Kamis, 17 Jumadil Awwal 1446 H / 25 Februari 2021 21:27 wib
4.606 views
Keunggulan Vaksin Nusantara, Layakkah Kita Berharap?
Oleh: Amma Muiza (Praktisi Kesehatan)
Mendadak ramai. Begitulah kira-kira perihal Vaksin Nusantara yang sedang menjadi buah bibir. Vaksin ini berbeda dengan Vaksin Merah Putih yang dikembangkan sejak beberapa bulan terakhir. Vaksin Nusantara yang diprakarsai oleh mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, tetiba hadir dengan info yang cukup mengejutkan yaitu, sudah lolos uji klinis tahap 1 dan ditargetkan dapat diproduksi massal mulai Juni 2021. Sementara Vaksin Merah Putih baru memasuki tahap Research dan Development (RND) dan bibit vaksin akan dikirim ke Bio Farma pada akhir Maret 2021.
Saat berita ini mencuat, banyak sekali klaim positif yang menjadi keunggulan dari Vaksin Nusantara melebihi keunggulan semua vaksin yang sudah beredar di dunia saat ini. Dilansir dari laman Tempo.co (19/2/2021), terdapat beberapa keunggulan vaksin ini. Pertama, vaksin dengan berbasis sel Denritik ini diklaim menjadi satu-satunya vaksin yang bertujuan membentuk imunitas seluler sehingga imunitas yang terbentuk dapat bertahan lama, bahkan seumur hidup. Kedua, vaksin hanya dilakukan satu kali, tidak memerlukan vaksin ulangan. Ketiga, vaksin tidak membutuhkan suhu penyimpanan yang rumit, cukup disimpan dalam suhu ruang. Lebih jauh, vaksin ini diklaim unik. Sebab vaksin berasal dari tubuh dan disuntikkan lagi kepada satu orang yang sama. Dengan demikian, vaksin ini dapat diberikan pada semua orang, dengan atau tanpa komorbid.
Berbagai klaim positif ini lantas menjadi harapan banyak pihak. Apresiasi dan dukungan mengalir untuk pengembangan vaksin produksi dalam negeri ini. Seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang bersedia memfasilitasi setiap upaya yang dibutuhkan untuk mempercepat proses penelitian vaksin ini. Dukungan yang sama juga datang dari Guru Besar Airlangga, Fakultas Kedokteran Hewan, Chairul Anam Nidom. Menurutnya, pengembangan Vaksin Nusantara perlu dukungan dari pihak luas, dan jika terdapat teori yang tidak sesuai harus didiskusikan secara terbuka.
Meski demikian, produksi Vaksin Nusantara ini tidak sepi kritik. Terutama datang dari para ahli dan pakar kesehatan. Berbagai kritik yang disampaikan kurang lebih mencakup hal berikut.
Pertama, ahli menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan berbagai klaim positif bagi Vaksin Nusantara. Sudah menjadi kultur ilmiah di kalangan peneliti, bahwa setiap klaim yang diberikan harus berdasarkan data penelitian yang dapat dipertanggung-jawabkan. Data tersebut, meskipun berupa data interim akan dapat memberikan informasi riil yang memungkinkan para ahli untuk memberikan umpan balik hingga memberikan penilaian yang tepat. Profesor Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Covid-19 PB IDI, kepada CNNIndonesia (19/2) menilai klaim Vaksin Nusantara -yang disebut dapat menciptakan antibodi seumur hidup- belum memiliki bukti kuat. Perlu lolos uji klinis hingga fase tiga dan harus berdasarkan Evidence Based Medicine.
Tidak sedikit ahli dan ilmuan yang menanti laporan yang terpublikasi secara transparan berkaitan dengan vaksin ini. Dari laporan penelitian awal, uji pra klinik, hingga uji klinis fase 1.
Kedua, secara keilmuan, vaksin berbasis sel denritik ini disinyalir sulit direalisasikan. Tersebab metode ini awalnya dikembangkan sebagai imunoterapi pasien kanker. Dan belum pernah teruji dalam pengembangan teknologi vaskin saat ini. Sifatnya yang individual dikhawatirkan malah menghambat tujuan dari vaksinasi itu sendiri, yaitu mencapai herd immunity. Menurut ahli Biomolekuler Independen, Ahmad Rusdan Handoyo, jikapun dapat dilakukan, vaksin dengan metode ini sangat mahal karena proses kultur yang tidak mudah dan rumit. Prosesnya dimulai dari mengambil darah, memisahkan sel, mempertemukan sel denritik dengan rekombinan antigen, menumbuhkan sel denritik di laboratorium, memperbanyak jumlah, hingga menginjeksikan lagi ke individu. Setelah itu, ahli menunggu dan memastikan apakah antibodi akan muncul.
Ketiga, proses izin Komite Etik yang tidak terbuka. Berbagai pihak meminta pengembang vaksin untuk memberikan penjelasan mengenai hal ini. Sebab untuk dapat melakukan penelitian dan pengembangan vaksin diperlukan izin dari Komite Etik. Dugaan tidak dilewatinya proses ini sebenarnya karena publik belum mendapatkan keterangan etik dari pihak pengembang. Tentu proses yang krusial ini penting dipastikan keberlangsungannya. Sebab proses uji vaksin akan melibatkan manusia sebagai subjeknya. Akan sangat riskan jika Komite Etik tidak terlibat di dalamnya.
Polemik semacam ini, bukan sekali-dua kali terjadi dalam berbagai proses pengembangan teknologi kesehatan di Indonesia. Dengan pola kritik yang tidak jauh berbeda. Sebut saja produksi GeNose dan Kalung Anti Virus Corona - Eucalyptus. Klaim yang berlebihan namun publikasi data ilmiah sangat minim. Pada akhirnya publik menyerah dan hanya bisa mengikuti kebijakan yang harus dilaksanakan. Berbagai harapan publik seperti transparansi data dan bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak terwujud. Persoalan yang sebenarnya mudah diselesaikan-pun menjadi pelik. Sudah selayaknya kita mencari akar dari permasalahan ini.
Sebenarnya jika kita menimbang polemik ini dari kacamata Islam, hal-hal yang menjadi permasalahan di atas akan dengan mudah diselesaikan. Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki pilar-pilar yang selalu dikokohkan. Pilar-pilar ini yang akan mencegah terjadinya masalah sekaligus menyelesaikannya jika terjadi masalah. Pilar-pilar ini terdiri dari integritas individu, kepedulian masyarakat, hingga negara yang berdaulat.
Islam mengapresiasi setiap upaya untuk menuntaskan pandemi. Termasuk pengembangan teknologi vaksin. Islam akan mengarahkan individunya, terutama para peneliti/ilmuwan untuk senantiasa bersifat amanah, jujur dan adil dalam aktivitasnya. Hal ini akan memunculkan ilmuwan yang tidak kebal kritik, hati-hati dalam mengklaim hasil penelitiannya, hingga tidak tertutup dalam memberikan data yang dibutuhkan publik. Islam juga akan menjaga kultur ilmiah yang memang baik untuk dikembangkan. Sesuai sabda Baginda Muhammad SAW: "Kalian lebih mengerti dengan urusan dunia kalian" (HR. Muslim). Dari sini, akan muncul para ilmuwan yang mengintegrasikan ketakwaan dan sains.
Hal ini telah terbukti selama beberapa abad silam, saat Islam memimpin dunia dengan sistem khilafahnya. Saat itu, para ilmuwan dan para tenaga kesehatan terkenal berisi orang-orang yang memiliki integritas dan profesionalitas. Bukan orang dengan mental rendah, apalagi asal-asalan. Tercatat, pada abad ke-9 terdapat kitab Adab at-Tabib sebagai kitab yang pertama kali ditujukan untuk kode etik kedokteran. Kitab yang ditulis oleh Ishaq bin Ali Rahawi ini berisi 20 bab. Di antaranya terdapat rekomendasi akan adanya peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran.
Artinya, Islam sangat mendukung setiap penemuan baru, termasuk teknologi vaksin. Hanya saja Islam akan memutus setiap upaya yang dapat menimbulkan sengkarut. Islam juga akan memaksimalkan peran negara dalam mengontrol keamanan vaksin dari awal penelitan hingga proses distribusinya. Negara tidak menyerahkan urusan ini kepada pihak ketiga demi menghindari data terselubung hingga komersialisasi vaksin yang membebani rakyat. Negara berdampingan dengan ilmuwan akan membuktikan keamanan vaksin kepada rakyat sehingga rakyat memperoleh harapan secara rasional bukan sekadar klaim kata yang miskin data. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!