Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Maret 2017 14:23 wib
6.211 views
Mau Patah Hati Berapa Kali Lagi?
Dulunya tertipu image humble dan merakyat yang semu,
begitu jadi, perlahan muncul belang dan taring tajam
Slogan pro rakyat hanya bertahan di panggung sebagai magnet suara
Kebijakan yang lalu dibuat tak sedikitpun yang memihak rakyat
Utang negara kian berlipat, harga bahan pangan semakin melonjak,
BPJS dan kenaikan pajak tak seiring dengan peningkatan layanan masyarakat
Namun di sisi lain, karpet merah tergelar bagi pemilik modal
Pengampunan pajak dikampanyekan, agar dana pengusaha tak lari ke luar negara
Meskipun jauh panggang dari api, pajak terampuni, dana kembali lenyap ditelan bumi
Pengangguran dalam negeri pun kian tak terhitung, bahkan di kalangan alumni perguruan tinggi
Tapi justru serbuan pekerja asing membanjiri, meminggirkan pekerja lokal hingga ke sudut negeri
Apakah hati belum merasakan patah, atau setidaknya gelisah?
Sekarang, tak pakai jurus tipu-tipu lagi
Allah singkapkan belang calon penguasa culas di penghujung pesta pemilihan
Terpelesat lidah calon penguasa ibu kota, menista agama umat mayoritas
Tapi ia tak gentar atau menyesal, justru terus mengulang penghinaan
Resah menyeruak tak hanya di ibu kota, tapi hingga ke seluruh penjuru nusantara
Jutaan umat mengambil langkah,wujudkan aksi bela Islam hingga jilid ke-empat
Tuntutannya sederhana, tangkap si penista, jebloskan ke penjara, tapi lalu drama bersetting pengadilan digelar
Proses peradilan yang berputar-putar cenderung tidak ada kejelasan
Bahkan, yang nampak jelas adalah adanya upaya kriminalisasi para ulama dan mereka-mereka yang kerap lantangkan suara
Habib Rizieq, Munarman, dan sederet nama terseret dalam berbagai tuduhan dan fitnah
Bahkan penghulu ulama dalam negeri, Ketua Umum MUI disadap pembicaraannya dan dicerca dalam pengadilan
Kepongahan si penista yang benderang memantik pertanyaan
Kekuatan sebesar apa yang dimilikinya, hingga seolah semua nyali tertumpuk padanya?
Menteri dan jenderal mengiba maaf atas namanya, memohon pemakluman dari Sang Ulama yang merasai kasar lidahnya
Menteri Dalam Negeri memberi klarifikasi, bahwa peraturan negeri yang menghalangi terdakwa jadi pemimpin, sangat mungkin direvisi
Hingga si penista, yang sudah jadi terdakwa, boleh kembali berkuasa seusai masa kampanye mendulang suara
Bahkan, dengan semua belang yang ditunjukkan, kesempatannya memenangkan pemilihan nampaknya tak terhalang
Pilkada lanjut ke putaran kedua, dengan nama si penista masih bertengger dengan manisnya
Harusnya hati tak lagi merasakan patah, tapi sudah lebur bersama kepercayaan yang menguap
Kepercayaan pada demokrasi yang sejak awal semestinya tak perlu ada
Bukankah kita hanya perlu percaya padaNya
Bukankah Rasulullah pun tak meneladankan jalan demokrasi bagi kebangkitan umat ini?
Bukankah sederet cela dan belang yang dicipta demokrasi, yang awalnya malu-malu maupun yang sejak awal beringas, semestinya menjadi tanda?
Sungguh tak layak kepada demokrasi kita berharap, apalagi memimpikan kegemilangan umat dengannya
Karena demokrasi bukan sekedar setor suara atau majelis musyawarah, seperti yang selama ini dikira
Sebuah konsekuensi pemilihan penguasa di alam demokrasi, adalah langgengnya sistem itu sendiri
Sistem yang menempatkan undang-undang buatan akal jauh lebih mulia dibandingkan ayat-ayat Allah
Sistem yang menjadikan konstitusi adalah harga mati meskipun bertentangan dengan aturan Ilahi
Sistem yang meniscayakan kelenturan hukum, ia boleh dipermainkan, tergantung siapa yang memegang kekuasaan
Sistem yang memustahilkan kebebasan umat untuk menghamba kepada Allah dengan sempurna, karena agama hanya boleh berpendapat, tak boleh dijadikan standar mutlak
Masihkah ingin merasakan patah hati, untuk yang kesekian kali?
Padahal Allah telah firmankan jalan kehidupan yang terang benderang
Bebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk, untuk kembali menghamba pada Sang Pemilik Makhluk
Sudahi harapan semu pada demokrasi, fokuskan pandangan hanya pada aturan Allah
Kaji dan pelajari thariqah kebangkitan hakiki ala Rasulullah
Sibukkan diri dalam upaya memantaskan diri sebagai penerima pertolongan Allah
“Kalian adalah umat terbaik yang diturunkan kepada manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar” (ali Imran: 110)
Sebuah kebangkitan selalu bermula dari lisan-lisan yang tak henti menyampaikan kebaikan
Sebagaimana Mushab bin Umair yang tak henti sampaikan dakwah pada penduduk Madinah
Sebagaimana Rasululullah yang tak henti lafadzkan seruan kepada para pemimpin negeri yang bertandang ke Makkah
Maka seperti itulah kebangkitan Islam bermula, dengan dakwah yang melahirkan revolusi yang diberkahi
Bermula dari rumah sederhana Arqam bin Abil Arqam, meluas hingga seluruh penjuru dunia
Aqidah sudah tergenggam, tapi kemuliaan umat masih perlu diperjuangkan
Mari satukan langkah, kokohkan perjuangan pada jalan keteladanan Rasulullah
Gencarkan dakwah, kayakan pemahaman Islam, sibukkan diri dalam ketaatan
Semoga Allah segera memberikan pertolongan karena ikhtiar yang kita lakukan
Semoga khilafah yang dijanjikan, yang sesuai manhaj kenabian, mewujud di masa kita, karena perjuangan kita
Kiriman Oktavia Nurul Hikmah
Pengajar HSG Mutiara Umat Surabaya, alumni Universitas Airlangga
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!