Jum'at, 3 Jumadil Akhir 1446 H / 23 September 2022 11:03 wib
5.224 views
Simple Notes of UUD 1945 Post Amandement
Oleh: Abdurrahman Anton Minardi
(Assoc. Prof. & Advocate Lembaga Advokasi Umat ANSHORULLAH)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik Indonesia adalah sebagai Konstitusi Negara yang Inti falsafahnya adalah Pancasila.
UUD 1945 tidak boleh lepas dari rel Pancasila. Sedangkan Pancasila ini adalah merupakan consensus dari berbagai kepentingan dan tujuan bangsa.
Perkembangan zaman yang membutuhkan suatu amandemen UUD dapat dilakukan secara material maupun secara formil.
Amandemen secara material dilakukan dengan dasar adanya perkembangan di masyarakat yang membutuhkan payung hukum dalam konstitusi.
Secara formil karena perwakilan rakyat menyetujui adanya perubahan itu.
Akan tetapi saat ini realitas peluang amandemen UUD dipergunakan oleh pihak-pihak yang memiliki interest para pembawa ideologi asing dan atas nama investasi modal kapital. Sementara kepentingan dan tujuan mulia dari Pancasila terlupakan. Seperti kereta yang ke luar dari relnya pasti akan oleng bahkan terjungkal.
Amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Negara Hukum dan Tujuan Negara menjauh dari "Staat Fundamental Norm" yaitu nilai-nilai Pancasila.
Hasil penjabaran dari amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek politik dan hukum sementara tujuan negara "welfare state" tidak lagi menjadi prioritas. Yaitu kesejahteraan jasmaniah dan ruhaniah bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan sekedar sejahtera jasmaniah dan apalagi kesejahteraan itu justru bagi asing.
Beberapa contoh mendasar misalnya:
Pertama, liberalisme telah menelikung jiwa masyarakat Indonesia yang religious menjadi masyarakat yang liberal. Padahal Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berdasarkan demokrasi apalagi demokrasi liberal. Sebab demokrasi itu merupakan mekanisme dalam pengambilan keputusan saja bukan jiwa bangsa Indonesia. Pelaksanaan agama secara sempurna dijadikan sebagai bahan curiga dan dianggap seolah kontradiksi dengan tujuan Negara.
Kedua, Hak asasi manusia juga terkadang didengungkan dengan mengkerdilkan nilai Kemanusiaan itu sendiri dan melecehkan norma agama yang mengajarkan nilai-nilai Keberadaban manusia. Seperti pihak-pihak yang menyuarakan untuk diakuinya miras, transgender, kawin sesama jenis, LGBT, free sex dan aktivitas menyimpang lainnya.
Ketiga, Persatuan Indonesian hanya menjadi slogan karena ideologi kita dicoba untuk diliberalkan atau dikomuniskan. Sementara sumber daya alam kita sudah banyak yang dikuasai oleh pihak pendatang. Bahkan justru para penjaga persatuan dianggap sebagai perusak persatuan Indonesia. Keinginan untuk melaksanakan otonomi dalam melaksanakan agama dalam berbagai bidangnya secara modern dan secara bertanggungjawab sesuai hasil musyawarah justru dicurigai. Padahal justru dengan melaksanakan prinsip-prinsip agama itulah bangsa menjadi kuat dan bersatu tidak malah mengikuti arus asing.
Keempat, ayat 4 pada Pasal 33 yang mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. “Yang intinya menyebutkan ekonomi kekeluargaan yaitu Koperasi tetapi prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak berkesibambungan dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945.
Kelima, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada Presiden, DPR dan DPD.
MPR sebelumnya merupakan representasi kekuasaan dan kedaulatan rakyat, dengan hasil amandemen UUD tugas MPR hanya praksis melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, Struktur kekuasaan negara yang ada saat ini. MPR tugasnya hanya seremonial saja, setelah tugasnya melantik, kemudian tidak ada kegiatan dan kewenangan lainnya kecuali jika terjadi sesuatu yang amat sangat penting seperti impeachment presiden. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia akan sulit terjadi jika penentuan kebijakan ada di pihak-pihak pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang melenceng dari tujuan Negara kesejahteraan.
Keenam, Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan umum juga menunjukkan kontradiksi, di mana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat.
Padahal prinsip dasar kepemimpinan kita seharusnya adalah berdasarkan pada mengutamakan Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Ketujuh, banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan justru hanya menyesuaikan pada kepentingan partai, kelompok, dan justru banyak yang mengikuti arus ideologi asing.
Seharusnya Negara kita memiliki ciri khas hasil dari terjemah konstitusi asli yang sama-sama kita bangun atas dasar prinsip-prinsip keindonesiaan.
Begitu pula kriteria Pimpinan nasional kita yaitu presiden yang justru sudah diliberalkan. Ini sangat berbahaya, karena seharusnya pemimpin kita adalah yang asli penduduk Indonesia dan lahir di tanah air Indonesia. Bukan sekedar lahir nya saja tapi bukan keturunan asli.
Hal ini merupakan penjagaan keamanan dan pertahanan Negara, sebab jika tidak maka bisa jadi warga negara Indonesia yang asli akan menjadi kuli dan budak di negaranya sendiri bahkan tidak menutup kemungkinan suatu saat akan terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Apalagi bukti nyata hari ini tanah dan sekitar perairan beserta isinya sudah banyak dikuasai oleh para pendatang asing.
Belum lagi persoalan bangsa lainnya yang harus kita selesaikan dengan seksama.
Semoga menjadi bahkan renungan dan aksi kita bersama bangsa Indonesia agar menjadi Saksi bagi keselamatan dan kesejahteraan generasi setelah kita.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!