Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Februari 2019 11:21 wib
5.082 views
Ulama Bukan Kendaraan Politik
MEDIA sosial perlahan menjadi fasilitas yang digandrungi banyak kalangan. Disamping karena penyebaran informasinya yang cepat, medsos juga dinilai netral dan memiliki keakuratan lebih. Beberapa kejadian menarik yang luput dari pemberitaan media mainstream justru menjadi viral di media sosial. Seperti halnya beberapa waktu lalu, ketika Presiden RI Joko Widodo menghadiri acara Sarang Berdzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al Anwar Rembang Jawa tengah pada Jumat 1 Februari 2019. (Tempo.co 3/2)
Menariknya, ketika tiba pembacaan doa penutup di akhir acara, Kiai Maimun Zubair atau akrab disapa Mbah Moen yang duduk disebelah Jokowi justru membacakan doa yang didalamnya menyebut nama calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Diduga salah menyebut nama, doa akhirnya kembali dilantunkan setelah Kiai Maimun Zubair dihampiri dan dibisiki oleh Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy.
Kejadian ini pun mendapat respon dari juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga, Miftah Nur Sabri. Ia menilai kubu Jokowi terlampau panik hingga Ketum PPP Romahurmuziy sampai turun tangan membuat klarifikasi soal dukungan Maimoen Zubair dalam Pilpres. Dalam video yang diunggah di Instagram, Rommy menegaskan dukungan Mbah Moen kepada pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Sementara itu, Miftah justru meyakini sesungguhnya Mbah Moen mendukung pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dia mengklaim Prabowo memiliki hubungan dekat sejak masih perwira di Kopassus. Ditambah, 2014 lalu Mbah Moen dalam barisan pendukung Prabowo. (Merdeka 2/2)
Peran ulama memang tak bisa dilepaskan dari perpolitikan di negeri berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Pertanyaannya, peran politik seperti apa yang harus diwujudkan para ulama. Pada kasus ini, maka jelas ada kesalahan sikap dalam menempatkan dan memandang posisi ulama. Kemuliaan mereka, baik dalam ilmu maupun perilaku rentan dijadikan legitimasi untuk mendulang suara.
Ironisnya, ketika kemenangan sudah ada di tangan, penguasa tak segan kembali berhukum pada hukum buatan manusia, yang notabene seringkali menyengsarakan. Peran ulama sebagai penyeru kebaikan diabaikan, upaya untuk mencegah kemungkaran justru dianggap sebagai ujaran kebencian bahkan tak segan dipidanakan.
Kemudian, posisi ulama akan kembali dibutuhkan dalam menetapkan fatwa untuk melegitimasi kebijakan yang berkaitan dengan umat Islam. Sebagaimana kasus BPJS dan dana haji untuk infrastruktur.
Demikianlah, sistem buatan manusia memang meniscayakan pengkerdilan peran ulama terus dipelihara dari waktu ke waktu. Dalam sistem ini pula, thariqah/metode apapun untuk meraih kekuasaan dinilai sah sah saja selama tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Tidak bisa dipungkiri, rekatnya hubungan antara individu/penguasa dengan para ulama memang menjadi hal yang patut disyukuri mengingat banyak sekali hal baik yang bisa diambil dari bimbingan pewaris para nabi ini. Namun, mengapa kedekatan itu hanya hadir pada moment-moment krusial dan jarang sekali tampak dalam keseharian mereka?
Inilah kejanggalan yang mestinya disadari oleh individu muslim, bahwasanya tidaklah tepat jika ulama hanya dijadikan kendaraan politik. Dan tidaklah tepat pula jika kebutuhan umat akan ulama hanya dibatasi dalam perkara yang menyangkut ibadah mahdhah. Hal ini karena Islam tidak mengenal dikotomi antara agama dan dunia sebagaimana pemahaman sekuler. Lebih dari itu, ulama adalah pihak terdepan dalam melakukan muhasabah kepada penguasa atas berbagai kebijakan yang bertentangan dengan Islam. Sehingga eksistensi mereka tidak boleh dijegal hanya karena ego/sentimen kekuasaan.
Hanya saja, peran penting ini baru dapat diwujudkan dalam sistem politik berbasis syariat dengan menerapkan Islam secara kaffah.*Maya. A, tinggal di Gresik, Jawa Timur
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!