Jum'at, 3 Jumadil Akhir 1446 H / 8 Juli 2022 12:50 wib
6.711 views
Puasa Sembilan Hari Awal Hari Dzulhijjah
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.*
Di antara amal shalih yang sangat dianjurkan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah yaitu puasa pada sembilan hari awal Zhulhijjah yaitu mulai dari tanggal 1 Dzulhijjah sampai 9 Zhulhijjah atau pada sebahagiannya, terutama pada hari ke sembilannya yaitu hari 'Arafah.
Pada hari-hari tersebut disunnatkan melakukan amal shalih, termasuk puasa, berdasarkan keumuman hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hari-hari di mana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari ini, yaitu sepuluh hari (awal Dzulhijjah). Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?". Beliau menjawab, "Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun (mati syahid)." (HR. Al-Bukhari, At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Daud).
Hadits di atas menjadi dalil disunnatkannya puasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, karena puasa termasuk amal shalih. Ini dalil secara umum.
Adapun dalil secara khusus disunnatkannya puasa sembilan hari awal Dzulhijjjah yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebahagian istri Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada sembilan hari (awal) dari bulan Dzulhijjah, hari 'Asyura, dan tiga hari setiap bulannya yaitu awal Senin dan Kamis." (HR. Abu Daud)". Dalam riwayat lain, "Dan dua Kamis." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)
Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan oleh Hafshah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu puasa hari 'Asyura, puasa sepuluh hari (awal) bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari dari setiap bulan (Hijriah), dan shalat dua rakaat (fajar) sebelum (shalat) shubuh"Hafshah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu puasa hari 'Asyura, puasa sepuluh hari (awal) bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari dari setiap bulan (Hijriah), dan shalat dua rakaat (fajar) sebelum (shalat) shubuh" (HR. Ahmad dan An-Nasa'i).
Kedua hadits di atas menunjukkan atas disunnatkannya berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.
Puasa 'Arafah
Puasa yang paling utama pada hari-hari sembilan awal Dzulhijjah adalah puasa 'Arafah. Puasa ini disunnatkan bagi orang yang tidak berhaji.
Adapun keutamaan puasa 'Arafah adalah menghapus dosa dua tahun sekaligus yaitu setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, berdasarkan hadits-hadits shahih yaitu:
Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasa pada hari 'Arafah karena mengharap pahala dari Allah menghapus dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya”. (HR. Muslim dan At-Tirmizi)
Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Puasa hari 'Arafah menghapus dua tahun (yaitu) yang lalu dan yang akan datang. Puasa 'Asyura menghapus setahun yang lalu." (HR. Al-Jama'ah kecuali Al-Bukhari dan At-Tirmizi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hari yang paling banyak dibebaskan oleh Allah ta'ala hamba dari api neraka dari hari 'Arafah." (HR. Muslim).
Disunnatkan berpuasa pada hari 'Arafah bagi yang tidak berhaji. Adapun bagi orang yang berhaji di 'Arafah, dilarang (makruh) berpuasa berdasarkan hadits-hadits shahih di antaranya yaitu:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi saw melarang puasa hari 'Arafah di 'Arafah. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang puasa 'Arafah di Arafah. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, dan dishahihkan oleh keduanya).
Orang yang berhaji di 'Arafah disunnatkan untuk tidak berpuasa berdasarkan hadits-hadits shahih di antaranya yaitu:
Dari ummul Fadhl radhiyallah 'anha, ia berkata, "Orang-orang ragu pada puasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari 'Arafah, maka ia mengirim susu kepada Rasulullah, maka beliau minum, sedangkan beliau dalam keadaan berkhutbah di 'Arafah." (Muttafaqun 'alaih).
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka puasa di 'Arafah, dan ummu Fadhal mengirim kepadanya susu, maka beliau minum. (HR. At-Tirmizi).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: "Aku berhaji bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam namun beliau tidak berpuasa yakni hari 'Arafah, bersama Abu Bakar namun beliau tidak berpuasa, bersama Umar, namun beliau tidak berpuasa, bersama Usman namun beliau tidak berpuasa." (HR. At-Tirmizi).
Dari Uqbah bin 'Amir radhiyallahu "anhu ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Hari 'Arafah, hari Nahr, dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya kita orang-orang Islam yaitu hari makan dan minum." (HR. Al-Khamsah kecuali Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh At-Tirmizi).
Puasa Merupakan Amalan Yang Utama
Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah amalan yang utama, karena memiki banyak keutamaan, antara lain puasa merupakan amalan yang dipilih Allah ta'ala untuk diri-Nya.
Disebutkan dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah ta'ala berfirman, "Setiap amalan manusia itu untuknya kecuali puasa, karena puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku“. (HR. Al-Bukhari, Musliim, At-Tirmizi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad)."
Selain itu, puasa merupakan amalan yang dapat menjauhkan seorang hamba dari api neraka. sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Said Al-Khuduri radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun“. (Muttafaqun ‘Alaih).
Puasa merupakan amalan yang memasukkan ke dalam surga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya surga memiliki sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan. Ditanya pada hari Kiamat, "Di mana orang-orang yang berpuasa?. Apabila orang terakhir dari mereka masuk, maka ditutup pintu itu." (Muttafaqun 'alaih).
Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, maka aku berkata, "Perintahkan kepadaku suatu amalan yang memasukkan aku ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Hendaklah kamu berpuasa, karena sesungguhnya puasa tidak ada yang sebanding dengannya." Kemudian aku mendatangi lagi. Maka beliau bersabda, "Hendaklah kamu berpuasa." (HR. Ahmad, An-Nasa'i, dan Al-Hakim, ia menshahihkannya).
Pendapat Para Ulama Mengenai Sunnatnya Puasa Sembilan Hari Awal Zhulhijjah
Mengenai keutamaan sepuluh pertama awal Dzulhijjah dalam hadits Ibnu Abbas di atas, imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Sunannya dan memberi judul bab dengan "Bab Puasa Sepuluh Hari (Awal Zhulhijjah). Lalu di dijelaskan oleh Imam As-Sindi maksudnya disebut sepuluh secara umum, karena hari ke sepuluh Zhulhijjah tidak boleh berpuasa padanya. (Syarah Sunan Ibnu Majah karangan As-Sindi: 2/338).
Hal yang sama juga dilakukan oleh imam At-Tirmizi. Ia meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Sunannya dan memberi judul bab dengan "Bab Apa Yang Datang Dalam Amalan Pada Hari-Hari Sepuluh (Awal Zhulhijjah). Lalu beliau meriwayatkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengenai keutamaan amalan pada hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah. (Sunan At-Tirmizi: 171).
Imam Abu Daud rahimahullah menuliskan judul bab hadits dengan "Bab Dalam Puasa Sepuluh hari (awal Dzulhijjah). Lalu beliau meriwayatkan hadits Hunaidah bin Khalid mengenai puasa Nabi shallahu 'alaihi wasallam pada sembilan hari (awal) Dzulhijjah dan hadits Ibnu Abbas tersebut di atas. (Sunan Abu Daud: 429)
Begitu pula imam An-Nawawi rahimahullah menulis judul bab hadits ini dalam kitabnya Riyadhush Shalihin dengan “Bab: Keutamaan Puasa dan lainnya pada Sepuluh Hari Awal Dzulhijjah”, lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas tersebut mengenai keutamaan amal shalih pada hari-hari sepuluh (awal) Dzulhijjah. (Riyadhus Shalihin: 446).
Imam Asy-Syaukani rahimahullah juga menulis salah satu judul bab hadits dari bab-bab puasa dengan "Bab Puasa Sepuluh Hari (Awal) Zhulhijjah Terutama Hari 'Arafah Bagi selain Orang Yang Berhaji". Lalu beliau menyebutkan hadits Hafshah mengenai puasa Nabi shallahu 'alaihi pada sepuluh hari (awal) Dzulhijjah yang tidak pernah ditinggalkan dan hadits Qatadah mengenai keutamaan puasa 'Arafah serta hadits Abu Hurairah mengenai larangan berpuasa hari Arafah bagi orang berhaji di 'Arafah. (Nailul Awthar: 4/255).
Dalam kajian ilmu hadits, judul bab dalam kitab-kiitab hadits para ulama menunjukkan pendapat atau fiqh penulis kitab-kitab tersebut. Kebanyakan para ulama hadits menulis judul bab dalam kitab-kitab hadits mereka sesuai dengan teks hadits dan pemahaman (Fqh) mereka terhadap hadits tersebut.
Dalam kitabnya Al-Majmu', Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan puasa-puasa sunnat di antaranya puasa sembilan hari (awal) Zhulhijjah. Beliau berkata, "Dan di antara yang disunnatkan adalah puasa hari-hari sembilan awal Zhulhijjah." (Al-Majmu' Syarhu Al-Muhazzab: 6/356). Lalu Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalilnya yaitu hadits Ibnu Abbas dan hadits Hunaidah bin Khalid. Keduanya tersebut di atas. (Al-Majmu' Syarhu Al-Muhazzab: 6/357).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, "Dan telah diriwayatkan mengenai kekhususan puasa pada hari-harinya dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah serta memperbanyak zikir padanya disebutkan dalam hadits-hadits yang patut disebutkan karena shahih, bukan yang tidak patut disebutkan karena tidak shahih." (Lathaif Al-Ma'arif: 328).
Beliau juga berkata, "Di antara orang yang berpuasa sepuluh hari (awal) Zhulhijjah adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu. Telah berlalu penyebutan keutamaan puasanya dari Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Qatadah. Inilah pendapat mayoritas atau kebanyakan ulama." (Lathaif Al-Ma'arif: 338).
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Telah berlalu dalam kitab "Dua Hari Raya" hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan amalan pada sepuluh hari (awal) Dzulhijjah secara umum, dan puasa termasuk dalamnya." (Nailul Awthar: 4/256).
Dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah menjelaskan puasa-puasa sunnat, di antaranya "Puasa sepuluh hari awal Dzulhijjah, terutama puasa 'Arafah bagi orang yang tidak berhaji." Lalu beliau menyebutkan dalilnya yaitu hadits Hafshah di atas dan hadits-hadits mengenai puasa 'Arafah." (Fiqhus Sunnah: 1/316).
Hal yang sama disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syarhu Al-Mumti' 'ala Zadi Al-Mustaqnii' ketika menjelaskan perkataan penulis kitab Zadul Mustaqni', "Perkataan (penulis kitab Zadul Mutaqni'): "Dan sembilan hari (awal) Dzulhijjah" yaitu disunnatkan puasa sembilan hari (awal) Dzulhijjah. Sembilan hati (awal) Dzulhijjah mulai dari hari pertama Dzhulhijjah dan berakhir dengan hari ke sembilan yaitu hari 'Arafah. Dalil disunnatkannya adalah sabda Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada hari-hari di mana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah) ini." (HR. Al-Bukhari, Abu Daud An-Nasa', dan Ibnu Majah), dan puasa itu termasuk amal shalih.' (Asy-Syarhu Al-Mumti' 'ala Zadi Al-Mustaqnii': 6/469).
Syaikk Al-Utsaimin rahimahullah juga berkata, "Kami memiliki hujjah dengan hadits shahih yang umum "Tidak ada hari-hari di mana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah) ini." (HR. Al-Bukhari, Abu Daud An-Nasa', dan Ibnu Majah). Maka amal shalih pada hari-hari sepuluh (awal) Zhulhijjah di antaranya puasa paling dicintai oleh Allah ta'ala dari amal shalih pada sepuluh terakhir Ramadhan. Meskipun demikian, pada sepuluh (awal) Zhulhijjah, orang-orang lalai darinya, hari-hari ini berlalu sedangkan orang-orang seperti kebiasaan mereka, tidak bertambah dalam membaca Al-Qur'an, tidak pula dalam ibadah yang lain, bahkan takbirpun sebahagian mereka pelit." ((Asy-Syarhu Al-Mumti' 'ala Zadi Al-Mustaqnii': 6/470).
Begitu pula pendapat syaikh Wahbah Az-Zuhaili hafizahullah di dalam kitabnya Al-Fiqhu Asy-Syafi'i Al-Muyassar. Beliau berkata, "Puasa Sunnah ada tiga macam. Pertama, puasa tahunan, seperti puasa 'Arafah bagi selain orang yang berhaji dan musafir, puasa sepuluh hari pertama bulan Zhulhijjah, puasa 'Asyura (tanggal 10 Muharram) dan Tasu'a (tanggal 9 Muharram)" (Fiqih Imam Syafi'i (terjemahan): 1/507).
Dalam kitabnya Fiqhul Ibadah bi adillatiha fil Islam, Syaikh Hasan Ayyub mengatakan bahwa puasa sembilan hari dari bulan Zhulhijjah termasuk puasa-puasa yang disunnatkan. Beliau menuturkan, "Hadits-hadits yang menganjurkan untuk berbuat amal shalih secara mutllak (secara umum) dan keutamaannya pada sepuluh (awal) Dzulhijjah itu shahih, maka puasa masuk dalam kandungannya." Lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas di atas. (Fiqhul Ibadah bi adillatiha fil Islam: 429-430).
Para penulis kitab Al-Fiqhu Al-Muyassar menyebutkan bahwa puasa sembilan hari awal Dzulhijjah termasuk puasa-puasa sunnat,. Mereka berkata, "Di antara puasa sunnat yaitu puasa sembilan Zhulhijjah, mulai dari hari pertama Dzulhijjah dan berakhir pada hati ke sembilan yaitu hati 'Arafah. Hal itu karena keumuman hadits-hadits yang datang dalam keutamaan amal shalih padanya. Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ""Tidak ada hari-hari di mana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah) ini." (HR. Al-Bukhari), dan puasa itu termasuk amal shalih.' (Al-Fiqhu Al-Muyassar: 165).
Dalam kitabnya Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi rahimahullah menyebutkan macam-macam puasa sunnat, di antaranya puasa sepuluh awal dari bulan Dzulhijjah. Lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu. (Minhajul Muslim: 387).
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah menjelaskan puasa-puasa sunnat dalam kitabnya Fiqhush Shiyam di antara puasa sembilan hari awal Zhulhijjah. Beliau berkata, "Puasa pada hari-hari sepuluh (awal Zhulhijjah) ini termasuk taqarrub (mendekatkan diri) keoada Rabbnya (kecuali hari ke sepuluh yaitu hari Raya, maka hukumnya haram dengan yakin). Yang paling utama dari hari-hari tersebut adalah hari ke sembilan. yaitu hari 'Arafah, hari di mana seorang yang berhaji berwukuf dalam keadaan kusut dan berdebu, dengan pakai ihram yang menyerupai kain orang mati, menanggalkan pakaian karena Allah, menyambut panggilan-Nya, dan merendahkan diri kepada-Nya." (Fiqhush Shiyam: 123).
Penjelasan Ulama Terhadap Hadits Aisyah Yang Menafikan Puasa Sepuluh Hari Awal Dzulhijjah
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah)." (HR. Muslim).
Dalam riwayat yang lain darinya, "Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidak berpuasa pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah). (HR. Muslim)
Zhahir kedua hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijjah.
Kedua hadits di atas bertentangan dengan hadits Hafshah dan hadits Hunaidah bin Khalid di atas yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijjah.
Para ulama telah membetikan solusi dan jawaban terhadap persoalan ini. Di antara mereka adalah:
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, "Adapun hadits Aisyah ia berkata, "Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah)." Dalam riwayat yang lain, "Tidak berpuasa sepuluh hari (awal Dzulhijjah), maka para ulama berkata, "Hadit itu dimaknai bahwa dia (Aisyah) tidak melihatnya, dan tidak mesti meninggalkannya dalam hal yang sama. Karena, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah Aisyah pada satu dari sembilan hari. Adapun sisanya berada pada ummahatul mukimnin (istri-istri Nabi) yang lain radhiyallahu 'anhunna. Atau barangkali beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebahagiannya pada sebahagian waktu, dan berpuasa seluruhnya pada sebahagian waktu lainnya, dan meninggalkannya karena ada halangan perjalanan atau sakit atau lainnya. Dengan ini, dikompromikan di antara hadits-hadits." (Al-Majmu' syarhu Al-Muhazzab: 6/357-358).
Imam An-Nawawi juga berkata, "Para ulama berkata, "hadits ini memberi pemahaman yang salah makruhnya berpuasa sepuluh hari awal Dzulhijjah. Yang dimaksud dengan sepuluh hari di sini adalah hari-hari yang sembilan awal Dzulhijjah." Mereka berkata, "Ini perlu ditak'wiil. Maka tidak ada makruh dalam puasa sembilan hari ini, bahkan sunnat yang sangan dianjurkan terutama hari ke sembilan darinya yaitu hari 'Arafah." (Syarah Shahih Muslim: 8/312).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Adapun puasa sepuluh hari awal Dzulhijjah, telah diperselisihkan puasa padanya. Aisyah radhiyallahu anha berkata, "Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah)." Disebutkan oleh Muslim.
Hafshah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu puasa hari 'Asyura, puasa sepuluh hari (awal) bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari dari setiap bulan (Hijriah), dan dua rakaat fajar". Disebutkan oleh imam Ahmad rahimahullah. Dan Imam Ahmad menyebutkan imam Ahmad dari sebahagian istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, beruasa hari 'Asyura, dan tiga hari dalam sebulan, atau Senin dan Kamis dari bulan itu, dalam lafazh lain "dua Kamis". Dan hadits yang menetapkan itu lebih didahulukan atas hafits yang menafikan jika shahih." (Zadul Ma'ad: 2/65-66).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Dalam Shahih Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha berkata, "Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sepuluh hari (awal Dzulhijjah)." Dalam riwayat lain, "pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah)." Imam Ahmad telah berbeda dalam menjawab hadits ini. Beliau pernah sekali waktu menjawab bahwa telah diriwayatkan hadits yang berbeda dengannya, dan beliau menyebutkan hadits Habshah. Beliau mengisyaratkan bahwa hadits Aisyah diperselisihkan dalam sanadnya. Al-A'masy menyebutkan sanadnya. Abu Manshur meriwayatkannya dari Ibrahim secara mursal. Demikian pula jawaban dari para ulama lainnya bahwa jika Aisyah dan Hafshah berbeda dalam menafikan dan menetapkan, maka diambil perkataan yang menetapkan, karena bersamanya ada pengetahuan tersembunyi atas yang menafikan. Imam Ahmad menjawab sekali lagi (pada waktu lainnya) bahwa Aisyah bermaksud bahwa beliau (Nabi) tidak berpuasa sepuluh hari secara penuh, dan Hafshah bermaksud bahwa beliau berpuasa kebanyakannya, maka sepatutnya berpuasa sebahagian harinya dan tidak berpuasa pada sebahagian hari lainnya. Dan kompromi ini benar dalam riwayat orang yang meriwayatkan "Aku tidak melihatnya berpuasa sepuluh hari (awal Dzulhijjah)". Adapun orang yang meriwayatkan "Aku tidak melihatnya berpuasa pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah), maka sulit mengkompromikannya. Ibnu Sirin membenci dikatakan puasa sepuluh hari, karena memberikan pemahaman yang salah masuk hari Nahr padanya, akan tetapi yang benar dikatakan puasa sembilan hari, akan tetapi puasa jika disandarkan kepada sepuluh, maka maksudnya puasa yang dibolehkan padanya." (Lathaif Al-Ma'arif: 338-339).
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Adapun apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah bahwa ia berkata, "Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari (awal Dzulhijjah)." dan dalam riwayat lain, "Tidak berpuasa sepuluh hari (awal Dzulhijjah)", maka para ulama berkata, "Maksudnya beliau tidak berpuasa sepuluh hari (awal Dzulhijjah karena ada halangan sakit atau perjalanan atau lainnya. Atau tidak melihatnya Aisyah beliau berpuasa tidak mengharuskan tidak berpuasa. Berdasarkan hadits Nabi shahih yang menunjukkan disyariatkannya puasa hari-hari tersebut sebagaimana dalam hadits bab, maka tidak melakukannya itu bukan suatu hal yang tercela." (Nailul Awthar: 4/256)
Demikianlah keutamaan berpuasa sembilan hari awal Dzulhijjah dan puasa Arafah. Oleh karena itu, hendakknya kita berpuasa pada hari-hari itu semuanya, atau sebahagiannya, terutama pada hari ke sembilannya yaitu hari 'Arafah karena ini hari yang paling utama dari sembilan hari-hari tersebut. Semoga kita dapat meraih keutamaan ini. Amin...!
*) Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!