Memang software untuk menipu belum ada yang gratisan. Tapi, meski dibayar mahal, ‘kan “badaso” (kata orang Minang) kalau tipuannya berhasil. (Arti “badaso” itu ialah “sabas” alias “sangat mantap”.) Apalagi yang mau ditipu itu hasil pilpres. Bayangkan berapa itu harganya!
Lima tahun yang lalu (2014), penipuan hasil pilpres bisa dilakukan karena menggunakan ‘software’ yang cocok untuk saat itu. Sukses. Tidak bisa dipersoalkan.
Hari ini, suasana di tengah masyarakat jauh berbeda. Pilpres 2019 tidak sama dengan pilpres 2014. Dulu software yang dipakai Jokowi sangat sederhana. Yaitu, software yang berbasis ‘teknologi blusukan’. Luar biasa laris waktu itu. Semua orang suka.
Begitu quick count menunjukkan Jokowi menang pilpres 2014, semua orang percaya. Langsung pesta pora. Prabowo tak bisa bilang apa-apa. Karena ‘teknologi blusukan’ sedang trendy waktu itu.
Pak Prabowo tahu ada kecurangan. Cuma kalah total oleh quick count televisi yang kebetulan pula belum diketahui bobrok dan jahatnya oleh publik.
Sekarang, software dengan teknologi blusukan sudah ‘outdated’ (ketinggalan zaman). Juga sudah ‘obsolete’ (usang). Pak Jokowi dan kubunya paham itu. Tak akan bisa lagi menguasai pasar pilpres 2019.
Itulah sebabnya Jokowi beralih ke teknologi baru berbasis “akan saya lawan” (saduran dari Mobile Legend) plus teknologi “perang total” hasil karya Moeldoko yang kemudian terkenal di dunia sains Kejawen dengan istilah “moeldomatisissen” (perang total).
Persoalanya, software “akan saya lawan” masih banyak error-nya. Belum sempurna. Agak lambat update-nya. Begitu juga software “moeldomatisissen” yang tak aplikatif di tengah masyarakat Indonesia yang semakin canggih sekarang ini.
Akhirnya, percobaan untuk mencurangi pilpres 2019 terbentur. Banyak orang yang bisa membongkarnya. Walaupun sudah dibantu habis-habis oleh hampir semua instansi penting negara.
Sayang sekali, mau menipu pilpres 2019 dengan software lama.* Penulis adalah wartawan senior