Kamis, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 26 Desember 2013 10:08 wib
33.892 views
Status Hukum 'Bom Isytihad' (Menjawab Fatwa Ulama Saudi)
SUMEDANG (voa-islam.com) - Bismillahirrahmaanirrahiim. Baru-baru ini Mufti Kerajaan Saudi, Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh, membuat pernyataan mengejutkan. Beliau secara jelas menyebut pelaku “bom bunuh diri” sebagai pelaku kejahatan berat, dosa besar, nasibnya lebih cepat masuk ke neraka. Pernyataan ini muncul untuk menanggapi pertanyaan tentang masalah itu.
“Membunuh diri sendiri adalah kejahatan berat dan dosa besar. Mereka yang melakukan bunuh diri dengan cara meledakkan diri menggunakan bahan peledak (bom) adalah penjahat yang mempercepat perjalanan mereka ke neraka. Hati mereka telah menyimpang jauh dari jalan yang benar, pikiran mereka telah diserang oleh kejahatan,” kata Syaikh Al-Syaikh sebagaimana dilansir Arab News, edisi 19 Desember 2013. (Voa-islam.com, 19 Desember 2013).
Jujur saja, akhir-akhir ini kita–sebagai Ahlus Sunnah-merasa resah dengan fatwa Syaikh Alu Syaikh terkait larangan bagi kaum Muslimin berjihad ke Suriah. Padahal sebelumnya, ulama Saudi, pemerintah, dan rakyatnya sepakat bulat mendukung Jihad kaum Muslimin di Suriah; untuk menumbangkan sang tiran, Basyar Assad.
Dalam doa-doa Shalat Witir saat Ramadhan di Masjidil Haram, juga dalam doa-doa Qunut di masjid-masjid Saudi, mereka mendoakan kemenangan bagi Mujahidin di Suriah. Tiba-tiba kini Sang Mufti melontarkan fatwa yang berlawanan. Ada apa ini?
Besar kemungkinan, Syaikh Al-Syaikh mendapat tekanan besar dari pemerintah Kerajaan Saudi; khususnya setelah Saudi mendukung pembantaian ribuan kaum Muslimin di Mesir, demi membela Sekularisme, Militerisme, Liberalisme di Mesir, dan mendukung Zionisme di Israel.
Sejak Tragedi Rabi’ah Al Adawiyah, 14 Agustus 2013, tangan Raja Abdullah dan jubah-jubah Kerajaan Saudi berlumuran darah kaum Mukminin; darah-darah ini telah membanjir ke bumi, memanas dan bergolak, menuntut tanggung-jawab pemerintah Saudi, “Bi aiyi dzanbin qutilna” (atas dosa apa kami dibunuh?).
Tragedi Rabi’ah Al Adawiyah seperti sebuah pertanda tentang saat-saat terakhir era kekuasaan Dinasti Saud di Najd dan Hijaz. Mungkin, akibat tekanan psikologis politik ini, pihak Kerajaan Saudi lalu menekan Sang Mufti.
Kalau kita cermati, rata-rata pernyataan kontroversial Syaikh Alu Syaikh, mewakili dirinya sendiri. Bukan mewakili Dewan Ulama Saudi (Hai’ah Kibaril Ulama) atau Komisi Fatwa Kerajaan Saudi (Lajnah Daimah).
Seolah, Syaikh Alu Syaikh –semoga Allah menolongnya atas segala kepelikan situasi yang melanda- membiarkan dirinya menjadi sasaran caci-maki atau celaan dari berbagai pihak; tapi di sisi lain, beliau ingin melindungi bangunan Dakwah Salafiyah di Saudi agar tidak dibombardir oleh tangan-tangan Kerajaan yang sudah berlumuran darah kaum Mukminin, akibat mendukung Sekularisme dan Zionisme yang menindas Umat.
Hal serupa ini pernah menimpa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (namanya Abdul Aziz, sama dengan nama Grand Mufti sekarang; juga sama dengan nama pendiri Kerajaan Saudi periode ke-3). Beliau pernah membuat heboh dengan keluarnya fatwa, boleh berdamai dengan Yahudi; dengan alasan Nabi Saw juga pernah berdamai dengan Yahudi.
Padahal konteksnya kini, Israel adalah perampas tanah kaum Muslimin; sedangkan di masa Nabi Saw, baik pihak Muslim maupun Yahudi punya kedudukan setara. Berdamai dengan perampas tentu berbeda dengan berdamai dengan kaum yang berdaulat penuh.
Berdamai dengan perampas, sama saja dengan mengakui hasil-hasil perampasannya. Banyak orang menduga, saat itu Syaikh Bin Baz rahimahullah juga ditekan pihak Kerajaan untuk mengeluarkan fatwa yang aneh.
Meminjam istilah Buya Muhammad Natsir rahimahullah, ketika seseorang tenggelam di sungai, dia berusaha mencari pegangan, sekali pun itu adalah ibu jari kakinya sendiri. Saat manusia sudah panik, karena takut kehilangan kekuasaan, maka tindakan apapun akan dia lakukan; termasuk dengan menekan ulama yang istiqamah.
Secara pribadi, kami meyakini dan mendoakan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh tetap di atas garis lurus. Di antara ulama-ulama Saudi, beliau termasuk dekat dengan kalangan gerakan Islam. Hanya saja saat ini beliau sedang dihadapkan kepada pilihan pelik: Bicara kebenaran atau dakwah Salafiyah diberangus Kerajaan? Wallahu a’lam bisshawaab.
Terkait isu “bom manusia”, sejak lama kami berada dalam kebimbangan besar. Siapa yang benar di antara dua pendapat: pihak pendukung atau penentang? Bertahun-tahun lamanya kami tidak menemukan pendapat yang mantap. Alhamdulillah setelah melalui proses telaah yang cukup lama, kini kami merasa mendapati butiran-butiran pendapat yang lebih kuat.
Pada awalnya kami cenderung setuju dengan pendapat kalangan Salafi yang menolak aksi “bom manusia”. Kami sudah membaca pendapat Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Salman Audah, juga Syaikh Sulaiman Al Ulwan; tetapi masih sulit mendapatkan keyakinan.
Tetapi di sisi lain, untuk menetapkan aksi para Mujahidin itu sebagai “bom bunuh diri”, kami juga tidak berani. Rasanya sangat jauh membayangkan para Mujahidin melakukan perbuatan bunuh diri. Kami hanya berharap kepada Allah, agar para pemuda Islam pelaku aksi itu diterima amal-amalnya di sisi Allah.
Kami berharap, mereka diberikan keutamaan mati syahid. Amin Allahumma amin. Kalau pun pendapat seputar “bom manusia” itu salah, semoga ia dianggap sebagai kesalahan ijtihad, bukan karena maksiyat atau kesesatan. Bukankah kesalahan ijtihad tetap diberi satu pahala?
Rasanya sangat tidak tega menyebut para pemuda Islam itu mati konyol, mati celaka, masuk neraka. Kita saja kalau diseru untuk terjun berjihad membela Umat, belum tentu berani. Adilkah lisan kita ketika begitu berani memvonis para pemuda Mujahid itu mati konyol, sementara kita tak punya sumbangan apa-apa untuk membela Umat yang tertindas.
Selanjutnya, mari kita bicara tentang status hukum “bom manusia” ini. Bismillah bi nashrillah, laa haula wa laa quwwata illa billah.
[1]. Istilah aksi ini bermacam-macam. Ada yang menyebut “bom bunuh diri”, “bom martir”, “bom isytihad”, “bom manusia”, dan sebagainya. Pihak yang anti menyebutnya “bom bunuh diri”, ditambahi keterangan: mati konyol, orang celaka, kekal di neraka.
Pihak yang pro menyebutnya “bom isytihad” (bom untuk mencari syahid). Kami lebih suka menyebutnya “bom manusia” (human bomb), supaya netral, tidak masuk dalam vonis/klaim.
[2]. “Bom manusia” pertama kali dikenalkan dalam lingkup perjuangan Islam, oleh aktivis gerakan Hamas di Palestina. Mereka menyerang sasaran sipil Israel, misalnya di bis atau di kerumunan massa, dengan aksi “bom manusia”. Israel terus-terang merasa sangat takut dengan aksi ini, karena sifatnya tidak terduga tetapi mematikan.
Tidak aneh jika setelah itu Israel berusaha mempercepat proses pengakuan otoritas Palestina dengan wilayah Tepi Barat dan Jalur Ghaza. Aksi bom ini meskipun jumlah korban yang berjatuhan dari kalangan Yahudi Israel tidak banyak, tapi telah menimbulkan “efek ketakutan” luar biasa di publik Israel.
Seperti dimaklumi, kaum Yahudi adalah jenis entitas manusia yang paling penakut dengan kematian. Seandainya mungkin, mereka ingin hidup seribu tahun; lau yu’ammaru alfa sanatin (Al Baqarah: 96).
[3]. Dalam praktiknya, aksi “bom manusia” kadang dilakukan dengan memakai rompi yang berisi bom, lalu meledakkannya ketika berada di tengah musuh; atau membawa bom dalam tas, kemudian diledakkan dari jarak dekat; atau membawa mobil dengan diberi muatan banyak bahan peledak, lalu mobil ditabrakkan ke sasaran musuh sehingga terjadi ledakan besar. Kadang peledakan dilakukan dari jauh menggunakan remote control; peran pelaku hanya sekedar membawa bom saja. Aksi-aksi demikian berisiko terjadinya kematian bagi pembawa bom.
[4]. Sejak awal munculnya, “bom manusia” telah menimbulkan polemik (ikhtilaf). Ada pendapat pro dan kontra. Dr. Yusuf Al Qaradhawi termasuk yang paling gigih membela “bom isytihad” ini. Ulama muda Saudi, seperti Syaikh Salman Al Audah dan Syaikh Sulaiman Nashir Al Ulwan, juga mendukung aksi ini.
Sementara kalangan Salafi rata-rata menolak; mereka menyebut aksi itu sebagai “bom bunuh diri”, pelakunya mati sia-sia, mati konyol, masuk neraka. Syaikh Al Albani rahimahullah berpendapat agak netral. Kata beliau, aksi berani mati bisa saja dilakukan dalam peperangan, jika hal itu diperintahkan oleh komandan perang.
Lalu beliau mencontohkan tindakan tentara Sudan ketika sebagian pengendara tank nekad masuk ke rawa-rawa, dengan risiko mati tenggelam, untuk membuat jembatan penyeberangan bagi pasukan di belakangnya. Tindakan “pasti mati” semacam itu boleh, asalkan atas persetujuan komandan perang.
[5]. Kami mengingatkan kepada kaum Muslimin (juga diri kami sendiri) agar menjaga lisan dan tulisannya. Hendaknya kita jangan sembarangan menuduh para Mujahid Islam yang sedang berjuang membela Umat di medan-medan Jihad sebagai: bunuh diri, mati konyol, mati celaka, masuk neraka.
Mereka melakukan itu semua karena ingin membela Umat dan meninggikan kehormatan Islam. Sebaliknya, kaum pencela tidak bisa berbuat apa-apa, selain hanya mencela. Jika kita merasa memiliki pendapat yang shahih dan kuat, serta punya strategi yang hebat dalam Jihad, silakan buktikan pendapat itu dalam peperangan sesungguhnya di medan perang. Jika tidak berani berjihad, takut menghadapi kematian karena banyak dosa (akibat kebiasaan mencela dan menghina sesama Muslim); maka banyak-banyaklah berdoa dan bertaubat.
Doakan saudaramu yang berjihad, agar mendapat pertolongan dan kemenangan dari sisi Allah. Bertaubatlah dari kebiasaan menyakiti para pejuang Islam di medan perang. Jangan sampai kita terkena penyakit kaum munafik; gemar menyakiti hati orang-orang beriman yang berjuang di medan perang. Bukankah kelakukan golongan Abdullah bin Ubay seperti itu? (At Taubah: 47).
[6]. Secara umum, perbuatan bunuh diri, dilarang dalam Islam. Dalilnya bukan “Wa laa tulquu bi aidikum ilat tahlukah” (jangan menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan). Tapi dalilnya adalah ini: “Wa laa taqtuluu anfusakum, innallaha kaana bikum rahiman” (janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian; An Nisaa’: 29).
Inilah dalil umum larangan melakukan tindakan bunuh diri. Dalil ini masih diperkuat dengan riwayat-riwayat seputar larangan dari Nabi Saw terhadap perbuatan bunuh diri.
[7]. Mula-mula harus dipahami hakikat amalan dalam Islam. Hakikat amalan dalam Islam dijelaskan dalam hadits populer dari Umar bin Khattab Ra, bahwa amalan itu tergantung niatnya. “Innamal a’malu bin niyat, wa li kulli imri’in ma nawa” (setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan diberi pahala sesuai niatnya).
Niat pelaku “bom manusia” adalah menyerang musuh yang merugikan Umat; sedangkan niat pelaku bunuh diri normal adalah mengakhiri keputus-asaan. Mungkin akibatnya sama, sama-sama kematian, tapi niatnya berbeda. Sama seperti orang yang tidak makan-minum seharian karena tidak ada makanan-minuman yang bisa dikonsumsi; dengan orang yang niat berpuasa sejak terbit fajar. Sama-sama tidak makan-minum, tapi beda niatnya. Unsur niat di balik amalan sangat besar artinya.
[8]. Faktor kematian dalam aksi “bom manusia” adalah AKIBAT dari suatu tujuan (menyerang lawan). Sedangkan dalam tindakan bunuh diri, faktor kematian merupakan TUJUAN aksi seseorang, untuk mengakhiri penderitaannya. Tujuan utama seorang Mujahid adalah menyerang lawan, risiko tindakannya kematian.
Kalimat yang mesti dikatakan bukan: “Dia telah bunuh diri dengan bom, lalu menimbulkan kerugian pada musuh demikian-demikian.” Yang tepat dikatakan: “Dia telah menyerang musuh sehingga menimbulkan kerugian demikian-demikian, sebagai akibatnya dia meninggal dalam serangan itu.”
Kalimat yang terakhir ini lebih tepat untuk menyebut aksi-aksi para pejuang Islam. Disini terdapat perbedaan tipis, tapi kita harus tetap menjaga perbedaan itu, agar tampak berbeda angtara kematian bunuh diri dengan kematian dalam Jihad.
[9]. Hukum yang berlaku dalam peperangan berbeda dengan hukum yang berlaku dalam kondisi normal. Hukum perang mengikuti situasi darurat (kontingensial). Hal-hal yang berlaku dalam hukum perang, tidak boleh serta-merta diterapkan dalam kondisi normal, karena realitasnya berbeda.
Contoh, dalam kondisi normal, kita dilarang melakukan tipu-daya. Tapi dalam perang Nabi Saw justru berkata: “Al harbu khud’ah” (perang itu isinya tipu daya). Dalam kondisi normal kita tidak boleh berbohong, tapi saat perang kita justru boleh berbohong kepada lawan (musuh). Dalam kondisi normal, kita dilarang membunuh manusia; tapi dalam perang, justru diperbolehkan sebanyak-banyaknya membinasakan lawan (musuh).
Dalam kondisi normal, kita tidak boleh memata-matai sesama Muslim, juga tak boleh tajassus (mencari-cari kesalahan) mereka. Tapi dalam perang, kita justru dianjurkan melakukan kegiatan mata-mata dan intelijen kepada lawan.
[10]. Tujuan utama dalam perang adalah menekan lawan, melemahkan mereka, membuat mereka takut, menghentikan kezhaliman musuh, atau mengusir mereka kembali ke negaranya. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan apa saja yang memungkinkan, sesuai pertimbangan Syariat dan teori kemiliteran.
Jika untuk tujuan tersebut dibutuhkan martir (pejuang berani mati), ya harus dilakukan. Nabi Saw pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib Ra memimpin pasukan untuk menyerang Benteng Khaibar. Benteng itu dijaga ketat, sulit ditembus, setiap pejuang yang mendekati pintu segera diserang anak panah Yahudi. Risiko serangan ini adalah kematian, tapi itu tetap dilakukan, demi tujuan Jihad.
Dalam Jihad para Salaf sering dijumpai serangan-serangan berani mati dengan cara menerobos barisan lawan sampai menimbulkan kerugian besar ke tengah mereka; dan menimbulkan rasa takut yang melemahkan mental lawan.
[11]. Pelaksanaan “bom manusia” dalam perang adalah bagian dari strategi perang yang diperintahkan oleh komandan perang. Ia bukan inisiatif pejuang Islam sendiri, tetapi dilakukan atas dasar komando (instruksi). Prinsip semacam ini lazim berlaku dalam seluruh strategi kemiliteran, dikenal sebagai “martyr attack” (serangan berani mati).
Kadang seorang jenderal komandan perang, memerintahkan sebagian anak buahnya untuk melakukan aksi berani mati, demi mencapai satu tujuan. Bentuknya tidak mesti “bom manusia”, tapi risikonya kematian bagi pelakunya. Misalnya, seorang prajurit diperintahkan meruntuhkan sebuah jembatan dengan menanam bom; atau prajurit diperintahkan masuk ke gudang senjata lalu meledakkannya; atau prajurit diperintahkan terjun ke tengah markas musuh, lalu melakukan serangan; dan lain-lain.
Risikonya adalah kematian, tetapi tujuannya untuk mencapai kemenangan. Tanggung-jawab serangan ada di pihak komandan, bukan di pelaku serangan berani mati, karena dia hanya melaksanakan perintah saja. Sementara sang komandan bertanggung-jawab atas berhasil tidaknya operasi militer itu dan seberapa besar pengorbanan yang diminta untuk mensukseskan suatu operasi.
Pihak pelaku “bom manusia” tidak bisa disalahkan, karena mereka hanya pelaku saja; sedangkan komandan pemberi perintah juga tak bisa disalahkan karena dia memutuskan operasi sesuai kebutuhan perang; kondisi ini tidak bisa disalahkan karena berada dalam lingkup situasi dan hukum perang.
[12]. Dalam Jihad Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, komandan perang pernah mengutus seorang kurir untuk menyampaikan surat kepada Sultan. Kurir ini harus menembus lautan yang dijaga ketat oleh kapal-kapal musuh. Caranya dia harus berenang dan menyelam melintasi kepungan musuh.
Surat diikatkan ke tubuhnya. Ketika dilaksanakan upaya ini, sang kurir akhirnya mati di laut, lalu mayatnya terdampar di pantai yang dikuasai Sultan. Surat sampai ke tangan Sultan, sementara sang kurir telah meninggal.
Kurir itu dijuluki “al-amin”, karena dia telah menunaikan amanat selama hidupnya, dan setelah wafatnya. Begitu juga, Sultan Muhammad Al Fatih ketika berusaha menembus Benteng Konstantinopel, beliau pernah memerintahkan pasukannya membuat terowongan-terowongan untuk menembus benteng.
Mula-mula strategi ini berhasil, tetapi kemudian musuh mengetahui cara demikian; mereka menyiramkan minyak panas ke terowongan sehingga menimbulkan banyak kematian bagi prajurit Islam.
[13]. Sebenarnya, aksi “bom manusia” ini tidak perlu dilakukan, jika Jihad Fi Sabilillah kaum Muslimin selama ini didukung oleh pasukan negara-negara Muslim. Nyatanya, sejak era Jihad Syaikh Abdullah Azzam pada tahun 80-an, tidak ada satu pun tentara reguler negara-negara Muslim terjun melaksanakan Jihad.
Rata-rata Jihad dilakukan oleh “mujahidin individu” dari kalangan aktivis Islam atau kader-kader dakwah. Seharusnya tentara negara Muslimin terlibat dalam perang, membela kaum Muslimin di Mesir, Afghanistan, Palestina, Suriah, Chechnya, Bosnia, Pakistan, Yaman, Libya, dan sebagainya. Mereka datang dengan kekuatan reguler, dengan persenjataan organik, dengan strategi standar.
Maka jika pasukan reguler ini (terutama dari Saudi yang sering mencela pelaku “bom manusia”) belum pernah terlibat dalam perang mendukung Umat; mereka lebih patut disalahkan dan diharuskan bertanggung-jawab atas setiap masalah kemiliteran yang ada. Pemimpin-pemimpin yang tidak mau mengerahkan pasukannya untuk membela Umat, mereka bertanggung-jawab penuh atas ketidak-berdayaan kaum Muslimin dalam peperangan melawan musuhnya.
[14]. Hakikat “bom manusia” semata-mata hanya sebagai “kendaraan” atau “transportasi” untuk menghantarkan bom ke sasaran musuh. Ketika kaum Muslimin tidak memiliki sarana senjata, meriam, tank, rudal, atau apapun yang bisa menghajar sasaran lawan secara telak dan tepat; maka strategi “bom manusia” dibutuhkan untuk melakukan serangan. Jika Umat Islam memiliki sarana-sarana senjata canggih, tidak perlu lagi ada “bom manusia”.
Aksi bom itu semata-mata karena kedaruratan belaka. Itu pun hanya berlaku di medan perang (konflik militer) saja. Jika Mujahidin Islam memiliki sejenis Scud, Tomahawk, Apache, F16, Sukhoy, dan sejenisnya maka tak dibutuhkan lagi “bom manusia”. Jika Mujahidin bisa menyerang lawan dengan rudal dari jarak jauh, mengapa harus membawa bom ke tengah sasaran musuh?
Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa serangan “bom manusia” adalah tindakan yang diperbolehkan dalam perang, sebagai bagian dari strategi militer. Bom ini dibutuhkan ketika para pejuang Islam tidak memiliki sarana persenjataan yang memadai untuk menyerang lawan.
Hakikat “bom manusia” bukanlah tindakan bunuh diri, tapi sebuah serangan militer. Kematian yang terjadi adalah RISIKO dari sebuah serangan berani mati; bukan sebagai tujuan. Jika Allah menghendaki, bisa saja pelaku serangan “bom manusia” tidak sampai meninggal, meskipun bom tetap meledak.
Aksi “bom manusia” ini tampaknya akan terus terjadi, sebagai tindakan paling darurat, untuk membela Umat Islam yang ditindas musuh. Tidak ada yang bisa mencegah aksi-aksi demikian, selagi prajurit militer dari negeri-negeri Muslim (misalnya Saudi, Indonesia, Mesir, dan sebagainya) tidak pernah diturunkan ke medan perang untuk berjihad membela Umat.
Kewajiban bagi Umat ini, minimal mendoakan para Mujahidin dalam perjuangan mereka; dan menjaga lisan agar tidak menyakiti saudara-saudaranya yang sedang berjihad. Siapa yang senang mencela dan memvonis buruk, dia harus membuktikan dirinya lebih berani membela Umat di medan perang.
Semoga risalah sederhana ini bermanfaat. Allahummanshur lil Mujahidina fi kulli makan wa fi kulli zaman; khushushan fi Suriah. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. *AM.Waskito
Sumedang, 26 Desember 2013.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!