Ahad, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 27 November 2016 20:20 wib
7.099 views
Kemenangan Trump, Bukti Omong Kosong Demokrasi!
Oleh: Syifa Nurjanah
Masih teringat kegaduhan yang terjadi pada tanggal 7 november hingga sekarang dan masih belum surut aksi protes diseluruh belahan Amerika. Tentu saja hal ini berkaitan dengan kemenanagan Donald Trump dalam pemilihan presiden, yang menggagalkan Hillary Clinton mencatatkan diri sebagai presiden perempuan pertama di negara kampiun demokrasi tersebut.
Wajar saja terjadi banyak protes dibelahan negara paman sam tersebut, karena memang sejak awal kampanye banyak sekali pernyataan-pernyataan Trump yang memancing banyak emosi masyarakata dan mayoritas masyarakat negara tersebut tidak setuju dengan apa yang Trump nyatakan. Namun tak sedikit pula yang menyatakan dukungannya pada Trump salah satunya adalah dari golongan republiken perempuan seperti yang dikutip oleh tempo.co(11/11) bahwa pendukung Trump juga banyak yang dari kalangan perempuan dan mereka memilki pengaruh yang cukup besar dalam gerakan perempuan seperti Mary Baket yang merupakan Kepala Federasi Perempuan Republiken Pensylvania.
Dan seolah-olah mengabaikan bentuk negaranya yang merupakan kampiun demokrasi, pemerintah amerika cenderung mengabaikan demonstarn yang menolak kemenangan Trump, aksi damai hingga aksi yang diwarnai kekerasan dan anarki masih terus terjadi di beberapa negara bagian seperti di Portland Oregon(liputan6.com 13/11).
Dalam hal ini memang Trump sangat frontal mengemukakan orasi kampanyenya, dia menyatakan akan menolak dan melarang seluruh warga muslim untuk datang ke Amerika Serikat meskipun hal tersebut berlawanan dengan pidato kemenagannya bahwa dia berjanji akan menjadi presiden untuk seluruh rakyat amerika dengan berbagai macam ras, agama dan latar belakang.
Ini membuktikan kebobrokan sistem demokrasi yang menyatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, namun apa yang terjadi di negara kampiun demokrasi tersebut adalah berlawanan dengan peryataan demokrasi yang dinyatakan. Banyak masyarakat yang tidak menginginkan kemenangan Trump namun hal tersebut cenderung diabaikan, banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan bahwa suara yang didapat dari hasil pilpres amerika tersebut bukan hasil yang murni. Namun siapapun pemimpin amerika dia teptaplah musuh Islam karena Amerika telah dan akan terus menghegomoni negeri-negeri muslim dan merampasa kekayaan dan potensi kaum muslim serta mendukung para diktator yang dzalim.
Didalam Islam ada hal yang perlu diperhatikan dalam hal memilih pemimpin,suara masyarakat akan seseorang yang akan dijadikan pemimpin. Karena masyarakat tidak bisa memilih sembarang orang untuk dijadikan pemimpin mengingat segala hal yang dilakukan dan dipilh akan dipertanggung jawabkan diakhirat.
Dalam sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiatmerupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.
Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا
Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.
Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).
Juga dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah dia bersabar. Sebab, tiada seorang pun keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka dia mati seperti mati jahiliyyah (HR al-Bukhari).
Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’.
Dan jelas pula bahwa hanya dengan menerapkan syariah lah akan ada pemimpin yang benar-benar mammpu memimpin negara yang disebut kalifah dalam sistem khilafah. Wallahu ‘alam bi asshawab.[syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!