Senin, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Mei 2016 13:48 wib
8.381 views
Penjara yang Tak Memberi Efek Jera
Sahabat VOA-Islam...
Rutan Bengkulu dilalap Si Jago Merah pada Jumat malam (23/3) kemarin. Akibatnya ratusan napi dievakuasi ke Lapas Bengkulu dan lima napi tewas terbakar. Rusuh itu pecah karena karena rutan dibakar oleh para napi yang melakukan perlawanan saat aparat menangkap seorang napi yang terlibat jaringan narkoba.
“Jadi ini bukan bagian Operasi Bersinar tapi ada sweeping dan ada salah satu napi yang mengendalikan peredaran narkoba di Bengkulu sehingga terjadi ribut dan rusuh.”
Kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Saat ini Polri, bersama TNI dan BNN, memang sedang menggelar Operasi Bersinar dalam rangka perang terhadap nrkoba. Ini merupakan operasi terpusat yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Operasi ini digelar mulai Senin (21/3) hingga 30 hari ke depan. Pelaksanaan operasi ini sebagai tindak lanjut terhadap perintah Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa Indonesia darurat narkoba. Namun keterangan berbeda dirilis Karo Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham Effendi Peranginangin. Menurut Effendi, hal ini dipicu oleh aksi penggeledahan yang dilakukan BNNP Bengkulu pada Jumat malam sekitar pukul 20.30 WIB. Saat itulah terjadi perlawanan oleh tahanan dengan menjebol pintu hunian dan membakar seluruh blok hunian (A, B, C kecuali blok wanita), (Beritasatu.com 26/03/16).
Apapun penyebabnya, inilah hukum produk sistem Demokrasi yang menjadikan penjara justru sarang penjahat yang terus melakukan kriminal secara bebas. Penjara semestinya bukan cuma tempat pemenjaraan, melainkan lebih penting lagi tempat penjeraan. Akan tetapi, aneh dan ajaib pula, penjara justru menjadi tempat persemaian kejahatan berlipat-lipat. Itulah yang terjadi di Rumah Tahanan Malabero, Kota Bengkulu. Para tahanan di sana melakukan kejahatan berlipat, yakni mengedarkan narkoba dan melawan petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) yang hendak menggeledah mereka hingga memantik kerusuhan yang menyebabkan rutan terbakar.
Persoalan narkoba di penjara terus terjadi seperti tak bisa diberantas tuntas. Padahal, pengungkapan narkoba di penjara telah dilakukan sejak 2012. Kepolisian dan BNN telah mengungkap jaringan peredaran narkoba yang beroperasi di balik jeruji besi, mulai di LP Nusakambangan, Cilacap, Jateng, hingga LP Kerobokan, Bali, dan teranyar di rutan Malabero Bengkulu. Sebenarnya penjara bukan tempat liar tanpa pengawasan. Semestinya tidak sulit mendeteksi peredaran narkoba dan kejahatan lainnya.
Semua terkontrol, dipagari tembok serupa benteng. Kegiatan penghuninya terbatas, tidak bisa sembarangan keluar-masuk mesti melewati berlapis pemeriksaan. Bahkan, kamera pengawas dipasang di tiap sudut penjara. Tidak sekedar terkoneksi ke server LP. Kamera pengawas itu bisa diakses realtime lewat telpon seluler Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly. Menteri Yasona yang bisa mengakses seluruh CCTV yang terpasang di LP hanya lewat sentuhan jarinya pun masih kecolongan. Yang terpenting bukanlah memasang CCTV dan segala perangkat canggih lainnya, melainkan membentuk integritas petugas LP dan rutan yang tangguh, yang memiliki integritas tinggi, tidak mudah kompromi, dan menolak segala bentuk transaksi.
Jajaran Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM harus menjadi yang terdepan memberantas peredaran narkoba di penjara. Tidak boleh lagi ada upaya menghalangi aparat BNN dan kepolisian saat mereka akan melakukan razia. Berkedok urusan tetek bengek administrasi, petugas LP diduga mempersulit upaya represif yang dilakukan BNN dan Polri. Cara-cara seperti itu jelas memberi waktu bagi jaringan narkoba menyembunyikan barang bukti, (metronews.com 28/03/16).
Penyebab utama maraknya narkoba adalah akidah sekulerisme yang menjadi landasan kehidupan masyarakat saat ini. Falsafah pemisahan agama dari kehidupan itu menyuburkan gaya hidup hedonis dan permisif atau serba boleh. Masyarakat diubah menjadi pemburu kesenangan dan kepuasan. Prinsipnya bukan halal-haram atau pahala-dosa, tetapi my body my right, “uang saya sendiri dan badan saya sendiri, terserah saya.” Akhirnya miras, narkoba, perzinaan, seks bebas, pelacuran, dsb, menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat.
Sistem hukum yang diharapkan memberantas nyatanya tumpul. Menurut UU saat ini, pecandu narkoba tidak lagi dipandang sebagai pelaku tindak kriminal, tetapi hanya korban atau seperti orang sakit. Seolah itu memberi pesan bahwa mengkonsumsi narkoba itu tidak melanggar hukum. Pantas saja orang tdak takut lagi mengkonsumsi narkoba. Sebab merasa tidak akan terkena sanksi hukum.
Sementara itu, narkoba memicu tindak kejahatan, kehancuran rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan Tugu Tani Jakarta misalnya yang menewaskan sembilan orang, pengemudinya ternyata ketika itu dalam pengaruh narkoba. Belum lagi dampak penyebaran penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS sebagai akibat penggunaan jarum suntik bergantian diantara para pengguna narkoba. Di sisi lain, sanksi hukum yang dijatuhkan terlalu lunak. Vonis mati yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera pun justru dibatalkan oleh MA dan grasi Presiden, seperti yang terjadi pada kasus Corby bandar narkoba warga negara Australia.
Bandar dan pengedar narkoba yang sudah dihukum juga berpeluang mendapatkan pengurangan masa tahanan. Parahnya lagi, mereka tetap bisa mengontrol penyebaran narkoba dari dalam penjara. Masalahnya makin gawat, ketika aparat penegak hukum yang sudah buruk itu, tak sedikit justru terjerat narkoba. Menurut data di Mabes Polri, dari Januari hingga 14 Maret 2012 (tiga bulan) saja sebanyak 45 anggota polisi di Indonesia terlibat kasus narkoba. Jumlah sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak.
Demikian juga banyak kejahatan yang terjadi akibat minuman keras (miras). Padahal semuanya sudah tahu dan terbukti, miras pangkal berbagai macam kejahatan. Polres Minahasa Utara mencatat, dari 969 kasus kejahatan dan KDRT sepanjang 2011 di wilayahnya dipicu oleh minuman keras, (tribunmanado.co.id 05/01/12). Kabid Humas Polda Sulut Ajun Komisaris Besar Benny Bela di Manado mengatakan, masih tingginya tindak kriminalitas di daerah itu disebabkan oleh miras. Diperkirakan 65-70% tindak kriminalitas umum di daerah itu disebabkan oleh miras. Selain itu sekitar 15 kecelakaan lalu lintas juga akibat pengaruh miras, (Kompas.com 21/01/11).
Miras juga menjadi pemicu beberapa tawuran massal seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah dan hingga menyebabkan beberapa korban tewas. Tak sedikit orang yang tewas setelah menenggak miras, seperti baru-baru ini belasan mahasiswa tewas di Yogyakarta setelah pesta miras. Kemudian kasus miras oplosan yang menewaskan banyak orang di Sumedang, Cirebon, Tegal dan lain-lain. Menyedihkannya lagi, miras ini tidak hanya dinikmati oleh orang awam. Aparat keamanan yang seharusnya menertibkan masyarakat malah ikut-ikutan. Ini yang terjadi di Papua. Tiga polwan sampai teler karena mengkonsumsi miras di rumah kos mereka.
Memberantas kejahatan narkoba dan miras harus dilakukan dengan membongkar landasan hidup masyarakat yang rusak dan menggantikannya dengan yang benar yaitu dengan menanamkan akidah Islam. Sehingga orang takut melakukan kejahatan karena takut akan siksa dan mengharap keridhaan Allah di akhirat. Berikutnya, negara wajib memupuk keimanan dan membina ketakwaan masyarakat. Kuncinya adalah penerapan sistem Islam secara total. Ketika sistem Islam diterapkan hanya orang yang pengaruh imannya lemah atau terpedaya oleh setan yang akan melakukan dosa atau kriminal, termasuk kejahatan narkoba dan miras.
Jika pun demikian, maka peluang untuk itu dipersempit atau bahkan ditutup oleh Syariah Islam melalui penerapan sistem pidana dan sanksi dimana sanksi hukum bisa membuat jera dan mencegah dilakukannya kejahatan. Islam melarang dan mengharamkan narkoba. Ummu Salamah menuturkan: “Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan”. (HR Abu Dawud dan Ahmad). Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘iraqi dan Ibnu Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ ganja (lihat, subulus salam, IV/39, Dar Ihya’ Turats al-Arabi 1379).
Kemudian Islam dengan tegas mengharamkan khamr atau miras. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (TQS al-Maidah [5];90).
Sebagai zat haram, siapa saja yang menkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan tindakan kriminal yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksi itu diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi. Bisa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat. Terhadap pengguna narkoba dan miras yang baru sekali, selain harus diobati/ direhabilitasi oleh negara secara gratis, mungkin cukup dijatuhi sanksi ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan, mereka juga membahayakan masyarakat. Sehingga layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibebaskan. Vonis qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam hukuman zina (lihat QS an-Nur[24];2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Maka dengan itu kejahatan narkoba dan miras akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan Syariah Islam.
Demikianlah Islam mencegah manusia dari kerusakan akal. Sebagaimana sudah dimaklumi, akal manusia bisa rusak akibat miras dan narkoba. Islam sangat peduli dengan nasib umat ini. Pada saat yang sama, Islam mewajibkan kaum Muslim belajar, menuntut ilmu, berpikir dan berijtihad. Semuanya ini bisa meningkatkan kemampuan intelektual manusia. Islam juga memuji para ulama karena ilmu dan sikapnya. Bisa dibayangkan, apa jadinya negeri yang bersih dari orang-orang yang rusak akalnya.
Itulah kerahmatan yang luar biasa. Sehingga Islam jika diterapkan dengan sempurna akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Karena itu impian kita akan masyarakat yang tenteram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi, hendaknya mendorong kita melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan Syariah Islam dalam bingkai sistem politik yang telah ditetapkan Islam yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallahu a’lam bish shawwab. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Ooy Sumini (Ibu Rumah Tangga)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!