Kamis, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Maret 2019 23:51 wib
4.401 views
Perempuan Didorong ke Dunia Kerja, Inikah Kesetaraan?
Oleh: Widya
Angka pengangguran di Provinsi Bengkulu hingga saat ini masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Bengkulu, jumlah pengangguran se-Provinsi Bengkulu mencapai 22.705 orang. Pengangguran tersebut didominasi laki-laki, dengan jumlah 13.345 orang. Sedangkan untuk wanita jumlahnya jauh lebih sedikit yakni sebanyak 9.360 orang (bengkuluekspress.com, 15/3/2019).
Data di atas seolah mengungkap fakta bahwa di lapangan para lelaki kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang seharusnya bisa lebih mudah didapatkannya sebagai petugas pencari nafkah yang haq. Dengan dalih emansipasi, para perempuan dibombardir propaganda untuk bekerja di luar rumah. Mengingat hadir sisi lemah perempuan, membuat para pemilik pabrik lebih mudah untuk berbuat tidak adil. Baik itu dari sisi gaji, atau beban pekerjaan.
Lalu kini, atas nama balance for better, para perempuan kembali didorong berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja. Balance for better ialah tema perempuan yang diusung untuk tahun 2019. Tema ini lebih mengarah pada issue kesetaraan gender. Hal ini diunggah dalam situs resminya, International Women's Day mengungkapkan alasan kenapa 'balance for better' menjadi tema pada 2019 ini.
"Pada 2019 ini ditujukan untuk kesetaraan gender, kesadaran yang lebih besar tentang adanya diskriminasi dan merayakan pencapaian perempuan. Hal ini termasuk mengurangi adanya gap pendapatan atau gaji pria dan wanita. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam semua aspek, yakni pemerintahan, liputan media, dunia kerja, kekayaan dan dunia olahraga".
Harus kita lihat bagaimana realita di lapangan saat ini. Ketika seorang istri ternyata berpenghasilan lebih banyak daripada suaminya. Apa yang terjadi? Dari sisi ini saja akan banyak timbul permasalahan. Seperti yang dipaparkan dalam riset oleh Ashley C Ford untuk Refinery29 pada tahun 2015 di Amerika Serikat, 38 persen istri ternyata berpenghasilan lebih tinggi dibanding suami mereka.
Namun, kebanyakan wanita ini ternyata juga memiliki perasaan yang campur aduk mengenai perannya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.
Ford sendiri yang bekerja sebagai redaktur dan pembicara berpenghasilan 70 persen lebih tinggi daripada pasangannya. Jadi, dia sangat memahami mengapa banyak wanita milenial merasa malu dan khawatir karena lebih berhasil dan sukses secara finansial ketimbang pasangannya.
Kondisi ini, menurut Ford, berdasarkan pola pikir klasik di mana pria harus menghasilkan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila terjadi sebaliknya, masalah bisa terjadi.
“Konsekuensi emosional dan psikologis hampir tidak bisa dihindari karena kondisi yang demikian,” tulis Ford. Wanita merasa bersalah dan pria jadi mudah tersinggung, walaupun seharusnya tidak seperti itu.
Berapa angka perceraian yang diakibatkan oleh kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan?
Belum lagi permasalahan pengasuhan anak yang terabaikan karena ibu lebih senang bekerja di luar rumah dibanding harus diam di dalam rumah untuk mengasuh anaknya.
Isu kesetaraan dan kebebasaan yang diperjuangkan kaum feminis pun merupakan konsep abstrak, bias dan absurd karena sampai saat ini para feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang diinginkan kaum perempuan. Terminologi ”Feminis” sendiri memiliki beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya. Walaupun pada awal kemunculannya feminisme tampak seperti gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya dikemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
Salah satu efek dari paham relativisme yang dianut oleh kaum feminis, adalah menyuburkan praktik-praktik homoseksual di dalam masyarakat, karena apa yang dulu dianggap salah, kini dengan dalih penghormatan terhadap HAM, telah berubah menjadi sebuah kebenaran.
Islam memandang wanita dalam balance for better
Dalam Islam, Allah SWT telah menciptakan segala sesuatunya secara adil dan sesuai dengan fitrah atau kodratnya. Allah menciptakan manusia dengan fitrahnya berdasarkan keistimewaan dan kekurangan yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak lantas menjadi hina dengan fitrahnya yang penuh kelembutan dan fisiknya yang tidak sekuat laki-laki. Pun dengan laki-laki, fitrah penciptaannya sebagai pemimpin dengn karakter maskulinnya tidak menjadikannya mampu berbuat semena-mena terhadap kaum perempuan.
Konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam juga dapat ditemukan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala, Allah berfirman, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain….’”(QS Ali Imran [3]: 195).
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada alasan apa pun yang menghalangi adanya kontribusi beban sosial antara laki-laki dan perempuan untuk kemaslahatan publik baik untuk keluarga atau masyarakat.
Perempuan dapat berkiprah sesuai dengan bidang keahliannya dengan memperhatikan kaidah hukum yang berlaku dalam islam. Ketika kita menilik kembali bagaimana para shahabiyah menjalankan perannya dalam keluarga, pendidikan, ekonomi dan politik dengan begitu baik. Namun, tetap harus dipahami bahwa perempuan di rumah artinya bukan tidak berprestasi. Contohnya saja Aisyah, beliau lebih banyak di rumah tapi dari rumahnya ia berhasil mengkader ulama-ulama besar, baik dari generasi sahabat maupun tabi’in bahkan ada juga ulama wanita.
Penulis pribadi, sebagai ibu rumah tangga, yang memiliki passion dalam dunia menjahit, berusaha berkontribusi untuk umat dengan mendirikan komunitas muslimah menjahit. Penulis memiliki harapan besar agar para muslimah dapat memahami balance for better ini tetap dalam kerangka Islam. Yakni tidak hanya untuk membekali skill menjahit bagi para membernya yang nantinya bisa mereka pakai untuk berkarya dan berdaya jual baik bagi dirinya dan keluarganya. Namun juga, membekali wawasan kemuslimahan agar para muslimah tidak terjebak dengan kesibukan dan materi semata yang bisa membuat mereka lupa akan fungsi dan peran utamanya sebagai perempuan muslimah.
Tuntutan kesetaraan adalah agenda besar dalam gerakan feminisme. Mereka memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tapi banyak yang lupa, bahwa setara tak selalu sama. Setara tak selalu sebanding dan lurus simetris. Selalu ada perbedaan dalam kesetaraan. Dan kesetaraan muncul justru dari perbedaan. Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!