghasilan komiditi listrik.
Inflasi
Dalam sistem kapitalis Indonesia sebagai negara berembang sangat rentan terkena dampak inflasi. Potensi besar memicu terjadinya inflasi berada pada sektor komiditi minyak yang pasti akan diikuti kenaikan-kenaikan harga bahan pokok.
Dengan diserahkannya minyak kepada harga Internasional, maka harga minyak akan mengalami flutuatif. Begitu juga dengan harga listrik yang bergantung terhadap minyak.
Sehingga dengan di kenaikannya harga dasar listrik menunjukan bahwa kondisi negara kita sedang kurang stabil. Jeretan sistem kapitalis telah nyata mengkerdilkan negara-negara berkembang untuk dijadikan lahan jajahan. Indonesia merupakan tempat subur untuk diterapkannya sistem yang kapitalis melalui demokrasi liberal. Disis lain, ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara imperealis menjadikan negara ini harus tunduk mengikuti kemauan para pemodal mereka. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!