Jum'at, 3 Jumadil Akhir 1446 H / 22 Juli 2022 21:29 wib
6.071 views
Sudah Bisakah Brigadir J Disebut Korban “Pembunuhan”?
Oleh:
Asyari Usman || Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik
SEJAK persitiwa terjadi, tidak ada yang menggunakan kata “pembunuhan” untuk menyebut kematian Brigadir J. Media dan para wartawan sangat hati-hati. Begitu pula netizen di media sosial.
Ini bisa dipahami karena orang takut terjerat pasal-pasal pidana jika terminologi “tembak-menembak” atau “baku tembak” yang digunakan Polri dalam keterbunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo –Kadiv Propam non-aktif— diubah menjadi “pembunuhan”. Sebab, pembunuhan bisa bermakna bahwa Brigadir J bukan tewas karena baku tembak.
Pembunuhan akan, antara lain, mengesankan bahwa Brigadir J tidak bersenjata. Atau, bisa juga ada kesan bahwa Brigadir J bersenjata tetapi dia menghadapi lawan lebih dari satu orang yang semuanya melepaskan tembakan ke arah dirinya.
Kepolisian sejak awal ingin menghindarkan sebutan “pembunuhan Brigadir J”. Ini dapat dimengerti. Karena “pembunuhan” berimplikasi bahwa si korban berada dalam posisi “tak berdaya” baik dari sisi posisi, senjata, jumlah lawan, dlsb.
Nah, bagaimanakah suasana yang dihadapi Brigadir J ketika “tembak-menembak” atau “baku tembak” itu terjadi? Berdasarkan penjelasan resmi Kepolisian, Brigadir J berada di tengah banyak “musuh”.
Isteri Ferdy Sambo, yaitu Putri Candrawathi, adalah “musuh” pertama Brigadir J. Dari dialah keluar teriakan histeris minta tolong yang mengawali “baku tembak”.
Setelah itu, Bharada E tampil menjadi “musuh” berikutnya. Dia turun dari lantai atas rumah dinas untuk “menyelamatkan” istri Ferdy yang dikatakan Polisi sempat ditodong dengan senjata (pistol) oleh Brigadir J. Polisi juga mengatakan Brigadir J melakukan pelecehan terhadap Putri.
Todongan senjata dan pelecehan itu otomatis menjadikan Ferdy Sambo sebagai “musuh” Brigadir J juga walaupun, seperti kata Polisi, Pak Kadiv tidak berada di rumahnya ketika peristiwa terjadi. Sebagai suami Putri, tentulah wajar –bahkan wajib— bagi Ferdy menunjukkan keberatannya, ketersinggungannya.
Selanjutnya, “musuh” berikutnya adalah senjata api (senpi) yang digunakan Bhadara E, yaitu Glock 17 yang berpeluru 17. Seorang pengamat senjata mengatakan pistol jenis ini termasuk senjata tempur untuk membunuh. Artinya, senpi ini sangat ‘powerful’. Saat ini sedang menjadi polemik apakah, dan mengapa, Bharada E boleh menggunakan Glock 17. Padahal, sesuai aturan, pistol ini untuk perwira yang berpangkap AKP ke atas.
Ada lagi “musuh” Brigadir J, yaitu lokasi tempat dia tewas. Rumah perwira tinggi, konon pula rumah dinas Kadiv Propam, adalah salah satu kediaman yang paling ketat pengamanannya di kalangan Kepolisian. Di situ banyak polisi yang berjaga. Banyak kamera CCTV yang juga “musuh” Brigadir J.
Sedekat apa pun Brigadir J dengan keluarga Ferdy, tetap saja rumah dinas beliau ini menjadi “musuh” bagi si ajudan. Sebab, bagaimanapun juga, Sang Brigadir sedang berada di rumah Jenderal. Brigadir J pastilah punya rasa lebih lemah dibandingkan rasa sangat kuat di pihak Ferdy Sambo. Brigadir J berada di tempat yang asing baginya meskipun para penguninya begitu dekat dengan dia.
Jadi, banyak sekali “musuh” Brigadir J. Boleh dikatakan semuanya “musuh”. Dan dia menghadapi situasi itu sendirian. Tidak mungkinlah bisa menang atau selamat.
Dari sini, kematian Brigadir J dalam terminologi “baku tembak” atau “tembak-menembak”, tidak lagi memiliki landasan etimologi dan kriminologi yang kuat. Pencermatan psikologi sosial menunjukkan publik menghendaki agar kematian ini disebut sebagai “pembunuhan”. Apakah itu “pembunuhan berencana” seperti dicurigai tim kuasa hukum Brigadir J, atau “bukan pembunuhan berencana”, masih harus dibuktikan oleh tim penyidik.
Tulisan ini hanya bertujuan untuk bertanya apakah kematian Brigadir J yang berada di tengah banyak musuh itu, yang berada dalam posisi serbah lemah dari berbagai sudut tinajauan di atas tadi, tidak bisa disebut sebagai “pembunuhan”?
Apakah kita, khususnya media massa, masih akan mengikuti narasi Kepolisian yang menyebut Brigadir J tewas dalam tembak-menembak, atau sudahkah saatnya menggunakan kata “pembunuhan”?
Ini sangat penting mengingat intuisi publik yang bisa diamati dari komentar-komentar di media sosial dan thread komentar media besar (mainstream). Sekali lagi, masyarakat yakin Brigadir J adalah korban pembunuhan.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!