Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Februari 2017 16:47 wib
6.461 views
Membabat Korupsi Seakar-Akarnya? Asal...
Oleh: Wijaya Kurnia S (Syabab HTI Nganjuk)
Korupsi di Indonesia ibarat sebuah wabah penyakit yang telah menyebar luas ke seantero negeri. Pada bulan Agustus tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi (harianterbit.com). Adanya monopoli kekuasaan di daerah disinyalir menjadi faktor utama penyebab terjadinya tindak pidana korupsi.
Kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengelolaan APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin sumber daya alam dan usaha, pengadaan barang dan jasa, pembuatan peraturan kepala daerah dan adanya dinasti kekuasaan yang menyebabkan kepala daerah leluasa melakukan tindak pidana korupsi melalui suap dan gratifikasi.
Kasus korupsi di bumi kota angin Nganjuk juga sangat mengkhawatirkan. Mulai dari kasus korupsi perjalanan dinas Sat Pol PP, kasus korupsi proyek pengadaan mebeler Dikpora, dugaan korupsi proyek gedung KPU, dan dugaan korupsi CT Scan RSUD Nganjuk (koranmemo.com). Orang nomor satu di Nganjuk pun tak luput dari dugaan korupsi, bahkan pada bulan Desember lalu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pada Selasa lalu (24/1/2017) telah dilakukan pemeriksaan pertama terhadap Bupati Nganjuk sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi lima proyek pembangunan di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2009.
Bupati Nganjuk diduga melakukan atau turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan di lima proyek, yakni proyek pembangunan jembatan Kedungingas, proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, dan proyek perbaikan Jalan Sukomoro sampai Kecubung. Kemudian, proyek rehabilitasi saluran Ganggang Malang, dan yang terakhir, proyek pemeliharaan berkala Jalan Ngangkrek ke Mblora di Kabupaten Nganjuk. Bupati Nganjuk periode 2008-2013 dan 2013-2018 diduga menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya (Kompas.com).
Berbagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik begitu meresahkan. Memutus mata rantai korupsi juga seakan sulit dilakukan. Pembentukan komisi khusus untuk memberantas korupsi juga sudah dilaksanakan. Namun, korupsi seakan tidak bisa hilang dan malah tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Korupsi tindak lagi dilakukan secara sendiri-sendiri, bahkan secara “berjamaah”.
Penyelesaian kasus korupsi seakan lambat dan berlarut-larut. Para koruptor dihukum ringan, sedangkan pencuri ayam babak belur dan dipenjara. Hukum di negeri yang menganut demokrasi ini masih saja tak adil, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal ini terlihat dari hasil putusan hakim kepada salah satu terdakwa korupsi proyek pengadaan seragam batik PNS Nganjuk APBD 2015 senilai total Rp 6,05 milyar yang melibatkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Nganjuk yang akhirnya menerima vonis hukuman penjara 1 tahun dan denda Rp 50 juta dari majelis hakim.
Bobot hukuman Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Nganjuk ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni penjara selama 1,5 tahun. Selain Sekda Nganjuk, dua terdakwa lain juga menerima vonis hakim. Yakni Direktur CV Agung Rejeki yang divonis 1 tahun penjara dan Direktur CV Ranusa yang diganjar 2 tahun dan 6 bulan. Sementara satu terdakwa lagi, Direktur PT Delta Inti Sejahtera Sunartoyo dijadwalkan baru menerima vonis hakim pekan depan dalam persidangan terpisah (matakamera.net). Hukumannya sangat ringan bukan?
Korupsi yang ada di Indonesia seperti sebuah penyakit bawaan yang sulit disembuhkan. Sebenarnya faktor apa yang menjadi penyebab timbulnya korupsi di Indonesia?. Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231). Merujuk pendapat para pakar, ada 4 (empat) faktor penyebab korupsi yakni :
- Ideologi : penerapan Ideologi kapitalisme menumbuhkan nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat yang mendorong terjadinya korupsi. Sistem penggajian yang rendah dan tidak mampunya pemerintah menyediakan secara murah fasilitas kesehatan dan pendidikan yang membuat beban hidup masyarakat menjadi berat sehingga harus mencari penghasilan tambahan dengan cara-cara yang tidak sah atau korupsi. Selain itu, penerapan sistem demokrasi yang faktanya berbiaya mahal menghasilkan para penguasa korup. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu. Korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.
- Kelemahan karakter individu : karakter rakus dan serakah yang dimiliki oleh individu serta individu yang tak tahan godaan uang suap.
- Lingkungan/masyarakat : budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat untuk bererima kasih dengan cara yang keliru atau pun untuk mempercepat proses administratif birokrasi yang berbelit-belit. Hingga akhirnya sekarang sudah dianggap biasa dan menjadi peraturan yang tidak tertulis (pungutan liar).
- Penegakan hukum yang lemah : selama ini vonis terhadap koruptor terbilang ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Sangat berbeda dengan hukuman bagi bandar narkoba atau teroris yang sering ditembak mati padahal belum terbukti bersalah di pengadilan. Selain itu, tumpang tindihnya kewenangan penegak hukum dan tidak efisiennya mekanisme pengadilan karena prosesnya begitu rumit dan bertele-tele, dan berujuang tanpa kepastian. Penegakan hukum akhirnya sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kelemahan dan kasus hukum pihak lain lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing.
Dalam pandangan Islam korupsi disebut dengan perbuatan khianat, yakni tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Maka islam memiliki cara yang khas untuk mencegah tindakan korupsi :
- Ideologi : penerapan ideologi islam yang diemban oleh Negara (Khilafah) menumbuhkan ketaatan masyarakat dan penguasa kepada aturan Allah (syariat Islam). Penjamin pendidikan dan kesehatan oleh Negara menjadikan masyarakat tidak terbebani dengan beban yang berat. Selain itu para aparatur Negara juga amanah dan professional. Dalam rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin”. Selain itu Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”. Negara juga wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
- Tidak boleh memberi hadiah kepada penguasa dan menghitung kekayaan aparat Negara : Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad). Islam juga memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
- Keteladanan dari pemimpin : Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya. “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab : 21).
- Pengawasan oleh negara dan masyarakat serta penegakkan hukum yang adil : Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.” Islam menjamin kepastian hukum dengan menghilangkan pembagian jenjang pengadilan. Selain itu, dalam Islam, institusi peradilan adalah satu. Sehingga tidak adanya tumpang tindih kewenangan dan kasus-kasus hukum bisa cepat diselesaikan dan dihukum maksimal serta memberikan efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi pengingat untuk masyarakat untuk tidak melakukan hal yang sama.
Koruptor adalah musuh kita bersama, korupsi akan lenyap bila islam dijadikan sebagai aturan kehidupan dalam bingkai Khilafah Rasyidah. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!