Senin, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 20 Juli 2020 22:49 wib
3.246 views
Perspektif Kapitalisme: Utamakan Kepentingan Ekonomi dari pada Kesehatan
Oleh: Mashun Sofyan
(Kordinator Lingkar Kajian Ekonomi Syariah (LiKES), Analis MAin Bidang Politik Ekonomi)
Gambaran tananan dunia hari ini diarahkan kepada kondisi new normal dimasa pandemi covid-19, tentu hal ini menimbulkan polemik diberbagai kalangan. Selain kotroversi, era baru new normal juga telah menimbulkan banyak pertanyaan. New normal merupakan wacana pemerintah Indonesia untuk menjaga performa perekonomian ditengah pandemi Corona.
Sektor ekonomi Indonesia terpuruk akibat Corona. Pada kuartal I pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 2,97 persen, meleset dari target 4,5 persen-4,6 persen. Prediksi kuartal berikutnya hampir sama buruknya karena hantaman Corona. Sepanjang 2020, perekonomian Indonesia diprediksi berkisar 2,3 persen. Penularan virus covid-19 di dunia dan Indonesia memicu orang untuk menghindari kerumunan, berada di dalam rumah dan mengurangi interaksi antar manusia. Konsekuensinya sektor ekonomi terpukul karena mobilitas manusia berkurang drastis di saat pandemi.
Menurut Peneliti INDEF Bhima Yudhistira, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini (2020) bisa saja menjadi minus 2% dengan meningkatnya kemiskinan 12%-13%. Sementara pengangguran pun akan meningkat drastis. Dari 5% naik menjadi 9%-10%, atau bahkan dua kali lipat lebih. (BBC, 4/5/2020).
Menjelang pemberlakukan new normal atau kelaziman baru di Indonesia, elemen masyarakat menyuarakan kritik. Apalagi kurva kasus positif Corona atau COVID-19 di Indonesia masih menanjak terus. Berdasarkan laporan harian kasus Corona di Indonesia, pada 28 Mei terdapat penambahan 687 kasus, sehingga totalnya 24.538 orang sejak kasus pertama pada 2 Maret. Sedangkan jumlah pasien sembuh 6.240 dan meninggal 1.496 orang (Per 25 Juni, total posifit 50.187 Orang, meninggal 2.620, sembuh 20.449 Orang).
Kritik berdatangan, di antaranya dari Ketua DPR RI, Puan Maharani. Putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ini meminta Presiden Joko Widodo agar tidak buru-buru menerapkan new normal, karena setiap tempat kerja punya karakteristik masing-masing seperti pasar, mal, dan sekolah. Sementara itu, kita juga bisa melihat potret negara adidaya dalam menghadapi new normal. AS menjadi salah satu negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia. Dikutip dari Worldmeters (26/5/2020), terdapat 1.706.226 orang terinfeksi Covid-19 di AS dengan total kematian mencapai anggka nyaris 100 ribu jiwa.
Inggris dan Amerika Serikat adalah dua negara simbol adidaya Barat yang tengah bersiap melaksanakan new normal. Dikutip dari rmol.id (26/05/2020), Inggris melalui Menteri Luar Negerinya, Dominic Raab mengingatkan, saat angka kasus mereda dan wabah virus mulai melandai, orang-orang akan kembali kepada kehidupan normalnya lagi. Namun, bukan “kehidupan normal” seperti sebelum wabah, melainkan “normal baru” atau kehidupan normal yang baru. Dan walau tidak lagi berada dalam isolasi atau penguncian, diharapkan masyarakat tetap menjalankan pola hidup sehat seperti tetap menjaga jarak untuk beberapa waktu.
Kepentingan Ekonomi, Standar Ekonomi Kapitalis
Dampak wabah corona begitu terasa secara multimdimensi. Dampak yang paling menonjol adalah kondisi Ekonomi yang semakin memburuk baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Jika ekonomi suatu negara terperosok jatuh, maka secara khusus terasa dampaknya terhadap Ekonomi keluarga. Secara alamiah akan terjadi PHK masal, jumlah penduduk miskin meningkat, sulitnya mendapatkan akses pangan, hingga ancaman kelaparan hingga titik yang dapat mematikan.
Negeri ini ditimpa musibah demi musibah, satu sisi terkena wabah covid-19 sedangkan disisi lain pengurusan pemerintah begitu buruk mengatasi wabah yang menjangkit. Berbagai macam cara sudah dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah pasien agar tidak bertambah. Salah satunya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akan tetapi angkat korban corona kian meningkat serta jauh dari kondisi ideal yang diharapkan.
Dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa ada dua kesimpulan mengapa PSBB akan dilonggarkan. Pertama karena alasan ekonomi, dan yang kedua karena kesulitan negara menjamin kebutuhan masyarakat saat pandemi. Masalah lain yang timbul adalah menurunnya jumlah pendapatan masyarakat, bahkan ada yang sama sekali tidak mendapat pemasukan. Pemerintah terlihat sudah mulai angkat tangan mengatasi wabah covid-19. Karena melawan wabah ternyata butuh effort besar dan waktu yang berkepanjangan. Sementara kekuasaan mereka selama ini tegak di atas satu kepentingan, yakni melanggengkan hegemoni ekonomi kapitalisme global.
Bisa dibayangkan, saat wabah tetap dianggap bencana, maka rakyat harus ada dibawah tanggung jawab mereka. Sementara semua sumber daya pemasukan negara tidak mampu menutupi kebutuhan APBN. Sampai-sampai menteri keuangan “terbaik sedunia” pun begitu kebingungan mengatur anggaran negara. Berkali-kali mengambil jalan pintas membebani rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang justru semkain menyusahkan rakyat. Begitilah potret penyelesaian masalah ala ekonomi kapitalistik. Mereka akan mencari solusi seminim mungkin agar uang atau biaya yang digelontorkan tidak membengkak. Jika ada beban berlebih maka akan dilimpahkan kepada Rakyat, sehingga rakyatlah yang sejatinya dikorbankan. Sungguh Ironi!
Dalam 3 bulan, sudah 3 kali naik. Awalnya, pemerintah hanya mengalokasikan Rp 405,1 triliun, lalu naik menjadi Rp 677 triliun dan sekarang ini (akhir Juni) dinaikkan lagi menjadi Rp 905 triliun
Para peneliti dan para pakar dibidangnya juga telah memberikan kritik atas kebijakan new normal yang penuh kontroversi ini. Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Pradiptajati Kusuma mengutarakan pendapat bahwa RI masih belum siap new normal, menurut Pradiptajati penularan pasien kasus positif covid-19 di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat hingga Selasa (26/5/2020), jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 mencapai 23.165 orang. Jumlah tersebut bertambah 415 orang dibandingkan dengan sehari sebelumnya.
Sementara itu Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, keputusan pemerintah menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2020 merupakan bagian dari normalitas baru (new normal) yang tengah dipersiapkan untuk diterapkan. Namun, ia melihat rencana pemerintah untuk menetapkan situasi new normal pada saat ini memunculkan sejumlah persoalan. Hurriyah menjelaskan, salah satu syaratnyayaitu adanya perlambatan kasus positif Covid-19.
Menurutnya, saat ini perlambatan kasus Covid-19 di Indonesia belum terlihat. Selain itu Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) menilai pemerintah terlalu memaksakan penerapan tatanan kenormalan baru atau new normal. Ketua PSHTN FHUI, Mustafa Fakhri, mengatakan pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19. Menurut beliu ini bukan hanya prematur, tapi 'bayi new normal' ini sama saja dengan bayi sungsang yang dipaksakan harus lahir.
Menurut Fakhri, kenormalan baru dapat disusun dan diterapkan pemerintah ketika tidak ada lagi penambahan kasus positif baru Covid-19. Itu pun dengan catatan bahwa penerapan kelaziman baru harus dilakukan secara hati-hati. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan yang melahirkan gelombang baru Covid-19.
P ihak pemerintah disoroti banyak fihak telah gagal dalam upaya penanganan wabah covid-19, gambaran bagaimana penanganan pemerintah yang lambat dan tidak efektif sangat terlihat dari kenyataan bahwa jumlah korban terus bertambah, ekonomi carut marut, produktivitas masyarakat menurut drastis hingga ancaman kelangkaan pangan dan kematian didepan mata. Begitulan wajah ekonomi kapitalisme yang diadopsi pemerintah hari ini telah gagal dalam segala upaya menangani wabah.
Hal ini karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan bisnis dari pada menjaga nyawa penduduknya. Selain negara tidak profesional serta tidak memiliki anggaran yang cukup dalam menangani wabah, hal ini terjadi karena kekayaan alam di negeri ini sebagian besar hanya dinikmati oleh fihak asing ataupun aseng.
Maka kita perlu melihat potret gambaran bagaimana seharusnya sebuah negara menyiapkan ketahanan ekonomi dalam situasi krisis akibat wabah covid-19. Dalam perspektif politik ekonomi Islam, sejak awal negara sudah bertanggung jawab dalam melayani kebutuhan primer masyarakat baik itu sandang, pangan maupun papan. Selain itu, negara juga telah menjamin kebutuhan kolektif masyarakat dalam bentuk pendidikan, kesehatan serta keamanan. Sebab, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain(pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Perspektif ekonomi Islam memiliki pandangan lain yang bertolak belakang dengan kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Islam, standar pertama yang akan dilakukan negara adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok hingga sekunder tiap individu masyarakat. Baik negara dalam kondisi aman ataupun terkena bencana (seperti bencana alam atau wabah seperti Covid-19), negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat tiap individu.
Dalam kasus penularan wabah, maka akan dilakukan karantina wilayah tempat wabah tersebut berada. Dengan penjagaan ketat, warga daerah wabah tidak boleh keluar daerah demi menghindari penularan secara bebas. Begitu juga warga daerah luar wabah, tidak boleh masuk daerah wabah. Semua demi keamanan bersama.
Jika dilakukan karantina seperti itu, maka negara wajib menjamin kebutuhan tiap individu terdampak. Pasalnya, ketika menjalani karantina mereka pasti akan kekurangan uang dan bahan makanan untuk memenuhi hajat hidupnya. Di sinilah negara memberikan bantuannya meskipun akhirnya perekonomian di daerah itu mengalami kemunduran. Sebab, prioritas utama negara adalah keselamatan rakyat.
Dari mana negara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat? Negara dalam perspektif Islam memiliki kas besar. Baik dari kas negara maupun kas umum. Kas umum bisa diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam baik air, tambang, maupun hutan. Jika semua SDA ini dikuasai dan dikelola oleh negara, maka hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan bisa dipakai untuk pembiayaan mendadak kala bencana atau wabah terjadi.
Demikianlah gambaran singkat politik ekonomi Islam dalam menghadapi corona. Dengan kebijakan seperti ini, maka secara efektif akan memutus penyebaran virus dan mengoptimalkan upaya penyembuhan pasien. Sehingga wabah seperti penyakit corona sekarang ini, bisa diatasi sebelum menyebar ke seluruh dunia.
Maka potret gambaran bagaimana seharusnya sebuah negara menyiapkan ketahanan ekonomi dalam situasi krisis akibat wabah covid-19 hanya akan efektif berjalan ketika sistem ekonomi islam yang diadopsi, sedangkan sistem ekonomi islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem politik pemerintahan Islam.
Maka solusi sistem ekonomi Islam paradigmatik perlu diwujudkan agar bisa menjadi alternatif sistem yang mampu menjadikan pengurusan umat manusia dengan penuh keadilan dan kesejahteraan.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!