Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Mei 2019 20:27 wib
6.901 views
Metode Shahih Pemilihan Pemimpin dalam Islam, Adakah?
Oleh : Djumriah Lina Johan*
Aksi menolak hasil penghitungan rekapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga kini masih berlanjut. Fakta euforia camut marut pemilu 2019 di seluruh Indonesia ini, dimulai dengan aksi damai di depan Bawaslu Jakarta di Jl. MH. Thamrin pada Senin 21 – 22 Mei yang berakhir ricuh karena terdapat perusuh bayaran hingga syahidnya 8 orang dan terdapat 737 korban luka-luka. (detiknews, 23/5/2019)
Disadur dari rmol.id, pada Rabu (22/5/2019) para ulama dan kiai ormas NU kultural se-Jawa Timur merasa prihatin atas korban berjatuhan dalam kerusuhan di Jakarta. “Kami berpandangan bahwa tragedi dan kegaduhan ini adalah akumulasi dari proses pelaksanaan pemilu yang diduga tidak memenuhi asas luber dan jurdil,” kata Kiai Ahmad.
Maka pantaslah penulis bertanya apakah benar demokrasi adalah jalan yang benar untuk melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab, jujur, adil, dan kapabel untuk menjadi seorang pemimpin? Atau justru ada jalan lain yang dengannya mampu melahirkan bibit-bibit unggul calon pemimpin dunia akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. An Nisa : 59)
Dalam terminologi ummat Islam, pemimpin tertinggi memiliki beberapa istilah penyebutan seperti imam, Khalifah, amir, dan ulil amri. Dalam Islam, pemimpin mengemban amanah dan tugas yang sangat strategis. Di samping sebagai pemimpin negara, ia juga menjadi pemimpin spiritual bagi rakyatnya. Sebab kebijakan negara atau politik harus mengacu pada ajaran agama. Negara dan agama tidak bisa dipisah-pisahkan. Keduanya harus berjalan seiring dan seirama.
Di dalam sebuah kitab berjudul Konsep Kepemimpinan Dalam Islam dengan judul asli Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahl as Sunnah wa al Jama’ah (1987) karya Prof. Dr. Abdullah Ad Dumaiji, seorang guru besar di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Ummul Qura, Mekkah. Dipaparkan secara gamblang tentang seluk beluk pemimpin dalam Islam mulai dari hukum imamah, tujuan imamah, ahlul halli wal ‘aqdi, hak dan kewajiban imam, pemakzulan imam, dan lain sebagainya.
Pertama, definisi imamah. Al Allamah Ibnu Khaldun mendefinisikan Imamah adalah mengatur seluruh ummat berdasarkan pandangan syariat dalam mewujudkan maslahat-maslahat mereka, yang bersifat akhirat dan duniawi yang akan kembali kepada akhirat. Sebab, menurut syari’ (pembuat syariat), penilaian atas semua permasalahan dunia dikembalikan pada maslahat-maslahat akhirat. Pada hakikatnya, ia (imamah) adalah pengganti dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan menata dunia dengan agama.
Terkait penyebutannya, Imam An Nawawi menjelaskan, “Seorang imam boleh disebut Khalifah, imam, dan amirul mukminin”. Disebut imam karena menaatinya adalah kewajiban. Alasan lainnya karena ummat mengikuti di belakangnya sebagaimana ummat shalat di belakang seorang iamam yang mengimami mereka. Para Khalifah adalah orang yang menjadi imam shalat, khususnya shalat berjamaah dan shalat ‘id.
Kedua, kewajiban mengangkat imam. Mayoritas kaum muslimin menyepakati mengangkat seorang imam. Dalilnya terdapat di dalam al qur’an, as sunnah, ‘ijma, maupun kaidah syar’i.
Dalil al qur’an, yaitu QS. An Nisa ayat 59, Al Maidah ayat 48-49, Al Hadid ayat 25, dan seluruh ayat tentang hudud, qishas, dan hukum-hukum lain yang pelaksanaannya mengharuskan adanya seorang imam.
Dalil as sunnah, yaitu hadits riwayat Abdullah bin Umar dari Nabi saw, beliau bersabda, “Siapa saja yang meninggal dunia sementara di lehernya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah.”
Hadits lain yaitu hadits riwayat Abu Umamah Al Bahili, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Sungguh, tali Islam akan terburai seutas demi seutas. Setiap kali seutas tali terburai, orang-orang berpegangan pada tali berikutnya. Tali yang pertama kali terburai adalah kekuasaan, dan tali terakhir adalah shalat.”
Dan masih banyak lagi dalil as sunnah yang lain tentang kewajiban mengangkat imam.
Ketiga, tujuan imamah. Tujuan imamah ialah menegakkan perintah Allah swt di muka bumi sesuai yang Allah syariatkan dan amar makruf nahi munkar. (QS. Al Hajj : 41)
Keempat, sistem pengukuhan imamah. Ketika mengamati nash-nash al qur’an dan as sunnah, kita tidak akan mendapati adanya penjelasan secara sharih (tegas) sostem untuk menetapkan imamah bagi seorang imam. Oleh karena itu, sistem pengukuhan syar’i dapat ditelusuri dari pengangkatan Khulafaur Rasyidin.
Kelima, metode pengangkatan imamah. Pemilihan imam dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah sekelompok orang dengan tingkatan tertentu dalam agama, akhlak, pengetahuan akan kondisi masyarakat, dan memiliki kecakapan mengatur segala persoalan. Sebagian ulama mendefinisikan ahlul halli wal ‘aqdi sebagai ulama, pemimpin, para tokoh yang mudah berkumpul.
Syarat-syarat ahlul halli wal ‘aqdi ada dua, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum meliputi beragama Islam, berakal, laki-laki, dan merdeka. Syarat khusus meliputi adil, berilmu, memiliki pandangan lurus dan bijaksana.
Tugas ahlul halli wal ‘aqdi ada dua. Pertama, memilih dan membaiat Khalifah. Kedua, menyeleksi para calon yang diajukan untuk memegang imamah.
Keenam, baiat. Baiat adalah janji yang diberikan kepada orang yang berbaiat untuk mendengar dan taat kepada amir dalam segala hal di luar kemaksiatan, baik saat giat ataupun segan, saat susah maupun senang, tidak merebut kekuasaan dari tangan amir dan menyerahkan segala urusan kepadanya.
Pihak yang berwenang mengambil baiat kaum muslimin adalah imam di tengah-tengah daulah Islam. Tata cara baiat, yaitu dengan berjabat tangan dan ucapan, ucapan saja, dan tulisan. Baiat ada dua macam, yaitu baiat pengukuhan dan baiat ketaatan (baiat massal).
Ketujuh, syarat-syarat imam. Syarat in’iqad (syarat legal), yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Syarat afdhaliyyah (syarat utama), yaitu keturunan Quraisy, mujtahid, ahli menggunakan senjata, dan lainnya.
Demikianlah konsep kepemimpinan dalam Islam. Sederhana, murah (low budget), dan mudah. Sangat berkebalikan dengan pemilu dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, tidakkah anda menginginkan konsep kepemimpinan ini? Wallahu a’lam bi ash shawab. (rf/voa-islam.com)
Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Aktifis Muslimah.
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!