Kamis, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Juni 2017 17:42 wib
4.407 views
Sudah Satukah Tujuan Kita?
Sahabat VOA-Islam...
Berita terbaru akhir-akhir ini adalah terkait salah satu isu pembubaran ormas islam berbadan hukum di Indonesia yakni Hizbut Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politk trans-nasional. Oleh karenanya hizbut tahrir bergerak dan beraktivitas di lebih dari 40 negara di 5 benua. Partai politik ini dipimpin pertama kali oleh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah pada tahun 1952. Hizbut Tahrir merupakan partai politik ideologis. Politik adalah aktiviasnya, dan islam adalah ideologinya.
Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia adalah saat K.H. Abdullah bin Nuh atau yang lebih dikenal dengan panggilan “mamak” mengajak Syaikh Abdurrahman al Baghdady ke Indonesia. K.H Abdulah bin Nuh atau “mamak” adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, sastrawan dan pejuang. Pria shalih yang lahir di Kampung Meron Kum, Kota Cianjur Jawa Barat pada tanggal 6 Juni 1905 ini, melalui tabbani pendapat imam Al-Ghazali, sangat gigih menyerukan agar masyarakat berpegang teguh pada ajaran atau syariah islam. Dakwah HT sudah tersebar di 33 propinsi dan lebih 300 kota dan kabupaten. Bahkan sebagiannya telah merambat jauh.
Adapun tujuan adanya partai ini adalah melanjutkan kehidupan islam dengan cara menerapakan seluruh hukum islam yang telah Allah perintahkan dalam Al-Quran. Hukum islam banyak sekali, mulai dengan hukum yang berkaitan dengan ranah individu, masyarakah hingga negara. Apakah Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak berhukum islam ? jawabannya memang belum. Indonesia belum mengadopsi hukum islam, Indonesia masih mewarisi hukum belanda yang pernah menjajah negaranya.
Menurut penelitian tahun 1987 di Badan Pembinaan Hukum Nasional mengungkapkan, lebih dari 600 mulai undang-undang sampai kepada peraturan pelaksanaanya adalah warisan kolonial belanda yang belum kita ganti,” ungkap Hakim Mahkamah Konstitusi Dr Wahiduddin Adams, SH MA. Hal itu ia sampaikan sebagai pembicara dalam Halaqah Nasional “Konstribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional” di gedung Nusantara V DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis 28 Shafar 1437 H (10/12/2015).
Jika melihat hal demikian, bahwa sebetulnya kita menggunakan hukum warisan penjajah, sebagai warga negara Indonesia yang mencintai Indonesia tentu sedih mengapa kita masih menyisakan pengalaman pahit di negara ini. Kita lihat juga hukum ini sudah tidak relevan dengan kondisi negara kita yang sudah merdeka katanya. Saya bilang “katanya” karena memang sebetulnya negara ini belum merdeka. Banyak fakta yang disajika kepada banyak mata bahwa negara kita masih dijajah secara politis oleh negara-negara barat dengan menguras sumber daya alam yang dimiliki negara ini.
Penjajahan adalah sebuah keadaan ketika suatu bangsa tidak memiliki kedaulatan atas diri dan/atau hak miliknya. Dia tidak berdaulat mutlak untuk mengatur dirinya. Segala kebijakan ditentukan oleh negara penjajah. Penjajahannya sampai tataran makanan, hiburan dan gaya dari negara yang dijajah. Tingkat keterjajahan masing-masing negara bervariasi, bergantung pada seberapa kuat peradaban sang penjajah, dan seberapa tinggi peradaban bangsa negeri itu sebelum penjajah datang.
Penjajahan bisa bermula dari persaingan antarbangsa untuk merebut pengaruh. Bangsa yang memiliki kepemimpinan, organisasi dan teknologi yang lebih baik akan cenderung lebih unggul. Sebaliknya bangsa yang memiliki yang memiliki kepemimpinan lemah, atau bahkan elitnya penuh dengan koruptor dan pengkhianat, akan cenderung dikalahkan. Inilah sunnatullah sejarah penjajahan yang ada di dunia.
Warga negara Indonesia adalah warga negara yang mayoritas muslim. Maka perlu kiranya kita melihat peradaban yang dimiliki oleh seorang muslim yakni peradaban islam, peradaban dan negara yang sangat kuat, yang kebal terhadap penjajahan. Bahkan saat tentara Tartar (Mongol) memasuki kota Baghdad pada tahun 1258 M, yang muncul karena pengkhianatan beberapa pembesar Abbasiyah, hanya 3 tahun penguasa Mongol dapat bertahan. Setelah itu justru mereka yang masuk islam dan kemudian pada masa selanjutnya ikut menyebarkan islam. Di wilayah Palestina yang mereka kuasai, tentara salib itu justru mempelajari peradaban islam, yang kelak kemudian mereka bawa untuk membangkitkan Eropa dari era kegelapan.
Barat belajar, bahwa mereka tidak mungkin menjajah kaum muslim selama kaum muslim masih memegang teguh ajaran islamnya secara kaffah serta ada negara yang mempersatukan dan melindungi mereka. Karena itulah, akhirnya Barat memutuskan, bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan kaum muslim adalah dengan mancabut atau setidaknya mengotori ajaran islam, dan kemudian meruntuhkan negaranya.
Negara yang menyatukan kaum muslim dalam satu kepemimpinan disebut khilafah. Khilafah adalah ajaran islam dan kewajiban syar’i untuk mewujudkannya. Para ulama bahkan menyebutkan kewajiban menegakkan khilafah sebagai taj al furudh (mahkota kewajiban). Khilafah, sebagaimana dijelaskan oleh ulama (Abdul Qadim Zallum, Nidzham al-Hukmi fi al-islam, 2002: 34), adalah: Kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Khilafah bukanlah ancaman atas suatu negara, justru khilafah adalah warisan peradaban islam yang sudah ada sebelumnya dan terbukti membawa peradaban yang gemilang bagi seluruh manusia. Seperti kita ketahui, islam bukan hanya untuk kesejahteraan kaum muslim saja, namun juga untuk nonmuslim jika semua hukum-hukum islam direalisakan dalam kehidupan. Maka satukan tujuan yang sama untuk mengembalikan kembali peradaban islam dengan cara apapun yang kita bisa walaupun mungkin akan berbeda. Kita saling mendukung dan bersinergi memperjuangkan khilafah kembali. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Defi Winarsih, Mahasiswa UNESA
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!