Ahad, 10 Jumadil Awwal 1446 H / 29 September 2024 05:38 wib
8.432 views
Dari 'Serangan Fajar' hingga Gadai SK: Potret Buramnya Politik Demokrasi Indonesia
Oleh: Rismayanti Nurjannah
“Hajar Serangan Fajar”, begitulah frasa idiomatik yang dirilis KPK sebagai bentuk kampanyenya untuk menghindari godaan money politic dalam kontestasi pemilu 2024. Tingginya money politic dalam sistem Demokrasi sulit dihindari. Pasalnya, money politic bisa dijadikan sebagai jalan pintas atau cara cepat untuk "membeli" dukungan dan mengimbangi biaya kampanye.
Mahalnya mahar & biaya politik di alam Demokrasi telah melahirkan politisi-politisi yang di-drive oleh modal. Sehingga mereka tidak lagi berorientasi untuk fighting pada kebijakan publik yang berpihak pada rakyat. Budaya patronase & klientelisme pun kian kental. Alhasil, lahirnya berbagai kebijakan lebih banyak didorong oleh kepentingan pemodal.
Berdasarkan data yang dirilis kpk.go.id, rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala atau wakil kepala daerah dalam Pilkada mencapai miliaran rupiah. Bahkan, biayanya bisa di atas Rp10 miliar. Kondisi inilah yang menyebabkan paslon menutup kekurangan biaya dengan mencari dana tambahan melalui donasi. Tentu saja, kontribusi donatur itu bukanlah tanpa kepentingan. Sebagaimana idiom politik yang sering kita dengar, “No free lunch”.
Tingginya biaya politik demokrasi tidak hanya menumbuh-suburkan praktik korupsi di Indonesia. Praktik korupsi hanyalah salah satu dampaknya. Dampak yang mengerikan, saat kebijakan justru di-drive oleh kepentingan pengusaha yang melahirkan eksternalitas negatif kepada rakyat. Kemudian, dampak lain yang masih menjadi tren saat ini, ialah gadai Surat Keputusan (SK) oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru dilantik.
Kasus terbaru di Bangkalan, misalnya. Puluhan anggota DPRD Bangkalan periode 2024-2029 menggadaikan Surat Keputusan (SK) ke bank. Padahal mereka baru dilantik belum genap sebulan. Menurut Wakil Ketua DPRD Bangkalan Sementara, Fatkurrahman, fenomena gadai SK usai pelantikan merupakan hal yang wajar. Menurutnya, para anggota dewan biasanya menggadaikan SK untuk mengembalikan modal biaya setelah berkampanye. (detik.com, 06/09/24)
Biaya politik yang mahal menjadi beban yang harus ditanggung oleh para calon legislatif, sehingga setelah terpilih, banyak di antara mereka yang terpaksa mengambil langkah seperti menggadaikan SK untuk memperoleh dana. Ini mengungkapkan (red: penegasan) satu fakta pahit: bahwa politik demokrasi di Indonesia, dengan segala sistem dan prosesnya, menjadi ladang subur bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Berbagai fakta pahit yang terjadi akibat mahalnya biaya politik demokrasi, seharusnya tak cukup dijadikan sekadar refleksi atas tingginya biaya politik. Ini adalah gejala dari sistem demokrasi sekuler yang memungkinkan, bahkan mungkin mendorong, pejabat publik untuk menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan mereka.
Gaya hidup hedonistik, yang seringkali menjadi ciri para pejabat, adalah hasil dari sistem yang tidak memiliki dasar nilai moral yang kuat. Dalam sistem ini, jabatan publik dipandang sebagai sumber kekuasaan dan keuntungan pribadi, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Budaya korupsi dan penyalahgunaan jabatan pun merebak, dengan alasan memperkaya diri atau mempertahankan gaya hidup tertentu.
Di sisi lain, Islam menetapkan jabatan sebagai amanah yang memiliki konsekuensi besar. Bisa berujung pada keselamatan dan kebahagiaan di akhirat atau membuka pintu bagi kebinasaan di akhirat. Jabatan bukanlah alat untuk memperkaya diri atau memenuhi ambisi pribadi, tetapi tanggung jawab yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum syariat. Prinsip dasar dalam Islam adalah bahwa segala aktivitas, termasuk dalam hal politik dan pemerintahan, harus didasarkan pada akidah dan standar hukum syara'. Dengan kata lain, sistem politik Islam tidak mengenal kompromi dalam menjalankan syariat.
Lembaga perwakilan pun secara fungsional dan struktural berbeda dengan sistem Demokrasi. Dalam Islam, dikenal konsep Majelis Umat (MU), yang bertugas sebagai perpanjangan aspirasi umat, yang dipilih bukan berdasarkan popularitas atau pencitraan yang berbiaya mahal, melainkan karena kepercayaan dan integritasnya dalam berpegang teguh kepada syariat.
Fungsi utama Majelis Umat adalah untuk menyuarakan kepentingan umat berdasarkan keikhlasan, bukan karena hasil kampanye yang mewah atau upaya pencitraan semata. Dengan demikian, sistem Islam menghindari biaya politik yang mahal dan gaya hidup hedonis yang sering terjadi dalam sistem demokrasi. Sistem Islam juga mengurangi risiko korupsi dan penyalahgunaan jabatan karena anggotanya dipilih berdasarkan kualitas moral dan integritas, bukan kekayaan atau popularitas yang dibangun melalui media.
Secara keseluruhan, fenomena gadai SK oleh wakil rakyat yang baru dilantik adalah cerminan dari buruknya sistem politik demokrasi sekuler yang memberikan ruang bagi budaya korupsi dan gaya hidup hedonis. Islam menawarkan solusi solutif dengan menetapkan jabatan sebagai amanah, bukan kesempatan untuk memperkaya diri. Struktur politik Islam melalui Majelis Umat memungkinkan terciptanya pemerintahan yang lebih berintegritas, bebas dari biaya politik yang tinggi, dan berlandaskan pada nilai-nilai kepercayaan dan tanggung jawab. Dan format pemerintahan seperti itu hanya bisa terlaksana jika sistem Demokrasi digantikan dengan sistem pemerintahan Islam secara komprehensif. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!