Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Februari 2017 17:30 wib
7.639 views
Warning: Jual Beli Jabatan, Wani Piro?
Oleh: Taufik Setia Permana (Aktivis Gema Pembebasan Malang)
Jual beli jabatan di kalangan aparatur semakin marak. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengungkapkan bahwa hasil jual beli jabatan di pemerintahan selama 2016 mencapai Rp. 35 triliun dengan kerugian negara sebesar Rp 350 triliun. Biaya politik (cost of politic)yang tinggi menajadi salah satu faktor indikasi utama.
Hal tersebut disadari oleh Sofian Effendi Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)“Ini akibat politik biaya tinggi karena jadi kepala daerah memerlukan biaya besar, caranya re-counter cost dengan berjualan jabatan ini," kata dia kepada Liputan6.com, di Jakarta, Senin (16/1/2017)
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengungkapkan bahwa tindakan suap jual beli jabatan bukan dari sektor birokrasi saja namun orang-orang elit pejabat tinggi bisa ikut campur tangan, "Ada faktor utama, yakni tekanan dari atasan. Kalau di daerah, kepala daerah atau DPRD yang memaksa korupsi dalam bentuk jual beli jabatan," ujar Ade dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017).
Jual beli jabatan aparatur negara sudah menjadi dinasti yang terus turun menurun. Hal tersebut dikarenakan kepala daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengganti pejabat yang ada dibawahannya, jelas ini akan memperlebar adanya jual beli jabatan. Parahnya ternyata hampir seluruh daerah melakukan perbuatan haram tersebut. Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan berujar “unsur suap jual-beli jabatan terjadi di 90 persen pemerintah daerah di Indonesia," dilansir oleh tempo (17/1/17)
Tentu saja perbuatan ini sangat merugikan rakyat karena akan menghasilkan pejabat-pejabat yang tidak berkopenten dan bahkan korup. Mereka akan terus mencari mangsa target-target jualan jabatan pada anggota bawahannya. Maka tidak heran penyakit ini akan terus berangsur hingga menjadi budaya pada aparatur negara.
Adanya tarif jabatan yang mahal memang menjadi permasalahan parsial. Lihat saja tarif jabatan untuk Eselon IV sebesar 10-15 juta, Eselon III 30-80 juta, Unit pelaksanaan teknis dinas 100 juta, Kepala sekolah 125-150 juta, Eselon III (sekretaris dan kepala bidang) 150 juta, lelang jabatan pratama 300 juta, dan Eselon II (Kepala dinas) 400 juta.Sehingga secara terpaksa aparatur akan terus berlomba-lomba untuk mencari uang dengan menghalalkan segala cara. Mereka akan menjadikan rakyat sebagai sapi perah untuk menghasilkan uang yang nantinya di korupsi dan disalah gunakan untuk kepentingan yang tidak lain agar bisa naik jabatan.
So What?
Jual beli jabatan menjadi bibit lahirnya pejabat-pejabat korup, bisa jadi orang korup akan menghasilkan orang-orang yang lebih korup. Sehingga lahirlah para pejabat yang tidak ingin mengkritik atasannya dan saling bungkam, mereka akan cenderung menekan bawahannya untuk mengeruk sebuah upeti atas imbalan kenaikan jabatan. Sehingga, tuntutan rakyat terhadab peningkatan pelayanan publik dan fasilitas untuk masyarakat tidak akan pernah tercapai, sebab dana yang semestinya digelontorkan untuk peningkatan sarana dan prasana sudah di korup oleh pejabat-pejabat tersebut.Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban utamanya.
Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa peraturan tindakan pidana bagi aparatur yang terbukti melakukan jual beli jabatan ternyata tidak menjadikan efek jera. Bahkan KPK tidak mempunyai kewenangan khusus untuk menjerat para aparatur negara yang terbukti melakukan jual jabatan. Hal tersebut menjadikan mereka semakin bebas melakukan perbuatan tersebut.
Bila kita mencermati, pada dasarnya permasalahan ini terletak pada sistem dan cara pengeggakkan hukum yang masih memberikan kelonggaran pada aparatur negara untuk melakukan jual beli jabatan.
Sudah sewajarnya pemerintah tidak pragmatis dalam mengatasi permasalahan ini. Bukan lagi dengan cara membentuk lembaga-lembaga khusus yang justru mereka juga tersangkut suap. Bukan juga dengan merubah RUU baru namun faktanya mereka masih leluasa melakukan praktik haram tersebut. Maka solusi yang ditawarkan bukanlah solusi yang hanya mencabut batang pohon sedangkan akarnya tetap tertanam.
Perlu pemerintah meninjau kembali tindakan pidana bagi para aparatur negera yang terbukti melakukan jual beli jabatan. Selain mereka di copot dari jabatan secara tidak terhomat pemerintah juga perlu menindak tegas dengan hukuman pidana yang membuat efek jera.
Menerapkan islam secara kaffah (keseluruhan) merupakan solusi tepat dari berbagai permasalahan sistemik ini, termasuk hukuman pidana bagi para pelaku jual beli jabatan maka apabila kita menggunakan cara pandang islam para pelaku jual beli jabatan sudah termasuk ghulul(korupsi) dan akan dijatuhi hukuman potong tangan atau di ta’dzir (ketentuan hakim). [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!