Kamis, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Maret 2017 08:00 wib
5.807 views
Waspadai Sekulerisasi Kurikulum Pendidikan
Oleh: Wijaya Kurnia Santoso (Praktisi Pendidikan)
Adanya pergantian (penyempurnaan) kurikulum yang terjadi di Indonesia merupakan hal yang biasa. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan (penyempurnaan) kurikulum, mulai dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan kurikulum 2013. Di awal kemunculannya kurikulum 2013 atau sering disebut K13 sempat menghebohkan dunia pendidikan.
Pro dan kontra menyebar, walhasil sekolah hanya menerapkan selama 1 semester saja dan sebagian besar sekolah kembali menerapkan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Selain itu Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga memberikan himbauan untuk menerapkan KTSP bagi sekolah yang belum siap menerapkan K13, sehingga hanya sebagian kecil sekolah yang menerapkan K13.
Amburadulnya penerapan kurikulum menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih “meraba”, masih dalam proses penyempurnaan. Akibatnya peserta didik yang menjadi korban, menjadi “kelinci percobaan” para pemegang kebijakkan. Maka menjadi hal yang wajar jika lulusan yang dihasilkan sistem pendidikan negara ini memiliki kualitas yang rendah, tidak berkompeten serta tidak memiliki karakter yang khas (kepribadian), dan bahkan moralnya pun mengkhawatirkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan oleh berkualitasnya pendidikan yang diterapkan. Selain itu, pendidikan berkualitas tersebut semestinya juga harus dinikmati seluruh masyarakat tanpa membedakan kelas sosial. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang bermutu, maka peningkatan mutu pendidikan adalah langkah yang tepat untuk menjadikan sistem pendidikan yang berkualitas. Upaya peningkatan mutu pendidikan selalu dikaitkan dengan ketersediaan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, serta kompetensi guru.
Namun ada komponen lain yang berpengaruh bahkan sebagai dasar untuk peningkatan mutu pendidikan yaitu kurikulum. Kurikulum sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan terdiri dari tiga entitas yaitu tujuan, metode, dan isi. Peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan akan memberikan makna bagi peserta didik jika diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum. Kurikulum merupakan instrumen yang disusun sesuai tujuan pendidikan, dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah sistem pendidikan yang berlaku di sebuah negara.
Sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dasar pemikiran khas (Ideologi) yang dianut suatu negara. Jika sistem pendidikan ditegakkan berdasarkan ideologi sekularisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme maka sistem pendidikan bertujuan mewujudkan struktur masyarakat sekular-kapitalis atau sosialis-komunis. Maka akan menjadi hal yang wajar jika output pendidikan di era kapitalis ini menghasilkan manusia yang rakus akan materi, bersikap individualis dan hedonis.
Sebaliknya, jika sistem pendidikan berbasiskan ideologi Islam maka sistem pendidikan bertujuan untuk membangun struktur masyarakat Islam, dan tentu saja sistem pendidikannya akan berbeda dengan sistem pendidikan dua sistem ideologi di atas. Dengan demikian kurikulum yang digunakan akan berbeda pula sesuai dengan tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan tersebut, tergantung pada ideologi yang dianut. Kurikulum Pendidikan Indononesia Dalam sistem pendidikan di Indonesia sekarang menerapkan masih 2 kurikulum, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013 (K13).
Namun setelah dievaluasi dan direvisi dan disempurnakan kabarnya kurikulum 2013 akan segera diterapkan secara nasional. Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi adalah outcomes-based curriculum dan oleh karena itu pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari Standar Kelulusan (SKL).
Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum dartikan sebagai pencapaian kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge).
Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35, yaitu: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Ada tiga faktor yang menjadi alasan pengembangan kurikulum 2013.
Pertama, tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, dan ekonomi berbasis pengetahuan. Kedua, kompetensi masa depan yang antaranya meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda.
Ketiga, fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest). Yang keempat adalah persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter. Pada kurikulum 2013 ini mata pelajaran agama untuk Sekolah Dasar (SD) menjadi 4 jam dalam seminggu yang semula di KTSP hanya 3 jam.
Sedangkan untuk SMP dan SMA mata pelajaran tersebut sekarang menjadi 3 jam dalam satu minggu. Walaupun dalam kurikulum 2013 ada penambahan jam mata pelajaran agama namun hal tersebut tidak secara langsung dapat membentuk kepribadian islam (karakter) peserta didik. Pada usia Sekolah Dasar seharusnya anak-anak mendapatkan penanaman aqidah yang kuat, bukan malah sebaliknya. Hal tersebut wajar, karena tujuan dalam kurikulum tersebut tidak untuk membentuk kepribadian islam secara utuh peserta didik dan dalam tujuan kurikulum tersebut ada ketidaksesuaian dengan penerapannya di lapangan, terutama guru yang menjadi ujung tombak implementasi kurikulum.
Guru hanya sebatas “pengajar”, yang hanya menyampaikan ilmu (transfer ilmu saja) bukan berperan sebagai “pendidik” (memberikan pemahaman dan perhatian serta contoh dalam menghadapi kehidupan). Guru harus mengurusi ribetnya sertifikasi ataupun menghitung angka kredit untuk naik jabatan, sehingga perhatian ke peserta didik menjadi berkurang. Bahkan guru-guru honorer mendapatkan gaji yang tidak manusiawi, lantaran gaji yang diterima sangat kecil sedangkan tuntutan era ekonomi kapitalis sangatlah besar.
Salah satu landasan kurikulum 2013 adalah Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu membentuk manusia yang berkualitas, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tapi kenyataan dalam pratiknya tidak demikian, hal tersebut terbukti dengan adanya temuan-temuan di lapangan. Salah satu contohnya adalah maraknya buku di beberapa daerah yang mengandung unsur pornografi, bahkan di buku Bahasa Indonesia kelas 7 SMP kurikulum 2013 saat pertama kali kurikulum ini diberlakukan, terdapat kata-kata yang tidak pantas dalam salah satu cerpen “gerhana” yang ada di buku tersebut.
Banyaknya kasus tawuran yang melibatkan oknum peserta didik menambah daftar hitam gagalnya kurikulum yang ada selama ini. Bahkan Ujian Nasional yang digadang-gadang menjadi standar kelulusan peserta didik cenderung terjadi banyak kecurangan. Selain itu banyaknya kasus prostitusi (perzinaan) yang melibatkan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah serta kasus-kasus amaoral lainnya menjadi bukti bahwa sistem pendidikan negeri ini mencetak masyarakat yang liberal.
Lebih parahnya lagi, para pelaku sudah tidak merasa berdosa dan malu ketika melakukan hal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku sebagian peserta didik di negeri ini terlihat tidak terdidik dan tidak bermoral (tidak berkarakter). Maka adanya perilaku menyimpang ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang mengarah pada ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, hal tersebut terjadi karena ada kekaburan antara tujuan dengan metode penerapan kurikulum di sekolah. Selain itu metode yang digunakan tidak ada kesesuaian dan tidak ada teknis praktis yang diterapkan secara jelas dalam penerapan tujuan pendidikan tersebut.
Hal ini diperparah dengan minimnya teladan (uswah) dari guru kepada para muridnya. Itu semua dikarenakan adanya sekulerisasi kurikulum pendidikan di negeri ini yang memisahkan antara kehidupan dan agama. Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum dalam islam dibangun berlandaskan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun sejalan dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam (pemikiran islam) dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).
Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan kepada kaum Muslim setelah mereka (peserta didik) memahami Islam secara utuh. Materi ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan cacat-celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia. Kurikulum dalam islam menekankan pada metode pengajaran yaitu transfer pemikiran dengan penyampaian (khitahab) dan penerimaan (talaqqi) pemikiran dari pengajar kepada pelajar.
Ketika pengajar melakukan transfer pemikiran kepada anak didik maka harus mendekatkan apa yang terkandung dalam pemikiran tersebut dengan makna-makna yang dipahami oleh anak didik, dengan cara berusaha menghubungkan antara pemikiran itu dengan fakta yang diserapnya, atau dengan fakta yang sering peserta didik rasakan, sehingga mereka benar-benar memahaminya sebagai sebuah pemikiran bukan sebuah informasi.
Selain itu, pengajar juga bertugas untuk mendorong anak didik agar selalu peka terhadap realita yang terjadi. Seorang pengajar juga harus dapat memberikan gambaran yang mendekati realita tersebut kepada anak didik ketika menyampaikan suatu konsep atau ide karena realita tidak hadir dengan sendirinya, sehingga anak didik dapat mengaitkan realita yang dirasakan dan tergambar di benaknya.
Dengan demikian mereka telah menerimanya sebagai sebuah pemikiran. Kurikulum dalam islam juga bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam (karakter) dan harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran Islam kepada para siswa. Pada tingkat TK-SD materi kepribadian Islam yang diberikan adalah materi dasar yakni aqidah karena mereka berada pada jenjang usia menuju balig. Artinya, mereka lebih banyak diberikan materi yang bersifat pengenalan keimanan.
Barulah setelah mencapai usia baligh, yaitu SMP, SMA, dan PT materi yang diberikan bersifat lanjutan (pembentukan, peningkatan, dan pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat islam. Indikatornya adalah bahwa anak didik dengan kesadaran yang dimilikinya telah berhasil melaksanakan seluruh kewajiban dan mampu menghindari segala tindak kemaksiatan kepada Allah Swt. Dalam sistem pendidikan islam juga mempelajari ilmu-ilmu terapan untuk dapat dimanfaatkan dan diberdayakan, demi melayani kemaslahatan serta memecahkan masalah-masalah krusial bagi umat.
Jadi, tuntutan untuk mempelajari ilmu tidak semata-mata untuk ilmu saja, melainkan untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sesuai dengan aturan hukum islam. Allah berfirman yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (TQS. Al-Qashas (28): 77) Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan kepribadian yang Islami (karakter); (2) penguasaan tsaqâfah (pemikiran) Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan ketrampilan).
Maka hanya dengan menerapkan sistem pendidikan islam saja kurikulum yang digunakan akan mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian islam dan ketaatan kepada Allah. Selama Negara menganut ideologi kapitalis sekuler maka pergantian ataupun penyempurnaan kurikulum yang selama ini dilakukan tidak akan mampu merubah pola pikir dan karakter peserta didik ke arah ketaatan kepada Allah dan tidak mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian islam.
Oleh karena itu walaupun kurikulum mengalami perubahan, penyempurnaan dari sisi konten (isi) maka kurikulum yang dihasilkan dan diterapkan tidak akan memberikan perubahan apapun kecuali menambah masalah baru. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 23, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan (TQS. At-Taubah (9): 23). [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!