Jum'at, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 19 Oktober 2018 23:48 wib
5.897 views
Women Empowering, Ilusi Kapitalisme untuk Perempuan agar Berdaya?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih*
Indonesia menuai pujian internasional terkait suksesnya penyelenggaraan Annual Meetings (AM) International Monetary Fund (IMF) - World Bank Group (WBG) yang berlangsung di Bali sejak tanggal 7-14 Oktober 2018. AM IMF WBG ini adalah pertemuan tahunan yang diselenggarakan oleh Dewan Gubernur IMF dan WBG.
Sidang Tahunan ini juga merupakan forum pertemuan terbesar bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan di tingkat global, yang mempertemukan pihak pemerintah (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral) dari 189 negara, dan pihak non pemerintah yang menguasai sektor keuangan dan ekonomi dunia.
Pertemuan tersebut bertujuan untuk mendiskusikan perkembangan ekonomi dan keuangan global serta isu-isu terkini, antara lain: pengurangan kemiskinan, pembangunan ekonomi internasional dan isu-isu global lainnya. Pada tahun ini, pertemuan tersebut ternyata juga dimanfaatkan anggota DPR RI untuk mengangkat salah satu ide yang nantinya akan diratifikasi oleh negara -negara anggota termasuk Indonesia yaitu agar Bank dunia - IMF mampu mewujudkan peningkatan peran perempuan dalam aktifitas ekonomi dan memberinya akses layangan keuangan digital. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Legislator PDI-P Evita Nursanty yang menjadi pembicara pada sesi bertema “Partisipasi Perempuan dalam Pertumbuhan Ekonomi”. (solussinews.com/09/10/2018).
Putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid, berpendapat sama. Ia mengatakan bahwa kelompok perempuan pada dasarnya memiliki peran yang besar dalam rangka pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Kelompok ini, lanjut Direktur Wahid Foundation ini, perempuan dapat dilibatkan secara penuh dalam melakukan aktivitas perekonomian di level yang paling bawah seperti yang telah dilakukan oleh lembaganya dalam membangun program Desa Damai yang banyak melibatkan kelompok perempuan di dalamnya (NU Online/10/102018)
Lantas bagaimana fakta Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP)? Akankah program ini benar- benar mengantarkan pada peningkatan kesejahteraan perempuan? Atau sebaliknya, program ini hanya menjadikan perempuan lebih berperan secara ekonomi sehingga mereka bekerja secara massif? Dalam posisi ini maka perempuan hanya jadi tumbal kebangkrutan ekonomi kapitalisme.
Women empowering adalah kedok untuk mengokohkan hegemoni kapitalisme. Perempuan digiring menjadi pemutar roda industri kapitalis sekaligus target pasar. Perempuan dijauhkan dari peran politik dan strategisnya sebagai ibu pencetak generasi peradaban islam. Hal pertama yang akan hilang akibat program ini adalah peran keibuan, dan kehidupan keluarga. Bangsa-bangsa akan kehilangan generasi masa depan yang tangguh.
Sejatinya, perempuan memunyai sifat paling menonjol dalam dirinya sejak mula sejak ia diciptakan: bersuami, mengandung, melahirkan, mendidik anak dan berkeluarga. Namun kapitalisme melihat itu semua sebagai struktur yang menindas dan patriarkal. Kembalinya perempuan pada fitrah diri dianggap lebih menguntungkan bagi laki-laki daripada perempuan sendiri. Sebagai seorang istri, ia dianggap menjadi pelayan dan diperbudak oleh suaminya.
Mereka sengaja tak menyebutkan bahwa tujuan sebenarnya dari pemerintah kapitalis Barat dengan women empowerment ini adalah mengamankan keuntungan ekonomi bagi negara. Agenda kapitalis ini yang berjuang untuk meningkatkan tingkat kerja kaum perempuan demi kepentingan keuangan mereka sendiri dan bukan perbaikan perempuan.
Lebih jauh lagi, gagasan bahwa pekerjaan akan membawa perempuan kepada status yang lebih tinggi di masyarakat dan keamanan ekonomi adalah ilusi, karena banyak perempuan bekerja dengan bayaran rendah, kualitas yang buruk, dan pekerjaan yang sering eksploitatif. Selain itu, sebagian besar dari gaji seorang ibu yang bekerja saat ini seringkali habis oleh biaya perawatan anak yang tinggi. Sejumlah besar perempuan tidak menjadi lebih kaya, sebaliknya, mereka bekerja hanya untuk membayar orang lain untuk memelihara dan membesarkan anak-anak mereka untuk 'memberi makan' ekonomi.
Dampak buruk lainnya ketika perempuan lebih berkonsentrasi sebagai mesin perekonomian adalah kurangnya waktu ibu yang seharusnya ia habiskan bersama anaknya. Kurangnya kebersamaan ini menyebabkan tingkat signifikan perilaku nakal dan kriminal. Lebh jauh lagi, mereka dengan programnya akan sedikit demi sedikit menghapus kedudukan laki-laki sebagai kepala dan pelindung keluarga, dan dorongannya untuk memaksa perempuan mengadopsi tanggung jawab alamiah laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga, mengikis pemahaman laki-laki tentang peran mereka dalam keluarga.
Maka perlu adanya upaya meluruskan arah pemberdayaan perempuan menurut tuntunan syariat , yaitu mengokohkan peran dan fungsi sebagai ummu wa rabbatul bait, sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Ia juga adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ketetapan Islam tentang peran kedua gender dalam kehidupan keluarga tidak bisa begitu saja dilabeli tidak adil bagi perempuan.
Demikian pula dengan kewajiban Islam atas laki-laki untuk menjadi pencari nafkah bagi keluarga digambarkan sebagai terbelakang dan bertentangan dengan kebebasan perempuan. Ini adalah pandangan sesat dan tidak masuk akal yang justru memberikan ketidakadilan nyata yang ditempatkan pada perempuan dan anak-anak.
Islam adalah sebaik-baik sistem pengatur hidup dan kehidupan manusia. Maka, kita harus mulai berjuang mengenyahkan sistem yang tidak sesuai dengan hati nurani, kita kembali kepada ideologi yang shahih yang telah terbukti selama 13 abad mampu menyinari dunia dengan peradabannya. Perempuan akan sejahtera secara hakiki tanpa harus mengorbankan idealisme. Perempuan boleh menjadi apapun sesuai jenjang pendidikannya, asalkan kewajibannya sebagai hamba Allah telah terlaksana secara sempurna. Hal yang demikian karena Allah begitu menghargai seorang perempuan. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
*Penulis adalah Pengasuh Grup Online BROWNIS
Ilustrasi: Google
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!