Rabu, 11 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Juli 2015 14:42 wib
5.876 views
Tolikara Simpul Disintegrasi Papua
Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Mencermati perkembangan kasus Tolikara 17 Juli adalah hal yang menarik. Tidak saja melihatnya sebagai persoalan hukum yang perlu diusut dan ditindak. Melainkan ada beraneka perspektif seputar persoalan menyeruak ke permukaan dengan respon meluas itu yang bernuansa politis, ekonomi, dan SARA. Dimana kasus ini sebenarnya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa ada proses sebelumnya yang melatar belakangi dan akan berujung pada target tertentu.
Terutama dalam memahami kedudukan saudara kita kaum muslimin Tolikara yang menjadi korban saat menunaikan ibadah sholat Iedul Fithri dalam peta pusaran persoalan Papua. Setidaknya ada beberapa fenomena yang bisa dipertimbangkan sebagai jembatan memahami kasus tersebut. Diantaranya adalah 1) Cara pandang dan rumusan kebijakan pemerintah yang ditunjukkan oleh Jokowi, JK, Kapolri, BIN, dan Panglima TNI. 2) Kasus Tolikara sebagai sub kasus dari beragam kasus berkepanjangan dan meluas di Papua. Dan 3) Peta opini media mainstream yang berkembang dan mengawalnya.
Sikap Ambigu Pemerintah
Cara tepat untuk mengukur seberapa kadar persoalan Tolikara adalah dengan melihat sikap pemerintah terhadap kasus ini. Belakangan nampaknya baik Jokowi, JK, BIN, Kapolri maupun Panglima TNI mengeluarkan statement atau instruksi bernada sama yakni pentingnya membangun komunikasi antar agama terutama umat islam agar tidak terpancing maupun terprovokasi dengan kasus tersebut. Dengan memberikan kepercayaan sepenuhnya terhadap penegak hukum untuk mengusut dan menindaknya.
Kapolri sudah menyampaikan terdapat 37 orang yang diduga terlibat. Bahkan Budi Waseso sampaikan bahwa perdamaian antara kedua belah pihak menjadi ujung penyelesaiannya. Sekalipun sebelumnya BIN melalui kepalanya Sutiyoso mensinyalir adanya dugaan campur tangan asing dimana jauh hari sebelumnya pada tanggal 11 Juli sudah diberitahukan kemungkinan terjadinya kasus tersebut. Himbauan tidak terpancing atau terprovokasi tersebut diikuti pula oleh permohonan maaf dari PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang merasa tidak merestui edaran pelarangan ibadah sholat Iedul Fithri dari GIDI berafiliasi dengan Israel itu.
Didukung pula nada yang sama dari MUI untuk tidak terpancing. Alhasil semuanya sepakat bahwa penting menjaga kerukunan antar umat beragama namun menyisakan pertanyaan besar bagaimana dan seberapa jauh adanya dugaan kepentingan asing berada di balik kasus tersebut sebagaimana yang disinggung oleh Kepala BIN. Disampaikan oleh Komat dan Komnas HAM berkaitan dengan isu petisi kepada PBB tentang kemungkinan referendum di Papua. Disitir oleh Mahfudz MD bahwa persoalan Tolikara kasus hukumnya jelas namun belum jelasnya tentang dugaan campur tangan asing. Dan diperkuat permintaan DPR melalui komisi I dan III untuk memanggil pemerintah berkaitan dengan kasus Tolikara dengan dugaan yang sama. Selain adanya fakta lain terdapat perda larangan menjalankan agama bagi umat Islam yang belakangan diketahui tidak pernah dilaporkan ke DPR.
Kasus Tolikara bagian dari beragam peristiwa di Papua
Sebagaimana diketahui bahwa kasus Tolikara adalah bagian dari rangkaian kasus yang terjadi di Papua. Menyasarnya kasus saudara kita muslim Tolikara bukan sesuatu yang tiba-tiba. Jika kita perhatikan secara seksama maka Papua diselimuti oleh beragam peristiwa. Papua—dahulu disebut Irian Barat dan Irian Jaya—penuh gejolak. Peristiwa kekerasan berupa penembakan pada rakyat sipil maupun aparat keamanan terjadi berturut-turut. Insiden Penembakan Misterius (Petrus) tahun 2012 meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan KontraS, tahun 2011 terjadi 13 peristiwa, satu peristiwa terjadi tahun 2010 dan 12 peristiwa tahun 2009. Pada tahun 2012, terhitung dari Januari sampai 11 Juni 2012, telah terjadi 17 peristiwa penembakan yang mengakibatkan setidaknya 7 warga sipil, satu jurnalis meninggal dan 10 orang mengalami luka kritis.
Isu Papua merupakan isu yang mendunia. Peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan anggota TNI, kerusuhan pekerja PT Freeport, peperangan antar suku, bahkan sentimen agama sering mewarnai Papua. Tak ayal perhatian dunia tertuju kepada Papua. Mengingat Papua, bumi yang kaya sumber daya alam, sementara sumber daya manusia masih di bawah rata-rata. Kemiskinan dan keterbelakangan kerap menerpa penduduk Papua. Terutama penduduk asli di Papua.
Internasionalisasi isu Papua bahkan sudah lama terjadi. Isu Papua merdeka pernah dijadikan pidato calon Perdana Mentri Papua New Guinea (PNG) yaitu Powes Parkop. Ketika Pidato, Powes berjanji akan mendukung perjuangan Free West Papua. Bahwa dalam kampanye untuk pemilihan Perdana Mentri di PNG tahun 2012, ia berjanji lebih berfokus pada masalah-masalah yang dihadapi bangsa Melanesia (termasuk di Papua Barat). Ia meminta kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendukung semua perjuangan OPM yang ada di seluruh kepulauan Pasific. Powes juga hadir di Canberra, Australia 28 Pebruari 2012 dalam acara peluncuran Kaukus Parlemen se-Asia Pasifik (IPWP) untuk mendukung gerakan separatis Papua.
Jika diamati secara mendalam maka upaya disintegrasi Papua adalah peristiwa penting diantaranya. Sebuah peristiwa dengan beberapa hal yang melingkupinya.
Pertama, runtutan sejarah Papua. Kedua, tokoh, organisasi dalam negeri maupun luar negeri yang mendukung disintegrasi. Ketiga, motif ekonomi-politik. Keempat, sentimen keagamaan.
Pertama, Awal kali Indonesia merdeka Papua belum masuk ke dalam wilayah NKRI. Indonesia dan Papua sama-sama dijajah Belanda. Akhirnya Papua resmi masuk menjadi bagian Indonesia pada tahun 1969. Perbedaan sejarah ini kerap digunakan alasan untuk menggugat penentuan pendapat rakyat (Pepera).
Adapun ketika Papua resmi menjadi bagian Indonesia sering diperdebatkan dalam Majelis Sidang PBB. Beberapa anggota tidak setuju dengan hasil Pepera. Mereka menilai hasil Pepera merupakan rekayasa pemerintah Indonesia. Di samping itu, rakyat Papua melalui pemimpin mereka sejak awal telah menyampaikan pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian NKRI.
Kedua, Ketidakseriusan pemerintah untuk mengurusi Papua dimanfaatkan beberapa orang untuk mendukung disintegrasi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Ulil Abshar Abdalla. Ulil beberapa waktu yang lalu melalui akun twitter menulis beberapa pernyataan untuk mendukung pembebasan Papua. Selain Ulil ada juga seorang sosok Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua, John Rumbiak, pada 25 Oktober 2005, menandatangani MoU dengan Greg Sword. Inti dari MoU berupa dukungan kepada setiap gerakan separatis. Pihak Internasional seperti calon PM Papua New Guineia juga menggunakan isu Papua merdeka sebagai kampanye. Tidak cukup perorangan. Namun organisasi atau kelompok, baik dalam maupun luar negeri kerap menjadikan isu Papua merdeka sebagai bagian dukungan. Diantaranya Organisasi Papua Merdeka (OPM), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Australia West Papua Asocciation (AWPA), Internastional Lawyers for West Papua (ILWP) di Inggris. Dan dukungan dari lembaga asing terutama pengamat Papua baik di Inggris, Australia, New Zealand, dan Amerika.
Ketiga, Papua merupakan wilayah berpotensi ekonomi besar. Sumber Daya Alam (SDA) begitu melimpah. Sebut saja emas, timah, dan tembaga. Kekayaan hayati juga terbentang luas di perairan lautnya. Disamping itu beberapa waktu lalu, ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi speologi Perancis di kawasan Pegunungan Lina, Kampung Irameba, Distrik Anggi, Kabupaten Manokwari. Gua ini diperkirakan mencapai kedalaman 2000 meter. Kawasan pegunungan di Papua Barat masih menyimpan misteri kekayaan alam yang perlu diungkap.
Tidak hanya itu, pertanian, pariwisata, dan hasil hutan juga menjadi potensi Papua. Kekayaan alam dan potensi wilayahnya dimanfaatkan oleh kapitalis asing. Misalnya PT Freeport yang mengeruk emas dan Arab Saudi yang menggarap pertaniannya. China juga berhasrat untuk membangun lapangan terbang dan pelabuhan. Akibat sering timbul konflik di Papua. Pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus (otsus). Otonomi ini diberikan sebagaimana Aceh atau daerah yang rawan konflik dan separatis. Hal ini dimaksudkan agar daerah tidak melepaskan diri. Dibalik pemberian otsus ternyata ada penyelewengan dana dari pusat yang turun ke daerah.
Dana yang ada sering dijadikan lahan basah korupsi. Pertengahan April 2011 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan penyelewengan dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 triliyun. Dana tersebut bahkan mandeg dan didepositokan ke bank nasional dan swasta. Seperti halnya yang dituturkan oleh Rahmat Kogoya sebagai anak Tolikara yang menyebut bahwa kasus 17 Juli sarat dengan dugaan permainan politik Bupati Tolikara diantaranya korupsi sampai 635 Miliar yang didukung dengan alat bukti serta keterangan saksi sampai saat ini ngak tuntas tuntas.
Termasuk dugaan bahwa Bupati Tolikara adalah Ketua Panitia Pelaksana Seminar dan Kongres Pemuda GIDI di Tolikara, sekali lagi bahwa kuat dugaan Bupati Tolikara sengaja menciptakan konflik di Tolikara guna menghindari proses hukum yang menantinya. Ketidak-amanahan penguasa di Papua dan lemahnya pemahaman politik rakyat. Akhirnya warga asli Papua dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Ibaratkan mengail di air keruh. Dukungan sering ditunjukkan oleh kapitalis asing yang bercokol di Papua dan para misionaris kristen yang beroperasi di pedalaman. Lagi-lagi rakyat Papua dijadikan tumbal karena keserakahan sebagian orang untuk meraup keuntungan sesaat.
Perhatian pemerintah yang tidak serius dalam memberikan keamanan, jaminan kesejahteraan, dan keadilan. Mengakibatkan tekanan politik yang dilakukan asing kian gencar. Politik luar negeri Indonesia sendiri bukanlah politik yang berdaulat. AS telah memberikan ruang gerak kepada para aktivis pendukung Papua merdeka (pro-M) seperti Herman Wainggai yang saat ini telah menetap di AS. Padahal AS terkenal dengan negara superketat terkait kedatangan orang asing. AS juga berkolaborasi dengan Inggris, Belanda dan Australia.
Hillary Clinton (Menlu AS) yang pada November beberapa tahun lalu di Hawai (sebagaimana dilansir AFP 11/11/2011) mengatakan bahwa Pemerintah AS telah khawatir atas kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, sehingga pihaknya akan mendorong adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua ? Sesungguhnya sikap politik luar negeri AS sering bermuka dua. Sebagaimana di Papua. AS bekerja sama dengan Australia untuk mengontrol separatis. Selain itu juga untuk melindungi kepentingan AS seperti Freeport. Pangkalan militer AS juga sudah dibangun di Darwin Australia. Jika ada yang mempersoalkan aset AS di Papua, barulah AS berulah. Tidak jadi persoalan Bagi AS Papua akan merdeka atau tidak. Bagi AS yang penting bisa ‘cari makan’ dan ‘cari aman’ di Papua untuk menjaga kepentingannya.
Keempat, Sentimen agama kerap dijadikan isu. “Vatikan sering kali mendapatkan informasi lebih akurat melalui laporan gereja-gerejanya di Papua, ketimbang intelijen Indonesia, bahkan lebih baik dari CIA sekalipun. Karena pendeta dan gereja melakukan pendekatan yang berbeda, tidak seperti intelijen kebanyakan,” jelas Hariyadi Wirawan ketika dihubungi itoday, Senin (20/2). Itulah sebabnya, Vatikan sering kali mendapatkan data yang tidak di dapat oleh intelijen, dan mengajukan protes terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia yang dianggap melanggar HAM di Papua. Bahkan Pendeta Socrates sesumbar siap memimpin Papua. Menurutnya tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia.
Perhatian Media Mainstream
Meski ada sebagian kecil media mainstream mengekspose adanya dugaan campur tangan asing namun porsi pemberitaan lebih fokus pada penanganan penyelesaian kasus pembakaran masjid dan beberapa kios kaum muslimin Tolikara. Dan kekhawatiran muncul dan masifnya sikap solidaritas kaum muslimin Indonesia bahkan dunia direspon oleh media dengan memberitakan beragam statement dari berbagai pejabat negara dan tokoh-tokoh nasional di pusat maupun daerah seperti Pakde Karwo, Aher, Pangdam Wirabuana, Din Syamsuddin, dan lain-lain.
Sementara di sisi lain ormas-ormas dan beberapa organisasi yang konsen pada isu HAM melihatnya dari perspektif intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh sejumlah ribuan non muslim (Kristiani). Terutama pada fakta adanya perda larangan menjalankan agama bagi kaum muslimin. Apalagi diperkuat berkembang fakta lain yakni beredarnya secara umum bendera-bendera Israel di Tolikara.
Dengan melihat perkembangan fakta kasus Tolikara dengan beragam persoalan seputar Papua yang menyelimuti maka ada beberapa hal penting yang perlu dikuak media antara lain:
Pertama, apakah ujung penyelesaian kasus Tolikara cukup dengan membangun toleransi antar umat beragama (Kristiani dan Muslim) di tengah setting Papua dimana Tolikara masuk menjadi bagian di dalamnya sebagai kawasan Pasifik bernilai strategis secara politis dan ekonomi yang diperebutkan oleh berbagai negara besar seperti AS, Australia, Inggris, dan China.
Kedua,sikap pemerintah yang mengarahkan kasus ini sebagai kasus hukum an sich sehingga cukup diselesaikan dengan upaya penegakkan hukum disertai dengan dukungan komitmen tokoh-tokoh agama untuk meningkatkan kerukunan antar umat beragama agar mampu mengendalikan emosi yang bersifat provokatif seolah-olah menutupi agenda tersembunyi di balik fakta bagaimana sebenarnya arah ke depan Papua. Timor Timur dan beberapa informasi tentang disintegrasi wilayah Indonesia ke dalam beberapa bagian ke depan adalah fakta nyata yang menguatkan. Kasus Tolikara adalah momentum pemantiknya.
Ketiga, berkaitan dengan point kedua seolah-olah pemerintah dibuat tidak berdaya karena tekanan asing (internasional) yang diback up oleh opini media melalui isu-isu HAM, tekanan politis, dan bahkan tekanan militer sebagaimana kita tahu ribuan tentara AS berada di kawasan Pasifik sehingga pilihan apapun yang ditentukan oleh Asing atas Papua, tidak berdaya melakukan tawar-menawar apalagi perlawanan. Sebagian peristiwa di Papua adalah gambaran begitu sistemik dan tidak berdayanya pemerintah menghadapi tekanan Asing.
Keempat, masa depan nasib toleransi beragama di Tolikara khususnya dan Papua umumnya bukan saja ditentukan oleh terealisasinya kerukunan antar umat beragama di Tolikara, Papua dan Indonesia saja. Melainkan akan sangat ditentukan oleh Asing yang berada di balik beragam peristiwa yang terjadi. Karena Asing nampaknya akan melakukan pressure lebih kuat soal disintegrasi Papua di tengah krisis kedaulatan multi dimensi yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Jika Papua lepas dan merdeka itu artinya kita tidak sedang membicarakan toleransi antar umat beragama di Indonesia karena bukan urusan dalam negeri akan tetapi menjadi urusan negara lain yang terikat dengan perjanjian-perjanjian antar negara. Nasib muslim Papua termasuk Tolikara akan sama dengan yang dialami oleh minoritas muslim di negara-negara lain.
Akhirnya kita memahami memperjuangkan nasib kaum muslimin atas kedzaliman dan kebiadaban yang menimpa di Tolikara dan Papua tidak bisa dipisahkan dengan memperjuangkan Papua tetap tidak terpisah menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Mewujudkan kedaulatan dan keberdayaan penguasa atau pemerintah untuk secara serius memikirkan nasib masyarakat Papua baik muslim maupun non muslim.
Mewujudkan kedaulatan negara dengan membebaskan diri dari cengkeraman Asing melalui pintu politik dan ekonomi. Dan perlu komitmen dan dukungan berbagai pihak terutama pengambil kebijakan untuk membangun sistem politik yang memenuhi kriteria tersebut. Sebuah sistem politik yang bisa menandingi bahkan melawan sistem politik yang dikembangkan dan dibangun oleh para penjajah yang senantiasa mendikte.
Indonesia sebagai sebuah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia harus tampil melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan sebagaimana amanah konstitusi dengan dukungan sistem politik sesuai dengan aspirasi mayoritas bangsa yang muslim. Sistem politik yang memberlakukan syariat Islam sebagai acuan kehidupan berbangsa dan bernegara menaungi kehidupan muslim dan non muslim secara adil dan makmur sebagaimana berabad-abad lamanya pernah terjadi. Wallahu a’lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!