Kamis, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 27 Maret 2014 17:00 wib
29.795 views
Tak Kenal, Maka Tak sayang: Akar Permusuhan Indonesia vs Malaysia
Tak Kenal, Maka Tak sayang
Indonesia beberapa kali terlibat ketegangan dengan tetangganya, Malaysia. Terakhir, saat Negeri Jiran kehilangan pesawat komersialnya MH 370, pers Malaysia (sebagian mereka memang tak memegang kaidah-kaidah jurnalistik yang adil dan berimbang) malah menuduh pemerintah Indonesia menyembunyikan info mengenai lokasi pesawat hilang itu hingga membuat warga Indonesia marah.
Sebaliknya, kebanyakan media massa dan politisi di Indonesia selama ini menafikan faktor Islam dalam kasus ketegangan hubungan antara RI-Malaysia. Alih-alih, mereka malah memprovokasi peperangan kedua negara bertetangga. Padahal, sebagai representasi mayoritas muslim seharusnya mereka tahu bahwa Tuhan melarang permusuhan, sebagaimana ditetapkan dalam kitab suci,
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat baik (ihsan), memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran {Quran Surah 16 (An-Nahl): 90}
Dan bahwa perdamaian di antara manusia adalah salah satu ajaran Islam. Lihat misalnya, Quran S 4 (An-Nisã: 114},
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhoan Allah, kelak Kami memberinya pahala yang besar.
Beberapa tahun sebelumnya, beberapa tokoh Indonesia menyikapi hubungan kedua negara dengan sikap tak ramah. Mereka hanya ikut-ikutan mengagungagungkan nasionalisme belaka. Nasionalisme pada hakikatnya adalah paham `ashobiyah (tribalisme) yang terbukti mencerai-beraikan persaudaraan umat sejagat dan menghambat mobilitas umat di bumi Allah dengan adanya batas-batas wilayah.
Kritik terhadap nasionalisme ekstrem seperti ini telah banyak diungkapkan. Bahkan, para intelektual sejak zaman prakemerdekaan telah mempersoalkannya ketika mereka menyusun (dan memperdebatkan) bentuk negara yang diinginkan. Menurut pemikir muslim H Agus Salim, sudut pandang kaum nasionalis yang meliputi “kesiapsediaan yang tulus untuk melayani dan membaktikan diri bagi Ibu Pertiwi Indonesia” telah mengangkat nasionalisme ke peringkat agama (Effendy, Bahtiar,2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan). Bagi Agus Salim, jika pandangan nasionalisme yang demikian dibiarkan hidup, ia memiliki potensi untuk “memperbudak manusia di bawah berhala tanah air.”
Bagi umat Islam, pengabdian kepada Allah --dan bukan kepada yang lain termasuk tanah air-- adalah berada di atas segalanya, sebagaimana termuat dalam ayat 56 Al-Quran Surah 51 dan dijadikan rujukan (“Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”).
Patutkah kita merasa bahagia dengan adanya ketegangan dengan Malaysia? Mengapa tidak mencoba pilihan yang lebih manusiawi, mengenali perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang ada guna mencari titik temu bagi suatu solusi permasalahan? Kita kurang mengenal tetangga kita, bagaimana mungkin kita mau mengenali bangsa-bangsa yang yang lebih jauh? Bukankah Quran telah mengingatkan bahwa perbedan-perbedan itu tujuannya untuk dikenali dan bukan dimusuhi {QS 49: 13}?
Bagaimana mungkin kita bergaul dengan tetangga jika kita tak mengenal mereka dari sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan? Pepatah Melayu mengatakan, “Tak kenal, maka tak sayang.”
. . . kebanyakan media massa dan politisi di Indonesia selama ini menafikan faktor Islam dalam kasus ketegangan hubungan antara RI-Malaysia. Alih-alih, mereka malah memprovokasi peperangan kedua negara bertetangga. . .
Coba kita kenali Malaysia lebih dekat. Pengekspor minyak bumi dan elektronik ke negara-negara Asia Tenggara dan Amerika Serikat ini pada 2013 mengalami lonjakan ekspor di kedua produk itu sebesar 29,3 persen, dan menyumbang sepertiga dari total pengiriman luar negeri Malaysia. Tapi, upaya diversifikasi ekonomi Malaysia membuatnya kurang bergantung pada ekspor.
Upaya yang dimaksud, contohnya, pemerintah Malaysia telah mendorong untuk meningkatkan pariwisata di negeri jiran tersebut. Hasilnya, pariwisata telah menjadi sumber pendapatan terbesar ketiga Malaysia berdasarkan pendapatan dari valuta asing. Sektor pariwisata menyumbang 7 % dari perekonomian Malaysia pada 2005, dan pada 2011 negara ini mengklaim berada di urutan ke-9 di antara negara-negara yang sering dikunjungi dunia, sesudah Jerman.
Tapi, tak dapat disangkal, pendidikanlah –terutama pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam-- yang mendorong kemajuan negara Malaysia. Ini mengingatkan kita kepada sejarah peradaban Islam pada umumnya. Orang-orang Islam pernah berjaya pada masa awal kemunculan agama ini, ketika mereka membuka diri mengunjungi negeri-negeri di muka bumi untuk menimba ilmu. Di sini bahkan, pusat-pusat peradaban dan keilmuan peradaban Islam awal telah menginspirasi bangsa Barat (antara lain ketika kaum muslim menerjemahkan karya-karya filosofis Yunani Kuno).
Sekarang, ketika orang Barat mengembangkan ilmu disertai eksplorasinya terhadap dunia, kaum muslim malah mengalami kemunduran (antara lain akibat penjajahan bangsa Barat). Malaysia bertekad mengejar ketinggalan itu dengan mempelajari rujukan Islam dan membuka diri terhadap ilmu dari negeri-negeri lain di muka bumi, termasuk dari negeri-negeri Barat. Negeri ini pun belajar dari saudara tuanya (Indonesia) dan kerap mengirimkan para pelajarnya ke sini.
Nilai-nilai universal yang berasal dari agama menjadi daya tarik tersendiri bagi Malaysia sebagai destinasi pendidikan para siswa asing. Sejak 1980-an Malaysia telah merangkul banyak pelajar muslim dari Cina dan Taiwan untuk belajar di Institut Dakwah Perkim (Pertubuhan Kebajikan Islam Malaysia) dan kemudian Universitas Islam Internasional (IIU) Malaysia. Sejak itu, permintaan untuk mendaftar semakin meningkat setiap tahunnya. Para siswa dikabarkan merasa kerasan di Malaysia dan tak merasa asing di sana. Menurut peneliti Rosey Wang Ma (“Chinese Muslims in Malaysia, History and Development,” in http://www.islamhk.com/en/, Augt 2010), tidak sulit untuk mengetahui kenapa Malaysia menjadi tujuan untuk belajar Islam bagi orang Tionghoa.
Pertama, karena ini adalah sebuah negeri muslim, dan pada saat yang sama menyajikan banyak aspek kehidupan dan kebudayaan Cina. Karena bahasa Mandarin dipakai meluas di sini, mudah bagi mereka untuk berkomunikasi, berteman, juga bekerja paruh waktu. “Biaya hidup yang moderat, dan biaya sekolah yang cukup murah membuat belajar di Malaysia lebih disukai ketimbang di negara Barat untuk pendidikan berbahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris di IIU dan lembaga-lembaga Islam lainnya selain bahasa Arab menjadi faktor keberhasilannya,” urai peneliti Rosey Wang Ma.
“Alasan lainnya, datang ke Malaysia adalah sebuah pendekatan progresif Islam dalam lingkungan belajar ketimbang universitas-universitas di Timur Tengah atau di Mesir, dan tentunya lebih dekat ke rumah.”
Malaysia terbukti menjadi tujuan para siswa mancanegara --termasuk dari Indonesia-- untuk menuntut ilmu keislaman. Pakar ekonomi syariah Dr M Syafii Antonio meraih gelar Master of Economics dari International Islamic University (IIU) di Kuala Lumpur. Syafii yang menerima Penghargaan Syariah dari Bank Muamalat Indonesia, Bank Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia karena kontribusinya bagi perekonomian dan keuangan Islam, pada 2006 duduk di Dewan Pertimbangan Syariah di bank sentral Malaysia, suatu penunjukan yang ditandatangani sendiri oleh Perdana Menteri Malaysia.
Para akademisi di Malaysia merumuskan konsep tamadun Melayu, yaitu tamadun yang dibentuk oleh sekelompok manusia yang digolongkan secara luas sebagai kumpulan orang-orang Melayu dan bertempat di kawasan Asia Tenggara. Mereka mengaitkan istilah tamadun dengan faktor-faktor lokasi geografik yang memungkinkan masyarakatnya memperoleh sumber-sumber asal untuk keberlangsungan kehidupannya.
Ada pula istilah “masyarakat madani” yang berkesan lebih islami. Istilah ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Dr Anwar Ibrahim ke Indonesia. Mantan Menteri Keuangan Malaysia itu mengambilnya dari terjemahan bahasa Arab, mujtama`-madani yang awalnya diperkenalkan oleh seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, Prof Naquib al-Attas. Adapun di Indonesia, istilah “masyarakat madani” pertama kali diperkenalkan oleh Prof Dr Nurcholish Madjid lewat Yayasan Paramadina yang dipimpinnya (“Menuju Masyarakat Madani,” dalam Jurnal UlumulQur’an Edisi 2/VII/1996, h 51).Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata “masyarakat madani” banyak diterima oleh cendekiawan Indonesia sebagai terjemahan dari civil society.
Masyarakat madani lebih dekat bahkan sejajar dengan civil society, meskipun kedua istilah ini memiliki latar belakang historis yang berbeda. Civil society punya keterkaitan historis dengan masyarakat Barat, sedangkan masyarakat madani punya keterikatan historis dengan Islam di masa Nabi Muhammad Saw. Namun, meski konteks sejarah lahirnya berbeda, keduanya memiliki kesamaan secara prinsipal. Yakni, dalam nilai-nilai kesetaraan, keadilan, partisipasi, toleransi, dan supremasi hukum sebagai prinsip dasar dalam suatu komunitas yang beradab.Jelas bahwa kedua istilah masyarakat madani maupun tamadun Melayu telah dimantapkan oleh Islam.
Kini, alhamdulillah, hubungan Malaysia-Indonesia tampak semakin harmonis. Sebagian tokoh kelas menengah kita mulai menghargai eksistensi manusia lain tidak dalam bingkai kebangsaan atau kewarganegaraan belaka. Ini sebagaimana terlihat dalam perhelatan ke-2 Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta pada 19 Agustus 2013. Penggagas Diaspora Indonesia, Dr Dino Patti Djalal,mengimbau agar para anggota diaspora Indonesia ini diberi kemudahan ketika berkunjung ke negara RI, misalnya dalam kepengurusan di kantor imigrasi.
Sejak Kongres Diaspora pertama di Los Angeles, sejumlah cabang Indonesia Diaspora Network telah terbentuk di kota-kota di AS, Australia, Azerbaijan, Brunei Darussalam, Kanada, Cina, Kroasia, Finlandia, Jerman, Madagaskar, Malaysia, Meksiko, Belanda, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Qatar, Rusia, Singapura, Srilanka, Swedia, Timor Leste, Uni Emirat Arab, dan lain-lain. Tujuan pembentukan Diaspora Indonesia mudah dibaca, agar para profesional (juga pengusaha) asal Indonesia mau membantu negeri ini, walaupun mereka tak lagi menjadi WNI. Ini sebuah langkah perbaikan untuk tak mengulangi kesalahan terdahulu yang membiarkan terjadinya arus brain drain ke luar negeri alih-alih memanfaatkan keahlian mereka di negeri sendiri.
Dalam Kongres Diaspora Indonesia II di Jakarta, seorang pejabat tinggi dari Malaysia yang berkunjung ke acara ini, Dr Rais Yatim, mengatakan bahwa warga Indonesia dan Malaysia punya tanggung jawab bersama untuk membangun persamaan-persamaan budaya di kedua negara (Yatim, Dr Rais. 2013. Menjulang Tamadun Nusantara, Sempena Diaspora Indonesia ke-2, Jakarta, 19 Ogos 2013, Kuala Lumpur, Yayasan Ikatan Rakyat Malaysia Indonesia, 2013).Menurut mantan Menteri Luar Negeri ini, beberapa perguruan tingggi perlu mendalami aspek-aspek budaya kedua bangsa untuk menyadarkan generasi mendatang agar membentuk suatu sinergi dalam memelihara cara hidup bersama.
Menurutnya, badan-badan yang berkedudukan di Malaysia seperti YIRMI (Yayasan Ikatan Rakyat Malaysia-Indonesia) dan ISWAMI (Ikatan Setia Wartawan Malaysia-Indonesia) dan beberapa organisasi nonpemerintah lainnya harus diberi dukungan agar terpeliihara hubungan yang harmonis antara rakyat kedua negara. Peran jurnalisme memang signifikan untuk mendamaikan hubungan kedua negara atau pihak yang bersitegang, atau sebaliknya untuk menciptakan permusuhan di antara keduanya.
“Saya ke mari untuk bersama-sama menyatakan bahwa kita satu. Kita bersatu dalam sejarah, budaya, dan cara hidup yang seharusnya tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain,” kata Rais dalam acara perhelatan internasional ini. “Sulaman dan keintiman jiwa antara dua bangsa dalam satu aspirasi ini perlu terus berkekalan selagi ada bulan dan matahari.”
Rais yang bergelar Tan Seri Dr Rais Yatim ini agaknya mengisyaratkan sesuatu. Secara implisit ia seperti hendak mengatakan, jalinan silaturahim kedua negara, Indonesia dan Malaysia, dikuatkan oleh Islam. Secara astronomik, matahari adalah bintang yang memiliki sumber cahaya tersendiri, sedangkan bulan adalah planet yang memantulkan cahaya matahari atau bintang. Bulan dan bintang adalah frase yang dikenal sebagai simbolisasi Islam.
Tokoh kelahiran 1942 dan pernah menjabat beberapa posisi menteri di bawah lima perdana menteri ini mengungkapkan salah satu rahasia di balik kemajuan negara-negara berbahasa Inggris. Menurutnya, negara-negara Inggris dan Amerika Serikat meraih posisi yang sekarang sebagai negara-negara maju berkat penerbitan buku-buku mereka ke dunia. “Amerika dan Inggris membuat dunia membeli buku-buku terbitan mereka yang menggunakan bahasa Inggris,” ujar mantan Menteri Penerangan di era PM Mahathir Mohamad dan pernah dua kali menjabat Menteri Luar Negeri.
Karena itu, Menteri Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan di era pemerintahan PM Najib Razak ini pun menganjurkan agar penduduk nusantara menggalakkan penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia untuk mencapai posisi bahasa sebagai salah satu bahasa internasional. Rais Yatim sendiri adalah seorang pakar bahasa yang punya minat yang besar terhadap bahasa Melayu, kesususastraan Inggris, dan fotografi.
Globalisasi dan Peran Bahasa
Pemerintah Malaysia memutuskan bahwa teknologi informasi (TI) menjadi sarana terpenting dalam rangka mewujudkan Wawasan 2020(Ahmad Sarji (Ed), Wawasan 2020 Malaysia, Memahami Konsep, Implikasi, dan Cabaran, dari buku Malaysia’s Vision 2020: Understanding the Concept, Implications &Challenges, Kuala Lumpur, Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad, 2001).Ini visi pembangunan yang dirancang oleh Perdana Menteri ke-4 Malaysia, Dr Mahathir Mohamad, dengan tujuan menjadikan Malaysia negara maju pada 2020.
Karena itu pemerintah Malaysia membentuk Koridor Raya Multimedia atau lebih dikenal sebagai MSC, diklaim sebagai proyek pertama terunggul di dunia. Tujuannya, untuk membantu dunia menguji batasan teknologi dan bersiap-siap menuju masa depan. MSC mula-mula akan menggabungkan semua unsur yang unik dan penting di sekelilingnya untuk mewujudkan suasana multimedia global yang sempurna. MSC meliputi kawasaan seluas 50 km X 15 km dari Kuala Lumpur City Centre (KLCC), dari gedung pencakar langit Petronas terus ke selatan ke bandara Lapangan Terbang Antarbangsa Kuala Lumpur (KLIA). Dua “Bandar Pintar” pertama di dunia dibangun di kawasan MSC. Yang pertama di Putrajaya, pusat pemerintahan baru yang memperkenalkan konsep pemerintahan elektronik.
Satu lagi dinamakan Cyberjaya, bandar pintar yang memiliki industri multimedia, pusat R & D, Universiti Multimedia dan induk operasi bagi organisasi multinasional yang ingin mengendalikan aktivitas produksi dan perdagangan seluruh dunia dengan teknologi multimedia. Globalisasi menjadi tantangan yang menggairahkan bagi masyarakat Malaysia. Lalu, bagaimana orang Indonesia memandang globalisasi?
Rujukan yang mudah dijumpai di internet (salah satu media yang mewakili eksistensi globalisasi), Wikipedia, mencandrakan globalisasi sebagai keterkaitan dan ketergantungan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan interaksl-interaksi lainnya sehingga batas-batas negara menjadi semakin sempit. Tapi, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, malah ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung negara-negara adikuasa, karenanya globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir.
Globalisasi atau penyejagatan diperkirakan telah dimulai sejak adanya Jalur Sutera membelah Asia, disusul dengan jaringan perdagangan kaum muslim hingga ke kepulauan nusantara disertai penyebaran agama Islam, dan ekplorasi global bangsa Eropa disertai imperialisme dan penyebaran agama Kristen.
Fase terakhir globalisasi masih didominasi negara Utara, terutama Amerika Serikat, ketika negara adikuasa ini melanjutkan imperialisme sebelumnya namun disertai kekuatan budaya dan korporasi multinasionalnya. Ringkasnya, menurut definisi ini, globalisasi dapat digambarkan sebagai universalisasi, yaitu semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia, ketika pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Tapi, universalisasi seperti dimiliki pula oleh kelompok lain yang juga mengklaim punya pandangan universal. Umat Islam percaya, pembawa risalah Islam, Rasul Muhammad Saw, diutus ke dunia sebagai rahmatan lil `aalamiin (kasih bagi seluruh alam), sebagaimana termaktub dalam Quran S 21: 107. Umat Islam berpandangan bahwa Islam adalah agama universal, ditujukan kepada seluruh umat manusia. Ini ditandai dengan ayat-ayat kitab suci Al-Quran yang ditujukan tak hanya buat orang-orang beriman, tapi juga untuk seluruh manusia, yang menunjukkan kesejagatan manusia sebagai satu entitas yang sama. Toh, kaum muslim punya pandangan berbeda mengenai globalisasi atau universalisasi tersebut.
Sebagian umat Islam Indonesia memercayai Islam sebagai “one stop-solution” bagi setiap persoalan, dan berpendapat Islam memfilter masuknya budaya luar tapi sekaligus mengkritisi budaya-budaya lokal warisan leluhur. Bagi mereka, budayalah yang musti menyesuaikan diri dengan Islam, bukan sebaliknya. Kelompok terakhir ini cenderung menganggap pendidikan yang mengarah kepada universalisasi atau globalisasi, seperti studi bahasa Inggris, bukan sebagai ancaman.
Tapi, sebagian umat Islam di Indonesia lainnya membentengi diri terhadap masuknya pengaruh buruk dunia luar, yaitu dengan memperkuat budaya lokal dan nilai-nilai tradisional. Pada 7 Januari 2013, saat para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengadakan rapat, di luar gedung parlemen para demonstran yang mengklaim mewakili masyarakat Sunda, Solo, dan Yogya berdemo memprotes dihapuskannya kurikulum bahasa daerah di sekolah. Penentangan terhadap penghapusan mata pelajaran bahasa daerah bisa dibaca sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap arus globalisasi.
Penentangan ini mengabaikan fakta bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa pemersatu yang pemakaiannya bersama-sama bahasa Melayu diakui cukup meluas hingga ke Semenanjung Malaya, utara Kalimantan, selatan Filipina, Timor Leste, dan dipelajari di Australia dan negara-negara Barat lainnya. Arkeolog Universitas Indonesia Ayatrohaedi (alm), pernah mengungkapkan bahwa tidak ada yang namanya kebudayaan Indonesia, “Kecuali, bahasa Indonesia,” kata dosen yang akrab disapa sebagai Mang Ayat.
Memang, satu-satunya kebudayaan yang berhasil mempersatukan Indonesia adalah bahasa Indonesia. Dia (beserta bahasa serumpunnya bahasa Melayu) telah terbukti menjadi sarana komunikasi efektif di Kawasan Asia Tenggara. Diperkirakan jumlah penutur bahasa Indonesia/Melayu sekitar 300 juta orang. Posisi Bahasa Indonesia/Melayu di urutan ke-14 dalam daftar bahasa dengan penutur (native speakers) terbesar --di bawah bahasa Jepang dan di atas bahasa Perancis, menjadikannya berpotensi menjadi bahasa regional di Kawasan. Itu hanya mungkin dicapai jika para penuturnya berbahasa Indonesia secara benar, baik, dan indah.
Lima bahasa terbesar dalam jumlah penutur di dunia berturut-turut adalah bahasa Mandarin, Spanyol, Inggris, Hindi, dan bahasa Arab (Nationalencyklopedin 2007). Di antara kelimanya, bahasa Inggris dianggap paling popular sebagai bahasa internasional berkat kedekatannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun bahasa Arab, yang lebih banyak digunakan umat Islam (selain umat Nasrani di beberapa negara di Timur Tengah), semakin tinggi popularitasnya karena keterkaitannya dengan agama.
Karena kedekatannya dengan Al-Quran, kitab suci yang tetap menggunakan bahasa otentik hingga kini, umat Islam di belahan dunia lain berupaya mempelajari bahasa Arab Al-Quran. Di sini, semakin meluas manfaat universal yang diambil dari suatu bahasa, semakin penting bahasa itu dipelajari. Tak heran bila beberapa pesaantren di Indonesia –seperti pesantren Pondok Modern Gontor di Jawa Timur, mewajibkan penggunaan bahasa Arab dan bahasa Inggris bagi para santrinya. Warga Indonesia maupun Malaysia dituntut untuk menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Kedua negara juga dituntut untuk lebih menguasai bahasa serumpun secara benar dan baik. Sehingga, misalnya, warga internasional yang belajar bahasa Indonesia tidak menjadi kecewa karena melihat kita sendiri tak menggunakan bahasanya dengan benar dan baik secara lisan maupun tertulis. Menggunakan bahasa yang tidak dimengerti di muka umum bukanlah perbuatan baik secara moral. Islam mengajarkan agar dua orang tidak bercakap-cakap menggunakan bahasa yang tidak dimengerti pihak ketiga yang berada di dekat keduanya, karena perbuatan itu analog dengan berbisik-bisik.
Berikutnya, warga di kedua negara ini perlu melakukan transfer pengetahuan tak hanya di kawasan regional, tapi juga meningkat ke dunia global lewat penggunaan bahasa Indonesia atau Malaysia yang taat asas atau konsisten. Bahasa serantau di kawasan punya harapan untuk dipergunakan secara global sebagaimana bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sebaliknya, penggunaan bahasa daerah lokal yang jumlah penuturnya di bawah 100 juta justru kontraproduktif dan menghambat kemajuan.
Penduduk di kedua negara berpotensi meraih kemajuan seiring dengan pencapaian yang telah dicapai negara-negara maju lainnya, antara lain karena penguasaan bahasa global. Semakin banyak jumlah penutur suatu bahasa, terutama bahasa-bahasa pergaulan internasional, semakin penting bahasa itu dipelajari.
Setidaknya sudah sejak 2006 para blogger Indonesia mulai berbagi informasi ke dunia internasional. Mereka menulis blog mereka mengunakan bahasa Inggris. Seorang peneliti studi Islam di Jamia Millia University dan mahasiswa pascasarjana politik di Agra University, India, Fatih Syuhud, mengungkapkan hal ini. Menurut Fatih, hanya dengan bahasa Inggrislah blogger Indonesia bisa dikenal dunia (Putra, Budi, 2006. “Fatih, Tukang Bedah Blogger,” Flash Koran Tempo, Rabu, 29 Maret 2006, h C-8).“Selama ini orang tahu tentang Indonesia umumnya dari orang atau blogger asing,” kata Fatih. “Sudah waktunya dunia tahu Indonesia dari orang Indonesia sendiri.”
Blog dan media sosial di internet bisa menjadi sarana ampuh buat penyebaran dakwah dan informasi-informasi jurnalistik lainnya. Media internet bisa dimanfaatkan buat menyebarkan kebaikan bagi dunia. Menurut Islam, orang beriman yang baik dan calon penghuni surga adalah orang yang menyebarkan perdamaian dan salam kepada setiap orang.
Rasulullah bersabda, “Kamu tidak dapat masuk surga, sebelum kamu beriman. Dan kamu belum dapat dikatakan mu-min sebelum kamu kasih-mengasihi satu sama lain. Sukalah kamu aku tunjukkan jalan untuk berkasih sayang? Galakkanlah salam di antara kamu.” (Widjaya, Fa, 1986,Terjemah Hadits Shahih Muslim I, h 31).
Yang benar datang dari Allah, dan yang salah dari diri penulis.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!