Kamis, 7 Jumadil Awwal 1446 H / 18 April 2024 11:25 wib
7.193 views
Budaya Pakaian sebagai Cerminan Moral Suatu Bangsa
Oleh: Aily Natasya
Tentang budaya berpakaian di Indonesia, sudah sejak lama dan banyak sekali yang menyinggung soal orang Indonesia yang berpakaian dengan aturan Islam seperti gamis, kerudung, cadar, dan lain-lain. Orang-orang yang meributkan hal ini selalu saja menyalahkan umat Islam sebagai penghancur tradisi dan budaya, karena alih-alih berpakaian dengan adat yang sesuai dengan baju adat Indonesia, seperti contoh kebaya, umat Islam lebih suka memakai pakaian yang menonjolkan budaya Arab. Pilihan tersebut dianggap merusak moral bangsa dan budaya di Indonesia.
Busana adat Indonesia
Pertama-taman, mari kita ulik sedikit saja sejarah kebaya. Asal kata ‘Kebaya’ adalah ‘Abaya’ yang berarti jubah atau pakaian dalam bahasa Arab. Kemunculannya pun ada di sekitar abad ke-15 atau ke-16. Sejak dulu sekali, kita tahu bahwa bangsa Arab sering memberikan pengaruh budaya pada banyak sekali bangsa lain di luar Arab melalui perdagangan. Oleh sebab itu pakaian ‘Kebaya’ ini berakhir di Indonesia melalui Portugis, lalu diadopsi oleh rakyat Indonesia sebagai pakaian yang juga mereka kenakan, khususnya bagi acara-acara penting atau formal.
Jika konteksnya tidak ingin meniru bangsa Arab, maka kebaya tidak seharusnya dilestarikan. Karena bagaimana pun, kemunculan ‘Kebaya’ memiliki campur tangan dari berbagai bangsa, terutama Arab, yang merupakan inspirator utama.
Saat ini pakaian adat Indonesia yang benar-benar asli dari Indonesia sendiri berbeda-beda di setiap provinsi. Ada pun di zaman dahulu, sebelum baju kebaya masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia—khususnya tanah Jawa—berpakaian kemben jarik.
Ada juga pakaian dari Bali di zaman dulu, tepatnya pada tahun 1950-an, para pria dan wanita di Bali tidak memakai pakaian atasan, dengan kata lain, bertelanjang dada. Namun pakaian adat ini berakhir pada tahun 1990-an dan adat pakaian Bali pun berganti dengan pakaian adat yang kita kenal sekarang, yang lebih tertutup, sopan, dan pantas. Hal ini dimulai sejak Bali mulai banyak dikenal sebagai destinasi wisata dunia. Pada tahun 1848, pemerintah Kolonialisme Belanda di Buleleng mengeluarkan aturan bagi setiap wanita Bali agar mengenakan baju demi melindungi moral tentara Belanda yang ditugaskan di Bali. Setelah semua revolusi tersebut, para wanita yang dulunya jika tidak memakai pakaian atasan adalah normal, kini dianggap sebagai orang gunung yang tidak memiliki adab.
Dari paragraf-paragraf di atas, bisa kita simpulkan bahwa orang yang hanya menyalahkan syariat Islam sebagai perusak budaya sama sekali tidak belajar secara penuh perihal sejarah busana adat dan asal usul budaya di Indonesia. Atau bisa juga kita simpulkan bahwa orang tersebut aslinya Islamophobia, namun mengatasnamakan budaya Indonesia sebagai alasan untuk mengolok-olok orang-orang yang menjalankan perintah Islam. Toh, buktinya, banyak sekali bangsa yang ikut campur terhadap revolusi budaya kita, Indonesia. Perlu juga diingat bahwa negara kita merupakan negara yang pernah dijajah oleh banyak bangsa sehingga campur tangan revolusi terhadap budaya asli leluhur adalah mungkin.
Rusaknya budaya sekaligus moral di Indonesia era ini
Era globalisasi di Indonesia memiliki banyak sekali dampak, salah satunya perubahan budaya. Tanpa kita sadari, meski sudah merdeka dan sudah tidak dijajah oleh bangsa asing secara langsung, tanpa disadari bangsa ini masih terus dijajah secara akal, moral, dan budaya oleh bangsa asing.
Banyak sekali orang-orang sekarang, khususnya anak-anak muda yang terpengaruh gaya berpakaiannya, bahkan gaya hidupnya oleh budaya barat. Mengenakan tank-top misalnya, crop-top, pergi ke klub malam, mabuk-mabukan, berzina... bukankah hal tersebut sama sekali tidak mencerminkan moral dan budaya bangsa Indonesia? Apa yang akan leluhur kita katakan jika melihat generasi kita yang sudah terpengaruh oleh budaya dan moral yang rusak tersebut? Bukankah kerusakan moralitas yang seperti itu yang seharusnya disinggung?
Lantas bagaimana bisa ketika bangsa ini pelan-pelan sudah mulai memberanikan diri untuk membebaskan diri mereka untuk mengenakan pakaian yang semakin lama semakin terbuka (vulgar) dan dipertontonkan di khalayak umum dianggap sebagai kebebasan berekspresi dan fashion sedangkan umat Islam yang berpakaian sesuai perintah agamanya justru dipersalahkan? Bukankah ada yang salah dengan pemikiran yang semacam itu?
Tentang Moralitas
Jika berbicara soal moral, dan bagaimana sebuah pakaian bisa mempengaruhi moral seseorang, mari kita jabarkan definisi dari moral itu sendiri terlebih dahulu. Dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) moral berarti baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Maka dari itu, anggapan bahwa pakaian merefleksikan sikap bukanlah anggapan yang benar. Pakaian bisa dimanipulasi dengan berbagai macam cara demi menunjukkan berbagai macam kesan yang diinginkan, namun tidak dengan moral. Moral tidak bisa dimanipulasi. Ia adalah reaksi alami dari dalam diri manusia, yakni jiwa dan akal manusia. Baik akalnya, baik moralnya. Baik jiwanya, baik moralnya.
Jadi, pakaian bukanlah penentu moral seseorang. Pakaian juga tidak bisa merusak moral orang. Yang merusak moral adalah seseorang itu sendiri. Ada orang yang berpakaian sopan, rapi, berjas mahal, namun moralnya rusak karena serakah sehingga dapat menghalalkan cara demi memuaskan nafsu serakahnya. Ada juga orang yang berpakaian lusuh, berantakan, namun moralnya baik sperti memiliki rasa empati yang tinggi, suka menolong orang, dan berkata yang baik.
Tentang perintah Allah
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Tak bisa kita elakkan juga jika sebuah budaya, adat, dan tradisi tercipta bukan karena moral. Namun, moral suatu bangsa bisa saja berubah dan merevolusi budaya, ada dan tradisi bangsa tersebut. Dan yang paling harus diperhatikan, bahwa tidak semua budaya, adat dan tradisi itu baik. Tergantung moral bangsanya. Jika moral bangsa tersebut buruk, maka buruklah budaya, adat, dan tradisinya. Begitu pun sebaliknya. Jika moral bangsa tersebut baik, maka baiklah budaya, adat, dan tradisinya. Lalu, baik buruknya moral itu pun bergantung pada pengetahuan yang dipercayai dan diketahui oleh suatu bangsa. Maka jangan aneh jika ada bangsa yang memiliki tradisi A, namun bagi bangsa B tidak pantas. Karena pengetahuan serta kepercayaan yang dianut berbeda.
Mayoritas masyarakat di Indonesia adalah muslim. Bisa saja cara berpakaian kita berubah. Namun bukankah moral adalah hal yang paling utama dan yang paling dipermasalahkan sejak awal? Lalu, kerusakan moral yang seperti apa yang dimaksud dengan orang-orang yang hanya menuruti perintah agama? Tidak semua budaya yang diwariskan oleh leluhur kita itu baik. Kini, kita adalah manusia modern yang sudah memiliki pemikiran moral yang lebih luas. Jadi, bukankah seharusnya kita lebih bijak dalam menuduh suatu kaum sebagai perusak moral, padahal penjahat moral bangsa ini berasal dari bangsa lain. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!