Selasa, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Juli 2011 22:38 wib
10.740 views
Politik Belah Bambu Kaum Hipokrit : Dari Komji hingga NII KW IX
Begitu berat ujian dan cobaan yang telah dilalui para pejuang Islam terdahulu untuk menjadikan Islam, bukan hanya sebagai dasar negara, melainkan juga way of life. Beragam pandang dari para tokoh-tokoh Islam dalam menafsirkan Islam untuk diterjemahkan ke dalam sistem pemerintahan, menyebabkan masing-masing pihak punya ijtihad atau caranya sendiri.
Setiap kelompok dari umat Islam, tentu tak bisa mengklaim hanya kelompoknya saja lah yang berjuang untuk Islam. Masing-masing kelompok, punya ijtihad dan tingkat kemampuan yang berbeda untuk mewujudkan cita-cita yang sama. Ada yang bergerak di bidang ekonomi syariah, ada yang berjuang di parlemen, ada yang berkeringat di bidang pendidikan, ada yang fokus memperjuangkan harkat dan martabat kaum dhuafa, ada yang mengkhususkan di bidang dakwah, dan ada pula yang bersemangat memerangi kemungkaran (nahi mungkar) dengan senjata.
Diantara pejuang Islam itu, harus diakui memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang sabar dalam perjuangan, dan ada pula yang tak sabar untuk mewujudkan cita-citanya itu secara instan. Ada yang berpendapat, bahwa kekuasaan itu harus direbut dengan berdarah-darah. Ada pula yang berpendirian, kekuasaan itu harus terbingkai dengan cara yang damai atau konstitusional. Pada akhirnya, umat Islam berjalan sendiri-sendiri, tiada kesamaan langkah, berbaris pada shafnya yang “tak lurus”.
Ketidak solid-nya umat Islam inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, yang ingin umat ini menjadi semakin lemah dan tak berdaya. Yang menyedihkan lagi, umat Islam selalu dipandang sebelah mata, yang keberadaannya hanya sekedar pelengkap penderita. Akibatnya, umat Islam kerap dijadikan sasaran tembak untuk dikambinghitamkan.
Siapa yang tak kenal dengan Dr Mohommad Natsir, sosok Ketua Umum Masyumi yang memperjuangkan penerapan dasar negara Islam di Badan Konstituante antara tahun 1955-1959. Begitu juga, dengan SM Kartosuwirjo, seorang pemimpin Masyumi di Jawa Barat yang memiliki kemampuan dan pengalaman militer, hingga ia mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1948.
Kendati sama-sama sebagai aktivis Masyumi, Natsir dan Masyumi secara kelembagaan tak sepakat dengan model perjuangan yang dilakukan Kartosuwirjo. Pascaperjanjian Roem-Royen, Natsir ditunjuk pemerintah sebagai ketua komisi Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah Darul Islam di Jabar. Saat itu, pada bulan Agustus 1949, Natsir mencoba menjalin komunikasi dengan Kartosuwirjo agar yang bersangkutan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
Apa jawaban yang disampaikan Karyosuwirjo saat dilobi dan dikontak Natsir? "Sayang imbauan itu terlambat tiga hari. Ludah tak dapat saya jilat kembali," tegas Kartosuwirjo. Dengan jawaban itu menegaskan, bahwa proklamasi NII dengan dukungan kekuatan DI/TII yang dipimpin Kartosuwirjo di Jabar tak mungkin dicabut kembali. Tampaknya takdir menjelaskan antara dua aktivis Masyumi harus berseberangan jalan dalam memperjuangkan cita-cita politik dan ideologis negara Islam.
Juga ingat ketika Ketua Partai Masyumi Jabar, Isa Anshary berpendirian tegas ketika bicara soal ideology Islam. Ungkapnya: "Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam. Saudara-saudara terimalah Islam sebagai dasar negara. Kalau saudara-saudara menganggap Pancasila lebih baik daripada Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tak dapat dan tak patut untuk dijadikan dasar negara, tak dapat mengatur masyarakat dan negara, sekali lagi Saudara ketua, orang yang demikian itu murtadlah dia dari Allah, kembalilah menjadi kafir, haram jenazahnya dikuburkan secara Islam."
Ideologi Islam sebagai Ancaman
Ketakutan Barat yang berlebihan (paranoid), menganggap ideologi Islam sebagai ideologi yang sangat berbahaya. Islam kemudian dinilai sebagai sumber masalah yang bisa menggoyang kekuasaan. Hal itulah yang menjadi kecemasan kolonioal Belanda, sehingga Islam tradisi dibiarkan terus berkembang, asalkan bukan islam politik. Menurut mereka, umat Islam adalah macan tidur. Maka, Islam politik harus terus dinina-bobokan. Jangan biarkan macan yang tidur ini terbangun.
Sudah sunnatullah, setiap kali umat Islam hendak mewujudkan cita-cita ideologinya yang berlandaskan Islam, saat itu pula digencarkan politik devide et impera (politik adu domba) untuk menjegal impiannya itu. Pembusukan pun dilakukan dari dalam, dengan iming-iming materi dan kedudukan yang menjanjikan. Faktanya tak sedikit yang tergiur. Selanjutnya diciptakanlah tipu daya dengan menciptakan firqah-firqah tandingan untuk memporakporandakan kesatuan umat Islam. Sehingga geraknya menjadi tidak solid.
Masih segar dalam ingatan ketika umat Islam dibohongi oleh tipu muslihat intelijen atas nama Komando Jihad. Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini adalah petinggi NII (DI/TII).
Menurut Umar Abduh, boleh dibilang, gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam (SM Kartosoewirjo). Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari pemerintah. Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma’il Pranoto (Hispran) dan anak buahnya, yang baru turun gunung menyerah kalah kepada pasukan Ali Moertopo pada 1974.
Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya: “Demi Allah, akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI cq alat-alat Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.”
Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total.
Dan sisa-sisa gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya. Setelah tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit melanjutkan perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesty, namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.
Gerakan tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non Struktural). Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi. Munculnya kelompok Fillah atau NII non struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI. Yaitu, dengan menciptakan “keseimbangan”, dengan cara melakukan penggalangan kepada para mantan “mujahid” NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah setia pada Agustus 1962 lalu.
Melalui jalur dan kebijakan Intelejen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai bentuk welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan “mujahid” petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap militer NII.
Nama Danu Mohammad Hasan yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan intelejen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo adalah Ateng Djaelani Setiawan. Tokoh lain yang diincar Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius Sugiyanto adalah Daud Beureueh yang menyerah kembali ke NKRI Desember tahun 1962.
Para mantan tokoh sayap militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi. Hampir masing-masing individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal cukup oleh Pitut Suharto berupa perusahaan CV (menjadi kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak Tanah.
Kebijakan OPSUS dan Intelejen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta para mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui reorganisasi NII ke seluruh Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya menjadi Deputi Operasi Ka BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS menggelar ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelejen dengan sandi Komando Jihad di Jawa Timur.
Yang tidak boleh dilupakan, pada saat yang bersamaan di tahun 1971-1973 tersebut Ali Murtopo juga melindungi sekaligus menggarap Nurhasan al-Ubaidah Imam kelompok Islam Jama’ah yang secara kelembagaan telah dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971, namun pada waktu yang sama justru dipelihara serta diberi kesempatan seluas-luasnya melanjutkan kiprahnya menyesatkan ummat Islam melalui lembaga baru LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) di bawah naungan bendera Golkar dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang berlanjut hingga sekarang.
Ketika terjadi program-program pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader) Indonesia ke Timur Tengah –seperti Libya dan Saudi Arabia yang ujung-ujungnya terkait dengan konflik Moro (MNLF) dan kelompok perlawanan Aceh– Pitut Suharto-lah yang ditunjuk Ali Murtopo untuk mejalankan operasi khusus. Skenario Opsus terhadap kebangkitan organisasi NII terus digelindingkan.
Pitut (pihak intelejen/orde baru) yang menggunakan isu politik Libya di mata Barat dan bangkitnya NII tersebut dijadikan sebagai isu sentral terkait dengan bahaya laten kekuatan ekstrem kanan di Indonesia. Akan tetapi isu dan dalih keterkaitan dengan bahaya kebangkitan NII, Komando Jihad dan Teror warman oleh pihak OPSUS digunakan terus untuk melakukan penangkapan-penangkapan secara continue dan konsisten. (Desastian/dbs)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!