Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 1 April 2016 17:50 wib
9.079 views
Ketika Eksistensi dan Syariahnya Perbankan Syariah Dipertanyakan
Oleh: Affan Rangkuti
(Ekonom Syariah Alumni Pasca Sarjana UIKA Bogor dan Ketua Alzis Pengurus Besar Ormas Islam Al Washliyah)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk sesuai mandat UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
Tujuannya agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Sistem pengaturan dan pengawasan dilakukan dan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Terkait tentang entitas syariah, OJK disuport dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dianataranya, fatwa DSN MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, fatwa DSN MUI Nomor 75/DSN-MUI/VII/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PBLS), fatwa DSN MUI Nomor 83/DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah. Ada juga UU diantaranya UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
Terbentuknya OJK dengan tujuannya yang mulia tersebut belum memperlihatkan eksistensinya secara nyata, seperti masih adanya investasi berpotensi merugikan masyarakat dengan imbal hasil di luar dari pemikiran yang rasional seperti KSP Pandawa Mandiri Grup yang berada di Depok yang hingga saat ini masih beroperasi dalam penghimpunan dana mengatasnamakan "koperasi" dan investasi berakad "bagi hasil".
Persoalan ini bukan hal yang baru, sebut saja Wein Group, MMM, Dream for Freedom dll sudah berurusan dengan pihak kepolisian. Industri haji dan umrah pun tidak sedikit yang diduga melakukan praktek-praktek yang akhirnya merugikan masyarakat, sebut saja travel Timur Sarana, Sahabat Sukses Indonesia (SSI) dll. Sampai kapan hal ini terus berlangsung, entahlah. Semua kita serahkan kepada institusi yang mengurus persoalan ini seperti OJK, Polri, Kemenag dan MUI sebagai sandaran fatwanya.
Akhir Februari 2015 lalu, salah satu Ketua MUI KH Dr Yusnar Yusuf melakukan kritisi tajam. Kritisi ini dialamatkan pada praktek pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah pada industri haji dan umrah. Kyai Yusnar mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh bank syariah justru bertolak belakang dengan UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Kritisi ini konstruktif baik pada internal MUI sendiri dalam berbenah diri juga pada eksternal seperti bank syariah. Beberapa bulan belakangan ini, perbankan syariah gencar melakukan promosi pembiayaan umrah dan haji dan menurutnya ini mengajarkan umat Islam untuk berhutang dan bukannya membuat kemaslahatan dan melakukan peningkatan gairah perekonomian pada sektor riil.
Menarik apa yang disampaikan Ketua MUI itu. Karena apa yang disampaikannya ternyata memiliki data yang kuat bukan hanya pada aspek syariah namun juga pada aspek analisis keuangan dan dampaknya atas aktivitas perbankan syariah. Bahkan ketua MUI ini mengancam akan melakukan demo besar melalui ormas Islam yang dipimpinnya Al Washliyah jika praktek mengajarkan hutang pada umat Islam ini terus dilakukan perbankan syariah. Memang, harusnya OJK sebagai lembaga independen dalam hal keuangan bertindak cepat, tidak harus menunggu ada masalah baru bertindak atau justru ada masalah juga tetap duduk manis di belakang meja. Pada Juni 2015 OJK merilis statistik perbankan syariah di http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS%20Juni%202015.pdf.
Bahwa sebanyak 12 bank syariah dan 34 unit usaha syariah dalam oprasionalnya disimpulkan perbankan syariah belum mendapat kepercayaan masyarakat karena pelaksanaan operasionalnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan bank umum konvensional pada umumnya.
Jumlah kepercayaan masyarakat hanya pada beberapa kota besar itupun tidak berjumlah signifikan, diantaranya yang terbesar ada pada daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Banten, Aceh, Sumatera Utara, Lampung dan Sulawesi Selatan.
Asset bank syariah hanya berjumlah 272,389 trilyun rupiah dengan perolehan laba bersih hanya sebesar 1,3 trilyun rupiah. Konsentrasi pengembangan bank syariah terpusat pada pembiayaan dengan jumlah pembiayaan sebesar 203,894 trilyun rupiah.
Besar alokasi pembiayaan dipicu oleh tingginya angka deposito sebagai simpanan masyarakat pihak ketiga sebagai pilihan dengan jumlah sebesar 129,890 trilyun rupiah. Ironisnya, bank syariah yang diharapkan sebagai motor penggerak ekonomi rakyat berbasis syariah justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Pembiayaan terpusat harusnya pada sektor modal kerja. Ini tidak, sektor pembiayaan modal kerja sebesar 80,099 trilyun rupiah hampir sama jumlahnya dengan pembiayaan konsumsi sebesar 79,167 trilyun rupiah.
Lebih parah lagi golongan yang diberikan pembiayaan yang harusnya adalah golongan usaha kecil menengah malah berbanding terbalik. Lebih besar pembiayaan dialokasikan pada golongan usaha bukan usaha kecil menengah dengan jumlah sebesar 152,290 trilyun rupiah sedangkan usaha kecil menengah hanya diberikan sebesar 51,603 trilyun rupiah.
Dalam pembiayaan tersebut justru ada persoalan tersendiri dimana pembayaran lancar hanya sebesar 173,106 trilyun rupiah sedangkan sisanya dalam predikat perhatian khusus sebesar 21,081 trilyun rupiah dan tidak lancar sebesar 9,707 trilyun rupiah.
Melihat kondisi ini, ada hal yang jauh lebih besar yang berpotensi terjadi. Perbankan syariah dimandatkan sebagai pengelola keuangan haji. Dana haji sendiri saat ini menjadi sorotan dan sampai sekarang prasangka publik atas pengelolaan dana haji ini belum dapat teredam. Puncak penunjukkan perbankan syariah sebagai pengelola dana haji terjadi pada medio Oktober 2014 lalu, ditandai dengan terbitnya UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Harapannya adalah, pengelolaan keuangan haji semakin baik dan dapat memberikan kemaslahatan bagi umat Islam.
Namun, dibalik harapan itu justru terbesit pertanyaan bagaimana mungkin pengelolaan keuangan haji menjadi baik dalam kondisi bank syariah seperti itu. Apakah UU itu lahir secara prematur. Ditambah lagi adanya frasa “nirlaba” yang kontradiktif dengan frasa lainnya bahwa dibolehkannya untuk “investasi”. Ada ketidakharmonisan antara dua frasa ini, pertanyaan ini mungkin hanya bisa dijawab oleh para inisiator terbentuknya UU ini. Bukan tidak mungkin suatu saat ini akan menjadi persoalan besar.
Hampir 80 trilyun rupiah dana haji dipertaruhkan nantinya jika disandingkan dengan kondisi riil perbankan syariah yang jauh dari harapan, bahkan etika, moral dan akhlak dalam berbisnisnya mendapat sorotan tajam dari salah satu petinggi MUI saat ini. Pertaruhan ini sangat tinggi, bukan hanya pada aspek pada dana saja namun juga pada eksistensi Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Tanah Air.
Mengingat pertaruhan ini begitu besar, maka pengelolaan dana haji kurang tepat jika difaham tunggalkan pengelolaannya melalui bank syariah yang kesyariahannya masih dipertanyakan, kemampuannyapun kurang berpihak pada peningkatan sektor ekonomi riil berbasis syariah.
Karena Indonesia menganut dualisme perbankan, ada bank syariah ada bank konvensional. Menurut. Perbankan syariah didasarkan pembentukannya melalui UU 21/2008 sedangkan perbankan konvensional didasarkan pada UU 10 1998 perubahan UU 7/1992 tentang Perbankan. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!