Senin, 20 Syawwal 1446 H / 4 April 2016 12:25 wib
11.681 views
Reinterpretasi Agama dalam Ide Kesetaraam Gender
Oleh: Febianty B.P.S, S.Pi*
Seputar Kesetaraan Gender
Kesetaraan Gender adalah sebuah ide yang tak pernah basi didengungkan dan terus digulirkan oleh para pengusung dan pejuangnya. Tidak sedikit dari mereka yang mengaku sebagai pembela hak-hak kaum hawa. Isu sentral yang mereka bawa adalah equality (persamaan /kesetaraan).
Elemen ini sebenarnya merupakan wujhatun nadlor (cara pandang) Barat yang dipengaruhi trauma masa lalu, dimana wanita dalam filosofi masyarakat Eropa Kristen, dipandang sebagai sebuah kutukan dan pembawa dosa. Doktrin equality (al-musaawah) itulah yang mewarnai Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). Pasal 1 ayat 2 RUU KKG menyatakan perlu adanya kesamaan posisi, kondisi dan partisipasi pria-wanita dalam setiap aspek kehidupan.
Term “kesetaraan gender” yang dapat disimpulkan sejauh ini, bermakna meniadakan pembedaan yang dialami perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Kesetaraan yang ingin dicapai bersifat substantif, yakni kesetaraan yang digambarkan sebagai kesetaraan hakiki, bukan kesetaraan semu semisal hanya membuka kesempatan yang sama bagi perempuan, akan tetapi perlu diberikan dukungan untuk dapat meraih kesetaraan itu secara riil. Bila perlu diberi hak-hak khusus untuk meraih kesetaraan itu, contohnya hak khusus mengenai kuota anggota parlemen.
Pada perjalanannya, aspek yang diperjuangkan meluas dan tidak terbatas pada ranah sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi masuk ke dalam ranah domestic, seputar persoalan seksualitas dan permasalahan keluarga. Yakni, dimasukkannya tuntutan untuk memilih ekspresi seksual secara bebas, misalnya LGBT, atau kebolehan pasangan homoseksual mengadopsi anak, sebagai bentuk kesetaraan hak.
The Next Step : REINTERPRETASI
Demi meraih target kesetaraan tersebut, berbagai penghalang harus didekonstruksi (dibongkar). Penghalang yang kuat, muncul dari tradisi dan agama (Islam). Setelah dibongkar dan direinterpretasi, diharapkan target-target kesetaraan gender bisa tercapai. Karena itu tidak mengherankan bermunculan penafsiran dan produk hukum baru (seperti pemikiran Riffat Hasan, Musdah Mulia, dll)tentang Islam yang menyertakan “sudut pandang kesetaraan gender”, seolah membangun paradigma, “membaca Qur’an dari nol”. Pada praktiknya, hal ini telah menghadirkan paham menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Contoh kasus, Amina Wadud yang mengimami shalat jama’ah yang terdiri atas pria dan wanita dengan alasan perempuan memiliki hak yang sama dalam ibadah
Ayat poligami, konsep iddah, konsep waris, qowwamah, dsb., direinterpretasi. Iddah dianggap memihak laki-laki, waris Islam merendahkan perempuan dan poligami merupakan bentuk kekerasan laki-laki pada perempuan. Ayat al-Qur'an dibongkar atas dasar rasa curiga terhadap lelaki. Feminis Indonesia, Siti Musdah Mulia dalam buku Gender Dalam Perspektif Islam, terpengaruh ide kesetaraan dan reinterpretasi tersebut. Ia mengusulkan perlunya penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur'an karena penafsiran yang ada dituding sebagai konspirasi ulama' - yang berjenis kelamin laki-laki - untuk menempatkan wanita sebagai pihak subordinat.
Upaya Kultural dan Struktural
Secara kultural, frame pemikiran tersebut hanyalah adopsi pengalaman masyarakat Barat yang selalu merendahkan kaum wanita. Sedangkan secara struktural, upaya yang mereka lakukan bukanlah sebuah perjuangan independent, tetapi lebih kepada “Global Design” yang mempunyai target dan tujuan tertentu. Sudah 37 tahun yang lalu, PBB mengharuskan banyak negara untuk meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan).
Dan dilanjutkan dengan berbagai konferensi Internasioanal yang secara marathon mereka adakan. Hingga pada tahun 2000 tercetuslah Millenium Development Goal’s (MDG’s) yang dihadiri 189 negara anggota PBB dan dipaksakan untuk diratifikasi oleh negara-negara, melalui blow up opini, tekanan politik, syarat bantuan, dan lain-lain. (Al Waie, Afkar : Kesetaraan Gender, Merusak Perempuan dan Generasi, 2010)
Bagaimana Perspektif Islam?
Dalam Islam tidak dijumpai misogynic (paham kebencian terhadap wanita), budaya patriarkhi dan lain-lain. Jadi, feminisme termasuk kesetaraan gender adalah paham yang dihasilkan dari pengalaman lokal, tapi dipasarkan secara global. Pengalaman manusia Barat tidak sama dengan pengalaman masyarakat yang bertradisi Islam. Akibatnya, banyak timbul ketimpangan-ketimpangan. Masyarakat muslim yang telah lama memuliakan wanita, menempatkan pria dan wanita secara proporsional sesuai kodrat, tiba-tiba “dipaksa” ikut-ikutan arus kesetaraan gender tersebut, termasuk “dipaksa” menggunakan dan menerima produk reinterpretasi kaum feminism.
Secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan gender sangat mengada-ada dan mustahil. Ini karena pengusungnya seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitasnya, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta, bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Islam telah menetapkan bahwa keberadaan manusia yang berjenis kelamin berbeda, memiliki peran dan fungsi yang berbeda, dan pada realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan. Perbedaan jenis, peran dan fungsi ini justru memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.
Islam sebagai agama yang sesuai fitrah, menempatkan manusia, laki-laki dan perempuan sesuai dengan kadar masing-masing, diperhitungkan setiap amalnya tanpa pengecualian (Q.S Ali Imran: [195], Q.S. At Taubah [71]) dan tidak ada yang lebih baik pengetahuannya terhadap hal tersebut kecuali Allah SWT, sang Khaliq—, tanpa memperlakukan salah satu lebih istimewa dari yang lain kecuali taqwanya.
Islam pun memandang laki-laki dan perempuan sebagai mitra. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya kaum perempuan adalah mitra kaum laki-laki. (HR. Abu Dawud), yang saling membantu satu sama lain dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah. Tidak dibenarkan yang satu menghamba pada yang lainnya. Karena itu, salah besar tuduhan yang menyatakan bahwa Islam merupakan agama misoyinis karena memberikan kekuasaan besar di tangan laki-laki dan mendiskreditkan perempuan.
Kekuasaan bukanlah parameter keistimewaan seseorang. Islam memandang kekuasaan sebagai amanah dan tanggung jawab yang besar. Tidak dibebankannya suatu kuasa pada seseorang, juga tidak serta merta merupakan bentuk penghinaan yang merendahkan posisinya. Karena itu ketika perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin dalam pemerintahan, bukan berarti merendahkan kedudukan dan martabatnya.
Sisi lain yang diserang dalam syari’at Islam adalah soal warisan perempuan yang dikatakan hanya separuh dari bagian laki-laki. Padahal dalam kenyataannya terdapat sejumlah perhitungan waris sebagai berikut: 1. hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki; 2. ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki; 3. ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki; 4. ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya. (Shalahudin Sulthan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, hal 10-11, (Cairo: Nahdhah Misr, 1999)
Permasalahan itu muncul karena dalam benak para feminis, harta termasuk parameter keistimewaan seseorang. Kepemilikan aset menjadi simbol kekuasaan, karena itu mereka memandang bebasnya perempuan dari kekangan patriarki adalah dengan jalan melepaskan diri dari ketergantungan secara ekonomi pada laki-laki. Padahal perlu ditekankan di sini bahwa unsur ekonomi bukan merupakan parameter kemuliaan seseorang. Tidaklah yang diberi kewajiban menafkahi otomatis lebih mulia dari yang dinafkahi; atau yang memiliki harta lebih banyak menjadi yang lebih tinggi derajatnya dari yang lainnya.
Selain itu, perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu sebagaimana laki-laki. Perempuan juga diperbolehkan keluar rumah dan beraktivitas dengan memenuhi beberapa kaidah. Juga berhak meriwayatkan hadits dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah).
Hal-hal tersebut itu merupakan kondisi ideal sebagai bentuk keadilan dalam Islam yang dapat diraih muslimah. Karena itu muslimah tidak membutuhkan feminisme dan ide kesetaraan gendernya, karena mereka telah mulia dalam Islam.
Kenyataan sosial saat ini yang menunjukkan terpuruknya muslimah sebagai korban sistem sekuler yang ada, hendaknya tidak menjadikan muslimah salah langkah dengan berharap pada feminisme sebagai solusinya. Semua ini hanya dapat diperbaiki dengan mengembalikan Islam pada posisinya sebagai pandangan hidup dan ideologi manusia sehingga syari’atnya tegak dan keadilannya dirasakan oleh semua orang. Dan kondisi ideal ini hanya bisa terealisasi dengan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ala minhajin Nubuwwah. Wallahu a’lam bishshawab. [syahid/voa-islam.com]
*penulis adalah alumni Institut Pertanian Bogor (angk ’35), praktisi pendidikan dan public speaker
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!