Kamis, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 27 Juni 2019 15:52 wib
4.054 views
Kejahatan di Balik Bencana Banjir Sultra, Bisakah Diberantas?
Oleh: Ratna Kurniawati
Banjir parah telah menerjang tujuh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Ribuan rumah terendam banjir yang kini kian meluas sehingga menyulitkan tim gabungan mengevakuasi warga. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sultra, tujuh kabupaten/kota yang dilanda banjir yakni, Kota Kendari, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Buton Utara, dan Kabupaten Bombana.
Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe, Rabu (12/6/2019), saat ini sudah 4.095 jiwa mengungsi akibat banjir. Bencana banjir muncul setelah hujan tiada henti turun sejak tanggal 2-10 Juni lalu. Hampir satu bulan Kabupaten Konawe Utara (Konut) di Sulawesi Tenggara (Sultra) direndam banjir. Tidak heran Bupati Konawe Utara, Ruksamin, memperpanjang masa tanggap darurat hingga 30 Juni 2019. Hingga Senin (24/6), masih ada 5.847 KK dan 22.573 orang yang mengungsi. Sedangkan kerugian, menurut Ruksamin, sudah mencapai lebih dari Rp674,8 miliar.
Kontroversi Sebab Banjir
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sultra menyebut banjir di Konawe dan Konawe Utara lebih banyak disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Direktur Eksekutif WALHI, Saharuddin, mengatakan Konawe dan Konawe Utara merupakan daerah dengan izin usaha pertambangan terbanyak di Sultra. Akibat dari ekspansi tambang dan sawit, sejak 2001 sampai 2017, Konawe Utara sudah kehilangan 45.600 hektare tutupan pohon.
Sedang menurut riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diungkap Ruksamin dalam rapat dengan pemerintah pusat dan DPR RI di kantor Gubernur Sultra di Kendari, Kamis (20/6/2019), banjir disebabkan oleh luapan sungai di Konawe dan Konut. Misalnya di Kabupaten Konawe adalah Sungai Konaweha, Lahambuti, Rawa Aopa, dan di Konut adalah sungai Lasolo. Bahkan debit air sungai di Konut kini sudah mencapai 8.500 meter kubik per detik, padahal kapasitas normal hanya 5.000 meter kubik per detik.
Jadi menurut Bupati Konawe Utara, Ruksamin, bukan sektor pertambangan dan perkebunan yang menjadi biang keladi banjir, melainkan curah hujan yang tinggi dibarengi kerusakan lingkungan. Dia mengatakan pertambangan dan perkebunan di wilayahnya tidak sampai 5 persen dari luas area tangkapan air. "Data KLHK menyebutkan bahwa penyebab banjir adalah karena curah hujan yang tinggi, sistem drainase yang buruk, pendangkalan sungai, dan aktivitas di hutan (perambahan)," tukasnya dilansir Kompas.com. Seluruh faktor itu sudah diungkapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sultra.
Uniknya, Menteri LHK Siti Nurbaya justru belum berani bicara banyak soal penyebab banjir di Konawe dan Konut. Siti, dalam Republika, Kamis (20/6), mengaku mesti melihat datanya terlebih dahulu dan para anak buahnya saat ini masih melakukan pemetaan. Yang pasti, KLHK akan mengikuti instruksi Presiden Joko Widodo untuk menanam pohon di kawasan hulu. "Tapi kalau sekarang tanam hasilnya kan baru tiga tahun lagi. Berarti sekarang yang harus dicek adalah bangunan-bangunan penahan, (mengatasi) erosi paling. Itu yang mungkin bisa dipercepat dari pada soal menanam," ujar Siti.
Sementara pada Sabtu (22/6), Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendesak pemerintah untuk mencari kejelasan penyebab banjir di Konut yang terjadi sejak sebelum Lebaran itu. Tito yang berkunjung ke Konut langsung bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan akar masalah harus ditemukan. Tito pun masih berhati-hati untuk menduga penyebab banjir adalah eksploitasi tambang. "Perlu adanya studi analisis lingkungan dan penelitian untuk mengetahui penyebab banjir yang terjadi di Konut. Saya tidak mengatakan bahwa banjir ini karena tambang, hanya mungkin saja," kata Tito.
Tudingan soal pertambangan dan perkebunan oleh Walhi sebagai penyebab banjir, karena aktifitas tersebut telah merusak hutan primer hingga 954 hektare dan hutan alam 2.540 hektare. LSM ini secara tegas menyebut banjir akibat kerusakan alam lantaran obral izin tambang dan perkebunan. Sedangkan untuk alih fungsi perkebunan, Walhi Sultra menyebut, ada sekitar 20.000 hektare kebun sawit baru yang 90 persen di antaranya diambil dari pembukaan hutan.
Secara umum, lanjut Saharuddin, aktivitas industri ekstraktif dan perkebunan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara berdampak pada pendangkalan atau sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo dan Konawe. Saat ini kawasan hutan sudah mulai berubah fungsi menjadi perkebunan sawit dan pertambangan yang akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Warga Konut yang ditemui media seperti satu nada dengan WALHI. Mereka menduga pengalihan fungsi lingkungan oleh sejumlah perusahaan tambang dan perkebunan tebu, serta sawit, menjadi biang bencana. Ikbar, seorang warga Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera, Konut, mengatakan banjir terjadi sejak ada perkebunan tebu dan kelapa sawit yang membuat hutan gundul. Ikbar yang kehilangan rumah akibat banjir bandang mengakui bahwa banjir kali ini adalah yang terparah dalam beberapa tahun terakhir. (SultraKini.com)
Sedangkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, mengatakan pihaknya akan mempercepat pembangunan tiga bendungan di Konawe dan Konut. Sementara ini, tiga bendungan itu belum dibangun. Bendungan Ameroro dan Bendungan Pelosika segera memasuki tahap tender. Sedangkan Bendungan Lasolo baru memasuki tahap perencanaan. "Kalau tiga bendungan ini sudah selesai, agak ringan kami mengatasi banjir ini sehingga tanggul-tanggul kita akan bangun karena bisa dikejar juga," kata Basuki usai melakukan peninjauan Bendungan Wawetobi di Konawe, Kamis (20/6), dilansir Tempo.co.
Pemerintah provinsi Sultra harus segera mengevaluasi izin usaha tambang dan perkebunan sawit di dua daerah tersebut. Di Sultra mestinya lebih dari 80 izin pertambangan harus dicabut. Dari data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, ada 72 izin usaha pertambangan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara yang statusnya sudah clear and clean (CnC). Dari 72 Izin Usaha Pertambangan (IUP) itu, ada beberapa pengusaha yang memiliki izin lebih dari satu.
Pengelolaaan Alam dan Korup Penguasa-Kapitalis
Banjir yang terjadi di Konawe Utara adalah akibat praktek korupsi dan obral izin dari penguasa untuk pengelolaan tambang dan perkebunan ? Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif menyoroti dugaan kejahatan di daerah yang porak-poranda karena banjir Konawe di Sulawesi Tenggara sehingga memerlukan perhatian serius para pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi.
"Akhir-akhir ini publik tertarik berbicara dugaan kejahatan yang dikaitkan dengan sektor pertambangan karena bencana alam banjir pun melanda daerah yang melimpah sumber daya alam sektor pertambangan, yakni Konawe Utara, Konawe dan Konawe Selatan," kata Syarif seperti dikutip Antara di Kendari, Selasa (25/6). (cnnindonesia.com)
Namun Syarif menegaskan kejahatan yang dimaksud tidak bisa begitu saja disebut sebagai kejahatan tindak pidana korupsi yang diasumsikan banyak pihak. "Membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi dalam ranah pertambangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Atau sama dengan kentut, baunya mengganggu orang sekitar tetapi membuktikan siapa penyebar aroma tidak sedap itu harus dengan bukti kuat," kata Syarif, yang juga dikenal sebagai pakar hukum lingkungan.
Selain tindak pidana korupsi, Syarif mengatakan potensi pelanggaran undang undang minerba dan undang-undang lingkungan tidak boleh dikesampingkan karena setiap aktivitas yang dijalankan tidak sesuai ketentuan perundang-undangan merupakan pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi.
Sebenarnya, dalam sistem ekonomi Kapitalis –liberal, seperti yang diterapkan di dunia termasuk Indonesia, kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha adalah sesuatu yang faktual dan sudah jamak terjadi. Sistem ekonomi ini telah membuat para penguasaha rakus akan mencari cara agar bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya, dengan mengeksploitasi seluruh kekayaan suatu daerah. Tentu dengan imbalan “segenggam berlian” untuk yang duduk di singgasana kekuasaan, karena dia yang punya kewenangan perizinan. Meski resikonya bisa jadi sangat besar, seperti rusaknya lingkungan bahkan hilangnya nyawa manusia.
Tak salah kalau Allah sudah mengingatkan : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). “ (TQS. Ar Ra’du :41).
Diakui atau tidak musibah yang datang, sedikit banyak ada andil dari kesalahan pengelolaan alam dan kerakusan manusia sendiri. Selain itu memang ada yang “murni” sunatullah (hukum alam) seperti gempa, gunung meletus, dsb.
Sungguh dibutuhkan pengelolaan ekonomi yang benar, ganti sistem Kapitalis yang bobrok ini. Sistem alternatif hanyalah Islam. Dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah, kepemilikan atas barang dan jasa dikelompokkan menjadi tiga: milik individu, milik umum dan milik negara.
Kepemilikan Umum itu terdiri dari tiga kategori: Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti air. Rasulullah Saw. telah menjelaskan mengenai sifat-sifat sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal: yaitu air, padang rumput dan api (HR al-Bukhari).
Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan Rasulullah Saw. untuk seluruh manusia. Harta ini tidak terbatas yang disebutkan pada hadis di atas, tetapi meliputi setiap benda yang di dalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.
Kedua, harta yang keadaannya asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut al-Maliki, hak milik umum jenis ini, jika berupa sarana umum seperti halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalilnya yang mencakup sarana umum. Hanya saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya, Seperti jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, yang bebas mereka lewati, dan tidak boleh dimiliki oleh seorang pun.
Ketiga, barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik bersama dan dapat dikelola oleh Negara. Bisa juga Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.
Maka SDA (tambang dll) harusnya dikelola oleh negara, sesuai dengan syariat. Tidak boleh swasta (apalagi asing) dibiarkan mengelola dan mengeruk kekayaan negara tsb. Terkait perizinan pembukaan hutan untuk lahan perkebunan dll, maka negara harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan peruntukannya. Tidak boleh seenaknya memberi izin, tanpa berpikir akan dampak yang luas. Sungguh penguasa akan dimintai tanggung jawab akan kelalaiannya mengatur dan mengelolaa urusan rakyatnya.
Rasul bersabda : “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”. (HR Ibn Majah dan Abu Nu’aim). “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Adapun solusi Islam dalam mengatasi masalah di daerah rawan banjir adalah dengan membangun bendungan-bendungan untuk menampung curahan air hujan, curahan air sungai dll. Memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut. Pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase dsb yaitu untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalihkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu.
Selain beberapa solusi di atas, juga perlu pembentukkan badan khusus untuk penanganan bencana alam, persiapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam. Sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kewajiban memelihara lingkungan, kebijakan atau persyaratan tentang izin pembangunan bangunan. Apalagi yang menyangkut tentang pembukaan pemukiman baru, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah dsb.
Sebagaimana layaknya ketika masyarakat mengalami musibah banjir, maka khilafah juga punya solusi penanganan korban banjir seperti penyediaan tenda, makanan, pengobatan, dan pakaian serta keterlibatan warga(masyarakat) sekitar yang berada di dekat kawasan yang terkena bencana alam banjir. Denga dana yang tidak terbatas dari APBN Khilafah, semua bisa dilakukan karena seluruh kekayaan negara dikelola sepenuhnya, dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Sungguh maslah banjir akan trus terjadi, kecuali kita mau mangambil solusi alternatif yang terbaik. Segera un-install sistem Kapitalis! (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!