Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Februari 2019 11:42 wib
5.100 views
Menyikapi Tulisan Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?
Oleh
Rahmi Surainah, M.Pd, warga Kaltim
NKRI bersyariah atau ruang publik yang manusiawi? Merupakan judul esai yang ditulis oleh Deny JA, Ph.D. Diawal pengantar tulisan disampaikan gaung NKRI bersyariah disuarakan oleh Habib Riziek Shihab ketika memulai aksi 212 tahun 2016 dan diperkuat lagi saat reuni 212.
Sebenarnya gaung Syariah Islam ini sudah lama disuarakan, sejak kemerdekaan Indonesia. Tercetus dalam sila pertama bahwa kewajiban menerapkan syariah Islam, namun batal karena toleransi atau keputusan final dari pemimpin saat itu. Ahli sejarah atau fakta hidup di masanya lebih tahu mengapa sila pertama akhirnya diubah.
Bagaimana sikap kita atas seruan NKRI bersyariah itu?
Deny JA menantang agar Habib Riziek mendetailkan proposalnya dalam 2 tahap. Pertama, perlu mengoperasionalkan apa yang dimaksud dengan NKRI bersyariah. Sangat perlu diturunkan dan diterjemahkan nilai bersyariah itu dalam index yang terukur. Kedua, setelah menjadi index yang terukur diuji index itu dengan melihat dunia berdasarkan data. Dari semua negara yang ada di dunia, negara mana yang bisa dijadikan referensi yang paling tinggi skor index negara bersyariah.
Sikap saya pribadi, sebagai warga negara muslim di Indonesia terhadap seruan NKRI bersyariah adalah (sami'na wa ata'na) kami dengar dan kami taat. Seruan ini bukan seruan Habib Riziek semata, beliau hanya mubaligh yang menyampaikan dakwah.
Seruan NKRI bersyariah adalah seruan Allah Sang Mudabbir, Pengatur manusia tentunya tahu apa yang terbaik untuk manusia. Dia yang menciptakan dia juga tahu kelebihan dan kelemahan manusia, wajar aturan dari Allah sesuai fitrah manusia. Bukan aturan manusia yang sebenarnya lemah dan terbatas. Mereka membuat aturan sesuai nafsunya dan kadang bertentangan dengan agama. Bahkan aturannya pun merupakan pesanan pemilik kekuasan dan pemilik kapitalis untuk melanggengkan keberadaan mereka.
NKRI bersyariah adalah NKRI yang menerapkan seluruh syariah Islam, mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial pergaulan, pendidikan, hukum peradilan, media informasi, dan hubungan politik dalam dan luar negeri diatur sesuai syariah Islam.
NKRI bersyariah berarti NKRI akan menjadi titik awal bagi penyatuan kembali seluruh dunia Islam menuju terwujudnya Daulah Khilafah. Syariah Islam dalam bingkai Khilafah, syariah Islam yang lahir dari akidah Islam menjadikan Islam sebagai asas ideologi. Syariah Islam dengan ideologi Islamnya akan sepadan menghadapi negara yang berideologi Kapitalis sekuler dan ideologi Sosialis Liberal dalam level dunia.
Referensi penerapan negara yang menerapkan syariah Islam bukan dilihat dari negara-negara Islam sekarang karena hukum yang diterapkan masih sebagian, bukan keseluruhan.
Lihatlah penerapan Islam pada masa peradaban Islam, Daulah Khilafah Islamiyah yang mampu bertahan hampir 14 abad dan telah runtuh pada tahun 1924.
Jadi lembaga riset yang meneliti nilai islami pada sebuah negara sekarang hanya dikategorikan sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim. Namun, aturannya bukan aturan syariah Islam yang sempurna. Seperti lembaga bernama Yayasan Islamicity Index menurunkan aneka nilai (termasuk keadilan, kemakmuran, ketimpangan ekonomi kecil, tinggi penghormatan pada hak asasi) direkomendasikan Al-Qur'an dalam sebuah index.
Temuan lembaga ini menarik dan menohok. Ternyata top 10 negara yang paling islami adalah negara Barat.
Sedangkan negara yang mayoritasnya Muslim justru skor index Islamicitynya biasa saja dan cenderung rendah.
Dari temuan itu Deny JA mengungkapkan yang mana yang lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek islami?
Tentunya yang lebih penting adalah substansi yang berawal dari label, label yang melahirkan substansi. Jadi, ketika memakai label Islam, jenggot misalnya otomatis substansinya kesadaran akan nilai/ iman bahwa jenggot merupakan sunnah Rasulullah saw.
Contoh tolong menolong adalah praktek islami sedangkan labelnya adalah seruan yang ada dalam Al-Qur'an. Label mencerminkan khas ciri perbuatan muslim dan substansi mencerminkan nilai dasar perbuatan tersebut karena iman, tidak bisa dipisahkan.
Selain itu PBB, lembaga dunia untuk semua negara, mengembangkan indexnya sendiri untuk menguji kemajuan sebuah negara. PBB beranggapan kemajuan sebuah negara tak bisa diukur hanya dengan kemajuan ekonomi semata. Yang utama negara harus bisa membuat warga negara merasa bahagia.
Bahagia tidak hanya tercukupi kebutuhan dasarnya, tak hanya pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Namun, tercipta pula ruang sosial yang penuh dengan trust, tolong menolong, dengan pemerintah yang bersih dan kompeten.
Hasilnya top 10 negara yang paling tinggi skor Happiness Index juga tidak jauh beda.
Bagi saya khususnya umat muslim kebahagian adalah keberkahan, mendapat ridho dari Allah. Kejujuran, tolong menolong, pemerintah bersih dan kompeten buah dari pelaksanaan hukum syara, kesadaran iman, perintah dari Allah bukan semata nilai manusia.
Deny JA mengungkapkan pada dasarnya nilai terbaik dari agama Islam, sebagaimana agama lain, jika diuniversalkan, itu sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan oleh peradaban mutakhir. Nilai yang islami juga nilai manusiawi, itulah ruang publik yang universal yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya.
"Ungkapan nilai terbaik dari agama Islam sebagaimana agama lain jika diuniversalkan maka sama dengan nilai manusiawi", ungkapan ini mengandung nilai pluralisme. Islam sebenarnya plural tapi bukan berati pluralisme, karena Islam meyakini bahwa agama yang terbaik adalah Islam dan tidak akan diterima agama lain selain Islam.
Nilai islami beda dengan nilai manusiawi karena nilai islami tumbuh dari kesadaran akan iman, ada pahala dan dosa. Sedangkan nilai manusiawi tumbuh dari kesadaran sebagai manusia saja jiwa humanisme, tidak ada iman tetapi semata nilai. Jadi ruang publik yang universal atau manusiawi adalah ketika nilai-nilai Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga ketika Islam diterapkan akan tercipta rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam walaupun beda agama dan keyakinan.
Semua negara modern pada dasarnya mencoba menggapai ruang publik yang manusiawi.
Bagi semua negara muslim pada dasarnya mereka satu kesatuan dalam Daulah Khilafah. Negara-negara muslim hendaknya sadar dan bangkit memperjuangkan syariah Islam. Negara Islam akan maju ketika menerapkan syariah Islam dalam semua lini kehidupan.
Bagaimana dengan akidah Islam dalam Ruang Publik Manusia itu? Baik dalam Islamicity Index atau World Happiness Index, hak beragama sesuai dengan keyakinan setiap individu warga negara dijunjung sangat tinggi. Itu adalah hak asasi paling dasar.
Negara tidak boleh mengintervesi dan menghalangi pelaksanaan akidah warga negara. Yang dilarang hanya jika ada upaya pemaksaan kehendak dan penyeragaman tafsir dengan kekerasan.
Bohong! Masih ada pemaksaan keyakinan, masih ada yang melanggar hak asasi. Buktinya banyak warga negara muslim di negara minoritas yang mereka dilecehkan, ditindas bahkan dipaksa karena mereka muslim. Padahal ketika negara Islam berjaya atau nonmuslim dalam mayoritas Islam tetap akan diperlakukan dengan baik. Justru ketika negara Islam diterapkan negara akan menjaga dan melindungi akidah warganya. Yang dilarang hanya aliran sesat karena penodaan agama.
Berhentilah membuat kontra antara Islam dengan Pancasila. Pancasila lahir dari sebagian pemikir orang Islam. Kemerdekaanpun ada karena banyak pengorbanan umat Islam. Para pendiri bangsa memang merumuskan fondasi bangsa yakni Pancasila. Namun, polemik sila pertama yang menyuarakan NKRI bersyariah membuktikan bahwa NKRI bersyariah memang pernah diperjuangkan, dan bisa jadi merupakan estafet perjuangan yang belum selesai. Wallahualam.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!