Jum'at, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 25 Juli 2014 05:27 wib
88.425 views
Melawan Lupa (19): Munir dan Hendro Priyono, Kisah Sebuah Koper
Koper Cak Munir dan AM Hendropriyono
Pejuang Hak Azasi Manusia (HAM) paling kondang usai Reformasi 1998 adalah Munir Said Thalib. Bukan saja para aktivis HAM, melainkan juga masyarakat umum sudah pasti kenal sosok fenomenal ini. Badannya tidak begitu tinggi dibanding rata-rata tinggi badan orang Indonesia, tetapi prestasi kerjanya jauh melampaui kinerja aktivis LSM manapun.
Pria yang akrab disapa Cak Munir itu sudah menggeluti aktivitas keberpihakan pada kaum yang terpinggirkan, sejak ia masih mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Kisah kehidupan Cak Munir semasa mahasiswa di Malang tak pernah hilang dari ingatan para aktivis sepanjang masa.
Karir Munir dalam membela keadilan kian intensif begitu ia menjadi pembela hukum di LBH Surabaya. Siapapun aktivis HAM dan pembela hukum di Surabaya dan sekitarnya bisa dipastikan mengenal Munir di awal dekade '90-an. Selain giat membela hak-hak buruh, nelayan dan tani, Munir juga aktif menulis di media massa. Ia kerap mengisi diskusi dan pandangan-pandangannya sangat jernih.
Sudah bukan rahasia lagi, kegiatan LBH Surabaya serta aktivitas Munir pun selalu dalam pemantauan aparat keamanan. Suatu ketika di tahun 1993, Cak Munir bersama rekan-rekannya di LBH harus menghadapi kecurigaan aparat, lantaran aksi protes para buruh kian meningkat usai kematian aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo. Pangkal kecurigaan aparat berasal dari diskusi-diskusi yang kerap digelar di kantor LBH di Jalan Kidal, Kota Surabaya. Namun, aparat kesulitan membuktikan kecurigaan tersebut.
Skandal DKP
Aktivitas Cak Munir kian bertambah saat ia ditarik ke LBH Jakarta. Terlebih setelah peristiwa penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Jakartapada 27 Juli 1996 dan kasus-kasus pelanggaran HAM terus bermunculan. Dalam melakukan pembelaan, Cak Munir kerap melakukan penelusuran dan riset. Dari riset ini, banyak fakta baru yang diungkap Cak Munir. Seperti riset lapangan Cak Munir terhadap kasus penculikan aktivis.
Pernyataan Munir yang termuat di Harian Kompas pada 23 Desember 1998 menyebut indikasi keterlibatan aktor-aktor lain. Munir mengikuti secara seksama proses peradilan militer terhadap personil Tim Mawar. Dari pengamatannya yang kritis, Munir berpendapat adanya upaya untuk melokalisir tanggungjawab kasus penculikan tersebut. Patut diduga, pendapat kritis ini tak pelak membuat para aktor-aktor lain yang tak tersentuh hukum kemudian geregetan pada Munir.
Wacana penghilangan paksa para aktivis 1998 itu rupanya menarik minat Munir untuk dijadikan bahan tesis di Universitas Utrecht Belanda pada 2004. Pria berdarah Timur Tengah itu bahkan sudah menyiapkan proposal tesisnya. Walau kasus itu sudah lewat enam tahun,tetapi Munir agaknya mengetahui aktor-aktor kunci dari kasus tersebut. Pengetahuanalmarhum pada peristiwa tahun 1998 sangat mendalam. Jika diuraikan dalam persidangan akademis yang terbuka di Universitas Utrecht, maka bisa tersingkap permainan kotor para aktor di balik penghilangan sejumlah aktivis 1998. Rupanya, gerak-gerik Munir terus dipantau pihak-pihak yang hendak ‘melenyapkannya’. Bahkan, sejumlah sumber di Surabaya menyatakan, Munir telah diawasi sejak di LBH Surabaya. Munir dipandang sebagai ancaman bagi kelangsungan rezim status quo.
Munir secara tersirat juga mengomentari keberadaan Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Menurutnya, penyelesaian melalui DKP bukan merupakan langkah maju dari ABRI untuk penegakan hukum (Kompas, 25/8/1998). Bahkan, sedari awal Munir dan Kontras menyatakan, pembentukan DKP mendahului proses persidangan Mahkamah Militer (Mahmil) bertentangan dengan Surat Keputusan (SK) Panglima ABRI No. 838/III/1995 tertanggal 27 November 1995 (Kompas, 6/8/1998).
Seharusnya, kata Munir, DKP dibentuk sesudah proses persidangan mahmil, bukan sebaliknya. Saat itu, Munir juga melihat kejanggalan lain dari DKP, karena tidak sesuai persyaratan kepangkatan tiga perwira tinggi pemeriksa. Berbagai kejanggalan pada DKP ini kelak kemudian mencuat kembali pada 2014, sejumlah purnawirawan bermartabat tampaknya sepakat dengan logika Cak Munir dalam meluruskan sejarah. Namun demikian, patut diduga, pengungkapan kejanggalan oleh Cak Munir ini bisa meningkatkan ancaman kepada tokoh pembela HAM tersebut.
Skandal ‘Penghilangan’ Theys
Kasus penghilangan paksa lainnya yang menarik perhatian Munir adalah tewasnya Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001. Theys merupakan sosok yang sangat dihormati di Papua. Ia memerjuangkan hak-hak rakyat Papua. Sebagai ketua organisasi yang disegani, Theys mempunyai jejaring kerja yang bagus pada organisasi lainnya.
Ketika Theys mendadak tewas di Muara Tami, Jayapura, kabar pun cepat menyebar. Munir menepis dugaan Theys dibunuh karena urusan bisnis (Tempo, 18/4/2002). Sebaliknya, Munir justru melihat ada kepentingan lain dibalik penghilangan nyawa Theys. Kelak dikemudian hari, setelah Munir tewas diracun, dalam kesaksian di persidangan kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa bekas Deputi V BIN Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan pada 16 September 2008, istri Munir, Suciwati, menunjukkan proposal tesis (Detik, 16/9/2008). Proposal itu menukil tema sangat sensitif dalam pelaksanaan HAM di Indonesia dan bakal diuji dalam forum akademis di Universitas Utrecht Belanda.
Sebagai aktivis Kontras, Munir tentu mencermati seksama proses pemeriksaan dalam kasus pembunuhan Theys di Papua itu. Sejumlah perwira Kopassus sedang diperiksa Puspom TNI, meski sempat tersendat-sendat, tetapi pemeriksaan jalan terus. Laporan harian The Jakarta Post pada 27 Juli 2002 menyebut sebuah surat dari seorang purnawirawan bernama Agus Zihof kepada Kepala Staf TNI-AD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Agus adalah ayah Kapten Rianaldo, salah seorang perwira terperiksa. Dalam suratnya, Agus menyatakan putranya telahditekan menantu Kepala BIN saat itu Abdul Makhmud Hendropriyono (AM Hendropriyono), yaitu Mayor Andika Perkasa, agar mengakui pembunuhan terhadap Theys.
The Jakarta Post bahkan menuliskan, Mayor Andika Perkasa mengiming-iming sebuah jabatan kelak kepada Rianaldo di jajaran BIN. Sayangnya, Komandan Puspom TNI Brigjen Hendardji Supandji saat itu menegaskan tidak akan menanyakan kebenaran laporan Agus Zihof itu kepada Andika Perkasa.
Sementara itu, nama Andika Perkasa rupanya juga mencuat ke publik dari pengakuan Muchyar Yara dalam kasus penangkapan teroris Umar Faruq pada 5 Juni 2002 di Masjid Jami’ Bogor (Majalah TEMPO Edisi 25 November - 1 Desember 2002, hal.69-87). Penangkapan Faruq diduga kuat melibatkan operasi CIA di Indonesia. Laporan dari situs Open Society tahun 2013 melansir program penangkapan terduga teroris yang dikomandani CIA pada 2002. Untuk Indonesia, tulis laporan tersebut kembali menyebut keterlibatanKepala BIN saat itu, AM Hendropriyono dalam program ini.
Kiprah AM Hendropriyono
Abdul Makhmud Hendropriyono menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional dari 9 Agustus 2001 - 8 Desember 2004. Pria yang akrab disapa Hendropriyono itu merupakan putra pasangan Nurrina dan Raden Mas Wahyani Mangkuprabowo. Meskipun Nurrina berasal dari Kalimantan Selatan, tetapi ia bertemu jodoh dengan seorang ningrat dari Yogyakarta, kota kelahiran Hendropriyono. Namun, Hendropriyono justru menjalani pendidikan formal di Kota Jakarta.
Hendropriyono merupakan anak ketiga dari pasangan Nurrina-RM Wahyani Mangkuprabowo. Ada enam saudara kandung dari Hendropriyono, yakni Susetyo Prabowohadi (menikah dengan Endang Suheni, pasangan ini sudah meninggal, Endang meninggal pada 21 Maret 2013), Setioadji, Aryono Setyo Prabowo, Ratna Siti Sundari, Sri Haerulia Priswati dan Djati Nuswanto.
Dalam situs PT Rekayasa Industri (PT Rekind) yang berkantor di Jakarta terdapat nama Aryono Susetyo Prabowo, yang ikut hadir dalam penandatanganan memorandum kesepahaman (MoU) antara PT Rekind dan Iranian Offshore Engineering and Construction Company (IOEC) pada 15 November 2007. IOEC merupakan perusahaan konstruksi asal Iran. Dan si bungsu Djati Nuswanto kini bergabung dengan Hendropriyono Corporation Indonesia yang berlokasi di Gedung Artha Graha Jakarta.
Dari hasil pernikahannya dengan Endang Sari Hartati, Hendropriyono dikaruniai tiga anak. Mereka adalah Diah Erwiani Hendropriyono, Roni Hendropriyono dan Diaz Hendropriyono. Si sulung Diah Erwiani kemudian menikah dengan Andika Perkasa, perwira Kopassus yang kini berpangkat Brigjen dan menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI-AD.
Pasangan itu kemudian memperoleh buah hati bernama Wiratama Akbar Perkasa. Belakangan, nama Diaz dan Andika banyak diekspos media massa terkait ramainyapemberitaan seputar pilpres dan isu Babinsa. Panglima TNI Jenderal Moeldoko tampak berseberangan dengan rilis atas nama Brigjen Andika Perkasa dalam situs resmi TNI AD.
Dalam situs tertanggal 8 Juni 2014 itu, Brigjen Andika menulis institusi TNI AD sudah melakukan pengusutan dan menetapkan Koptu Rusfandi dan Kapten Saliman dari Koramil Gambir telah melakukan pelanggaran disiplin. Padahal, ketentuan pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bappilu). Bukan menjadi kewenangan TNI-AD.
Akibatnya, rilis yang diunggah Brigjen Andika dan ditulis ulang sejumlah media massa itu bisa menimbulkan penafsiran, Babinsa memang bersalah serta tak netral. Namun, hanya berselang dua jam setelah rilis itu, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menggelar jumpa pers dan menyatakan Bappilu telah menegaskan TNI masih netral.
Peneliti Center For Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS) Umar Abduhmenyatakan, masih ada hubungan kuat antara Hendropriyono dan Andika Perkasa (rmol.com, 10/6/2014). Namun, ketika diwawancara Gatranews (10/6/2014), Brigjen Andika enggan menanggapi soal hubungannya dengan AM Hendropriyono.
Para aktivis HAM di Indonesia tentu tidak akan pernah lupa pada aktivitas intelijen Hendropriyono sepanjang Orde Baru berkuasa. Khususnya dalam tragedi berdarah Talangsari, Lampung, pada 7 Februari 1989. Ketika itu, Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung.
Pembantaian di Talangsari itu tak bisa terliput media massa, karena akses ke lokasi seusai peristiwa sangat sulit. Para insan pers lebih diarahkan sesuai petunjuk Danrem saat itu, yang memberikan informasi sesuai selera penguasa. Keterangan Hendropriyono menjadi satu-satunya informasi tentang peristiwa Talangsari. Peristiwa itu membuat nama Hendropriyono justru melambung, naik pangkat jadi Brigjen dan ia masuk ke lingkungan Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI, menempati posisi sebagai Direktur D (penggalangan).
Hubungan Benny Moerdani dengan Hendropriyono tentu sangat akrab. Hal ini terungkap dari memoar politik Jusuf Wanandi berjudul ‘Menyibak Tabir Orde Baru’ (Februari 2014). Sekitar tahun 1993, menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 2-6 Desember 1993, Benny Moerdani diam-diam mendorong Hendropriyono dan Agum Gumelar agar mengawal Megawati supaya terpilih.
Baik Hendropriyono maupun Agum Gumelar sebenarnya harus mengikuti jalur komando di bawah Kepala Bais Mayjen Arie Sudewo. Namun entah mengapa, keduanya justru lebih mendengarkan instruksi Benny Moerdani. Brigjen Agum Gumelar yang pernah menjadi ajudan Ali Moertopo berada di Direktorat A (Keamanan Dalam Negeri) Bais, sedangkan pada saat yang sama Hendropriyono berada di Direktorat penggalangan.
Kerja tandem dua jenderal intelijen itu pun akhirnya terbukti berhasil mendorong Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI tahun 1993, menggulingkan Soerjadi yang didukung pemerintah. Para aktivis PDI waktu itu tak ada yang berani memprotes penggalangan yangdilakukan dua jenderal ini, termasuk ketika pemerintah kemudian menggelar kongres di Medan pada Juni 1996.
Di bawah pemerintahan Megawati (23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004), Hendropriyono kembali ke panggung politik. Ia ditunjuk sebagai kepala BIN. Selama masa pemerintahan Megawati ini, kelompok muslim acap gencar dicap sebagai ‘teroris’ dan ‘radikal’, meski tanpa bukti atau bukti minim. Berbagai sumber menyebutkan hubungan Hendropriyono dengan lembaga-lembaga intelijen Australia dan AS terjalin begitu erat dan dekat. Tukar menukar informasi intelijen berlangsung tanpa diketahui publik, hingga kemudian mencuat berbagai rekayasa penangkapan yang mengikutsertakan elemen-elemen lembaga intelijen asing, seperti CIA.
Dalam sebuah acara di Hotel Satelit Surabaya sekitar awal tahun 2004, almarhum Munir sudah mengungkapkan sinyalemennya tentang rekayasa-rekayasa ini, meski ia belum memberikan gambaran utuh tentang hal itu. Sayangnya, Cak Munir sudah tiada, sedangkan publik kini layak bertanya, dimana gerangan isi koper Cak Munir yang berisi dokumen-dokumen untuk bahan penulisan tesis itu? Jawabannya masih harus menunggu keseriusan pemerintah menuntaskan masalah pembunuhan Munir tersebut.
Umar Abduh: Dosa-Dosa Hendropriyono
Umar Abduh, Sekretaris Jenderal Centre for Democracy and Sosial Justive Studies (CeDSoS) mengingatkan kepada semua elemen masyarakat untuk berhati-hati dengan manuver yang tengah dimainkan mantan Kepala BIN, AM. Hendropriyono di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini.
Pasalnya, kata pengamat intelejen ini, bila tidak diantisipasi, maka tidak menutup kemungkinan dapat mengancam kedaulatan Indonesia.
Kata Umar menjelaskan, sejak menjabat Kepala BIN Hendropriyono sudah menggunakan menantunya yang masih berstatus sebagai perwira pasukan elit Sandhi Yudha Kopassul untuk memenuhi tujuan dan kepentingan operasi politik asing, salah satunya terkait dengan terorisme.
"Saat itu Resolusi DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa) Nomor 1373 tentang pemberantasan terorisme global yang ditandatangani Presiden Megawati pada 24 Oktober 2001," kata Umar dalam acara diskusi publik, di Dapur Selera, Jakarta Selatan, Selasa (10/6).
Kemudian, kata Umar Abduh, Hendropriyono menyuguhkan sandiwara dan manipulasi alur cerita pemberantasan terorisme. Hendropriyono memanipulasi aktor, figuran dalam drama kekerasan dan terorisme di Indonesia dengan target pemberhangusan Jama'ah Islamiyah.
Kejahatan yang diduga dilakukan oleh Hendropriyono itu, diungkapkannya dalam sebuah buku berjudul Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal (KIGIR).
Dalam operasi tersebut, Omar Farouq, Yassin Syawwal, Seyam Reda, dan Tengku Fauzi Hasbi Geudong diberi label pentolan teroris Jama'ah Islamiyah yang harus diburu, ditangkap dan dieksekusi.
Penyalahgunaan kekuasaan Hendro lainnya adalah operasi eliminasi Tengku Fauzi dan seluruh dokumen yang dimilikinya di Ambon pada 22 Februari 2003.
"Dua bulan kemudian Hendro dengan demonstratif memamerkan dukungannya terhadap Pesantren Ma'had Al Zaytun, yang merupakan pesantren sesat," bebernya.
Tidak sampai disitu, sambung Umar, di akhir jabatannya sebagai Kepala BIN, Hendro meninggalkan jabatan tanpa pamit sebulan menjelang pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada Oktober 2004.
"Pada momen itu dia juga mengevakuasi Kolonel AU Abdul Haris Doinny Brasco from Ciputat dengan menugaskannya sebagai sekretaris Kedubes RI di Yordania, sebelumnya dia mengevakuasi Andika Perkasa ke Amerika Serikat dengan cover cuti dinas untuk kuliah di Harvard Amerika hingga merai gelar MA MSc Phd," ungkapnya.
"Lima tahun cuti dinas dari Kopassus dan tanpa kabar tiba-tiba Andika Prakasa nongkrong di SUAD MABES AD dan empat tahun kemudian menjadi Danrem Kawal Sibolga Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel. Dan dua bulan setelah itu diangkat menjadi Kadispenad dengan pangkat Brigjend," tandasnya. [berbagaisumber/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!