Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 18 November 2013 10:30 wib
101.510 views
Nikah di Bulan Muharram -Suro- Bawa Berkah, Ini Buktinya!
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rh –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya suku jawa, bulan Muharram –dalam kalender jawa disebut bulan suro- dianggap sebagai bulan sial, pembawa bencana, musibah, dan sangat kramat. Karenanya mereka tidak berani menikah atau menikahkakan pada bulan Muharram ini. Siapa yang melanggarnya, dipercaya pernikahannya tidak langgeng, tidak harmonis, perjalanan keluarga penuh bencana dan kesulitan.
Di masyarakat Arab Jahiliyah dahulu juga ada keyakinan serupa. Mereka takut menikah atau menikahkan pada bulan Syawal. Mereka berkeyakinan, bakal sial apabila melangsungkan akad pernikahan pada bulan ini. Mereka berkata, “Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah dibuahi/bunting dan mengangkat ekornya.”
Pada intinya, mereka menganggap ada kesialan pada bulan ini untuk digunakan menikah dan melarangnya. Padahal sesungguhnya, keyakinan ini adalah anggapan yang tak berdasar dan tidak dibenarkan oleh syariat maupun akal sehat. Ini merupakan perkara batil dan termasuk thiyarah atau tathayyur. Yaitu anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu, ataupun karena sesuatu yang sudah maklum.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah melarang thiyarahi dan menjelaskannya sebagai bagian dari perbuatan syirik dalam haditsnya,
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ
“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan nasib sial.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Ramalan nasib adalah syirik, ramalan nasib adalah syitik (sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits yang shahih sanadnya)
Membatalkan anggapan sial tersebut maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahi istri tercintanya, 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan ini. Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata,
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahiku pada bulan Syawwal dan berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara isteri-isteri beliau yang lebih beruntung dariku?” (HR. Muslim, Al-Tirmidzi, Al-Nasai, dan Ahmad)
Imam Ibnu Katsir berkata, "Berkumpulnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan Syawal menjadi bantahan akan keraguan sebagian orang yang membenci untuk menikah/berkumpul (dengan pasangannya) di antara dua hari raya, takut/khawatir keduanya akan bercerai. Dan ini tidak ada kaitannya." (Al-Bidayah wa al-Nihayah: 3/253)
Tujuan 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyampaikan hadits di atas, -beliau dinikahi dan digauli pada bulan Syawal-, sebagai bantahan tradisi bangsa jahiliyah dan keyakinan orang awam pada saat ini yang tidak suka menikah, menikahkan, dan berkumpul pada bulan syawal. Ini merupakan keyakinan batil yang tak berdasar. Bahkan, termasuk warisan jahiliyah. Dimana mereka meramal kesialan menikah pada bulan tersebut karena nama Syawwaal berasal dari kata al-Isyalah wa al-raf'u (mengangkat : onta betina yang mengangkat ekornya karena tidak mau dikawin). (Lihat Syarh Muslim atas hadits di atas, no. 2551)
. . . Keyakinan kesialan pada bulan Muharram juga sama subtansinya dengan keyakinan jahiliyah akan kesialan bulan Syawal. Keduanya sama-sama termasuk tathayyur atau thiyarah, yang bagian dari kesyirikan yang menghilangkan kesempurnaan tauhid. . .
Antara Arab Jahiliyah & Jahiliyah Modern
Jika Arab jahiliyah meyakini bulan sial menikah adalah bulan Syawal, maka ‘Jahiliyah modern Indonesia’ meyakini bulan Muharram -suro- sebagai bulan sialnya. Padahal keduanya adalah bulannya Allah Ta'ala. Allah yang telah menciptakannya. Peredarannya dengan tadbir Allah. Kejadian-kejadian pada keduanya dengan iradah dan kehendak-Nya. Maka mencaci dan mencelanya termasuk bagian dari kekurang ajaran terhadap Allah 'Azza Wa Jalla.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabada; Allah Ta’ala berfirman,
يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Manusia telah menyakiti-Ku dengan ia mencaci masa. Padalah Aku adalah masa (penciptanya). Segala urusan berada di tangan-Ku. Akulah yang yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (Muttafaq ‘Alaih)
Keyakinan kesialan pada bulan Muharram juga sama subtansinya dengan keyakinan jahiliyah akan kesialan bulan Syawal. Keduanya sama-sama termasuk tathayyur atau thiyarah, yang bagian dari kesyirikan yang menghilangkan kesempurnaan tauhid. Karena seseorang yang bertathayur telah memutus rasa tawakkalnya kepada Allah dan bersandar kepada selainnya. Juga, orang yang bertathayyur bergantung kepada sesuatu yang tidak jelas, bahkan hanya angan-angan dan hayalan yang tidak memiliki kaitan antara sebab dan akibat, baik langsung atau tidak. Orang yang berkeyakinan seperti ini, telah menciderai tauhidnya, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) kepada Allah semata. Sedangkan orang yang bertathayur akan mengagalkan rencananya tadi karena thiyarah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)
Meraih Keberkahan Menikah di Bulan Muharram
Bulan Muharram termasuk bulan mulia, agung, dan penuh barakah. Dia bagian dari empat bulan haram yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Allah melipatgandakan pahala amal shalih yang dikerjakan di dalamnya; sebagaimana Allah lipatkan dosa atas perbuatan maksiat di dalamnya. Dan menikah termasuk bagian dari amal shalih dan ketaatan.
Keberkahan menikah pada bulan Muharram juga didasari ittiba’ kepada semangat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menolak dan membatalkan keyakinan jahiliyah yang sedang berjalan. Di mana beliau menikahi Aisyah pada bulan Syawal yang saat itu dianggap sebagai bulan sial menikah. Sementara di masyarakat kita, bulan yang dianggap sial untuk menikah adalah bulan Muharram (Oleh orang Jawa dikenal dengan: suro). Maka jika melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut dengan niatan untuk mendobrak khurafat, mitos dan keyakinan batil ini; Insya Allah termasuk suatu kebaikan dan mendatangkan keberkahan. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!