Selasa, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Juli 2011 18:00 wib
21.522 views
Belajarlah pada Sejarah: Umat Tercabik Karena Perpecahan!!
Sejarah mencatat, akan selalu ada infiltrasi, duri dalam daging, dan pengkhinatan yang intens melakukan pembusukan dari dalam. Ketika umat Islam tak bisa menahan diri dari godaan “duniawi”, maka disaat itulah, umat ini tercabik, habis waktunya hanya karena berebut “tulang”.
Ingat, ketika Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) berdiri. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Cina.
Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini menjadi inspirasi dan berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruhi. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912.
Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga politik. Melihat anggaran dasarnya, SI semula bertujuan untuk mengembangkan jiwa dagang, membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha, memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat, memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam, dan hidup menurut perintah agama.
YaNg menarik, SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Dalam perkembangannya, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Ketika SI mengalami perkembangan pesat dan memiliki jumlah anggota yang banyak, telah menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda. Ketika itulah SI mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya,tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di masyarakat Indonesia, sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam". Alhasil, mereka sukses menyusup ke dalam tubuh SI untuk tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" (berlandaskan asas sosialisme-komunisme) yang dipimpin Semaoen..
Pada akhirnya, SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogjakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut. Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme.
Sarekat Islam yang berubah nama menjadi PSI lalu kembali berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) kembali pecah, akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai. PSII yang terbelah itu kemudian menjadi beberapa partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan itu jelas melemahkan PSII dalam perjuangannya. Dan tentu saja menjadi kegembiraan musuh-musuh Islam.
Seharusnya kita belajar dengan sejarah, agar perpecahan itu tidak kembali terulang. Sarekat Dagang Islam yang semula ingin mengangkat harkat martabat umat Islam di bidang ekonomi, kemudian karena egoisme pribadi, akhirnya disibukkan dengan konflik internal.
Perpecahan yang Tak Berujung
Sejarah perpecahan di tubuh umat Islam pun bak cerita bersambung. Di bulan September 1937, muncul suatu organisasi yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang didirikan atas keinginan umat Islam garis modern dan tradisional untuk bersatu. Keinginan ini memang sesuai dengan prinsip Islam bahwa umat Islam adalah bersaudara. MIAI berhasil mengintegrasikan berbagai ormas Islam dari berbagai aliran seperti NU, PSII, Al Irsyad, Muhammadiyah dan lainnya. Tujuan organisasi ini awalnya adalah sebagai forum diskusi antar umat Islam dan bukan ditujukan untuk kegiatan politik.
Pada bulan Oktober 1943 oleh pemerintah Jepang, MIAI dibubarkan karena sikap anti penjajahan yang melekat pada MIAI begitu pula dengan PSII dan PII-Soekiman. Organisasi tersebut kemudian diganti dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang merupakan federasi dari tiga organisasi Islam yang diijinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persatuan Umat Islam (PUI). Memang kemudian Masyumi dianggap sebagai bentukan Jepang, namun setidaknya bermanfaat dalam menjaga kekompakkan visi politik Islam.
Ketika Masyumi menjadi partai politik, perpecahan pun kembali terulang hanya karena perebutan kursi di pemerintahan. Pada saat itulah Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan jabatan Menteri Agama.
Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan MenteriAgama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama.
Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah, disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU. Sejak itulah, terbetik kabar, NU telah keluar dari tubuh Masyumi. Keluarnya NU dari Masyumi itu lalu dikukuhkan saat Kongres ke-19 NU.
Sepenggal sejarah itu menunjukkan, umat Islam belum dewasa. Hanya mementingkan kepentingan kelompoknya saja. Terlepas dari peran Soekarno secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh partai politik Islam, karena dorongan untuk mempertahankan kekuasaan, hal yang tak bisa dipungkiri, perpolitikan Islam lebih banyak dilanda konflik internal yang menguras energi.
Akibatnya, umat Islam menjadi sasaran tembak musuh-musuhnya. Ketika semakin melemah dan tak berdaya, maka sirna lah cita-cita yang hendak diperjuangkan. Maka, belajar lah pada sejarah, agar kekalahan tak kembali terulang. Sudah saatnya umat Islam harus memenangkan “pertempuran” di segala bidang. Jangan selalu menjadi pecundang.
Yuk kita belajar dari sejarah.● Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!