Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Februari 2017 23:58 wib
6.811 views
Bismillah, Mari Selamatkan Negeri
Oleh: Mahfud Abdullah (analis di PKDA)
Sebagai warga negara sekaligus anak bangsa yang peduli terhadap nasib dan masa depan negeri,sangat relevan ketika kita berupaya untuk memberikan solusi atas masalah yang dihadapi. Meski kadang sebatas wacana dan ide,yang perlu dilihat adalah dari sisi semangat untuk perbaikan dan perubahan ke arah nasib yang lebih baik. Maka semangat yang dikedepankan adalah dialog, pendekatan ilmiah, intelektual, bukan pendekatan sok-sokan. Termasuk dalam menyikapi ide penyelesaian atas masalah negeri ini di saat berbagai upaya tidak mampu membawa negeri ini kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, bertambahnya jumlah utang luar negeri,bertambahnya jumlah rakyat miskin,naiknya pajak,harga BBM dan TDL, kinerja pemerintah yang amburadul, lemahnya hukum sebagai panglima, serta segudang masalah lain, bukti negeri ini sedang butuh cara baru. Apalagi dengan semangat keterbukaan dan kebebasan berpendapat yang juga telah dijamin undang-undang,maka sebuah organisasi yang legal berhak memberikan wacana atas solusi yang terjadi.
Benar, ancaman utama terhadap negeri ini hingga saat ini setidaknya ada dua. Pertama: Sekularisme. Sejak Indonesia merdeka, lebih dari 70 tahun negeri ini dijajah oleh sistem sekular hingga sekarang. Karena itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari Islam. Akibatnya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh bangsa ini, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi.
Lihatlah, meski Indonesia amat kaya dan sudah lebih dari 70 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 70 tahun merdeka, hidup kok makin susah.
Kedua: Neoliberalisme dan neoimperialisme. Indonesia memang telah merdeka secara fisik. Namun, penjajahan tidaklah berakhir begitu saja. Kafir Barat penjajah tetap berupaya melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk Indonesia. Neoliberalisme dan neoimperialisme mereka lancarkan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain.
...Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan...
Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk membantu negara berkembang seperti Indonesia, tetapi justru untuk melegalkan penjajahan mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara ekonomi maupun politik. Penentuan pejabat, misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka.
Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan tuan-tuan kapitalis mereka. Demi memenuhi kemauan tuan-tuan kapitalis itu, tidak segan mereka merancang aturan dan membuat kebijakan yang merugikan bangsa dan negara. Lihatlah UU Kelistrikan, UU Migas dan UU Penamanan Modal.
Lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil. Lihatlah pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir 9 tahun lalu. Lihat pula perpanjangan kontrak Pemerintah dengan Freeport yang telah mengeruk jutaan ton emas di Papua selama puluhan tahun. Ironisnya, kontrak itu diperpanjang lagi oleh Pemerintah sampai 2041! Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita rasakan sekarang.
Maka saatnya seluruh elemen umat ikhlas berkontribusi agar kita melangkah bersama keluar dari krisis ini. Maka langkah yang tepat sesama anak bangsa dalam hal ini adalah dialog solusi. Bukan arogansi yang dibacking kekuasaan. Patut dipertanyakan mereka yang berbusa-busa bicara tentang menyelamatkan negara, namun kukuh mempertahankan negara sekular yang kapitalis ini. Berbusa-busa bicara cinta terhadap negeri ini, namun justru menjual negeri ini kepada asing. Saatnya kita renungkan dan segera mengambil Islam sebagai solusi. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!