Rabu, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 24 November 2010 10:23 wib
11.477 views
Bermewah-mewah di Tengah Penderitaan Umat
“Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu mengharamkan dirinya makan daging ketika musim paceklik,” kata Mufti Al-Azhar Mesir yang lalu, Syaikh ‘Athiyah Shaqr dalam fatwanya mengenai bencana.
Namun kini orang kaya di Indonesia ada yang berpesta menghabiskan Rp 100 milyar di saat masyarakat tengah kesulitan hidup dengan aneka derita. Di manakah letak rasa belas kasihan di hati orang macam ini?
Tidak pernahkah membaca peringatan dari Allah Ta’ala:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur” (Qs At-Takatsur 1-2).
Maksud “bermegah-megahan” di sini ini adalah dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya telah melalaikan kamu dari ketaatan).
Ada sekelompok masyarakat yang cenderung bermewah-mewah. Selain pejabat dan keluarganya, juga kalangan artis terutama yang sedang naik daun, serta pengusaha sukses dan keluarganya. Lebih heboh lagi adalah kemewahan yang dilakukan oleh gabungan dari ketiganya: anak pejabat yang jadi pengusaha sukses kemudian menikahi artis yang sedang naik daun, sebagaimana terjadi pada pesta pernikahan amat mewah antara Ardi Bakrie dengan Nia Ramadhani, awal April 2010 lalu yang konon menghabiskan biaya Rp 100 milyar. Dan sampai saat ini belum terlampaui.
Nama lengkap Ardi adalah Anindra Ardiansyah Bakrie, anak ketiga pasangan Aburizal Bakrie dengan Tatty Murnitriati. Aburizal Bakrie yang sampai saat ini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian dan Menkro Kesra. Di samping itu, ia juga termasuk pengusaha besar (konglomerat) yang punya banyak perusahaan, dan bahkan berada pada urutan ke-4 dari 40 daftar orang terkaya di Indonesia versi Forbes. (lihat nahimunkar.com: “Bakrie Group Gabung dengan Rothschild, Yahudi Perintis Negara Israel!”).
....Menghabiskan biaya sebesar Rp 100 milyar untuk sebuah hajatan yang berlangsung sehari, tentu saja amat menyakitkan. Sementara itu, sebagian rakyat terseok-seok menjalani hidupnya....
Menghabiskan biaya sebesar Rp 100 milyar untuk sebuah hajatan yang berlangsung sehari, tentu saja amat menyakitkan. Sementara itu, sebagian rakyat terseok-seok menjalani hidupnya, jangankan untuk membayar biaya berobat dan biaya rumah sakit, bahkan untuk memenuhi berbagai keperluan sehari-hari saja sudah amat kesulitan. Di Jakarta, setiap hari sekitar 30 pasien miskin ditolak oleh RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dengan berbagai alasan seperti kamar sudah penuh atau pasien tidak dilindungi Jamkesmas atau Jamkesmasda.
Ketidakmampuan sebagian rakyat membayar biaya rumah sakit kebanyakan untuk kasus melahirkan, biaya persalinan biasa maupun operasi caesar. Selain itu, mereka adalah penderita hernia, korban tabrak lari, penderita infeksi paru-paru, penderita kanker usus, korban ledakan gas LPG tiga kilogram, penderita demam berdarah, penderita guillain-barre syndrome, penderita infeksi saluran kencing, penderita kanker otak, balita penderita gizi buruk, dan sebagainya.
Rakyat Susah, Tak Mampu Membayar Biaya Bersalin
Kasus pasien tak mampu melunasi biaya persalinan, sepanjang tahun 2010, jumlahnya jauh lebih banyak dibanding kasus-kasus lainnya. Antara lain, sebagaimana terjadi pada Dewi Sekar Saketi (20 tahun), warga Pasar Lama RT002 RW006 Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada tanggal 3 Januari 2010, Dewi masuk RS Harapan, Jalan Kartini, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat untuk melahirkan bayi perempuan secara caesar.
Beban yang harus dilunasi Dewi untuk biaya perawatan dan operasi mencapai Rp5,4 juta. Namun Dewi tak mampu bayar. Suaminya, Aditya, hanyalah seorang satpam dengan penghasilan minim. Sebagai pemegang kartu Jamkesmas, seharusnya pihak rumah sakit membebaskan seluruh biaya perawatan Dewi. Namun pihak rumah sakit mempersoalkan tanggal lahir dan nama Dewi pada KTP berbeda dengan kartu Jamkesmas, sehingga Dewi dianggap pasien umum. Karena belum melunasi biaya yang ditetapkan, akhirnya Dewi dan bayinya sempat ditahan pihak rumah sakit.
Kasus serupa di atas juga terjadi pada Sanami (34 tahun) warga Desa Tlagah, Kecamatan Pegantenan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Suami Sanami sedang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Pada hari Jum’at tanggal 26 Februari 2010, Sanami melahirkan di RSB Aisyah di Jalan Mandilaras Pamekasan, Madura, Jawa Timur melalui operasi caesar, dan membutuhkan biaya sekitar Rp 7 juta. Namun saat itu ia hanya mampu membayar Rp 5 juta, dari hasil hutang sana-sini.
Karena masih kurang Rp 2 juta, Sanami dan bayinya sempat ditahan pihak RSB. Meski Sanami sudah menyampaikan surat keterangan tidak mampu kepada pihak RSB, namun ditolak dengan alasan RSB tidak menerima pasien pemegang kartu Jamkesmas. Untungnya, Kades Tlagah Soetrisno, berinisiatif mencari pinjaman uang kepada warga di Desa Tlagah agar pasien Sanami bisa dibawa pulang dan kembali ke rumahnya.
Di Semarang juga demikian, namun hanya bayinya yang ditahan pihak rumah sakit. Hingga Sabtu 6 Maret 2010 siang, bayi pasangan Junaedi dan Risa tidak diperbolehkan meninggalkan Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum, Semarang, karena belum melunasi biaya persalinan sebesar Rp 6 juta, meski mereka sudah menyertakan kartu Jamkesmas. Bahkan, mereka sama sekali tidak diperkenankan menemui putrinya. Junaedi dan Rita adalah warga Dukuh Kaliceret Mrisi, Desa Tanggungharjo, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.
Hal serupa juga dialami pasangan Munawar dan Rumatati, warga RT 02/06 Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Tangerang, Banten. Karena belum bisa melunasi biaya persalinan sebesar Rp 4,95 juta, sejak 3 Maret 2010, anak ketiga mereka tak boleh dibawa pulang.
Semula, Munawar membawa istrinya untuk melahirkan di Klinik Bersalin Zulmainar. Namun setelah dilakukan pemeriksaan bidan, ternyata Rumatati harus menjalani operasi cesar dan dirujuk ke RS Buah Hati, Kecamatan Ciputat, Tangerang, Banten. Setelah istrinya melahirkan, Munawar diberi pilihan: dirawat di RS Buah Hati atau dikembalikan dan dirawat di Klinik Bersalin Zulmainar.
Akhirnya Munawar memilih dirawat di Klinik Bersalin Zulmainar. Dengan catatan, pihak klinik bersalin Zulmainar menjadi jaminan dan harus segera melunasi biaya persalinan jika anaknya ingin segera dibawa pulang. Namun hingga Rabu 17 Maret 2010, Munawar belum bisa membayar biaya persalinan, sehingga bayinya belum bisa dibawa pulang ke rumah. Mereka kesulitan melunasi biaya persalinan yang hampir mencapai lima juta rupiah, karena penghasilan mereka per hari hanya Rp 20 ribu.
Masih di Tangerang, Banten, karena tidak mampu bayar biaya persalinan sebesar Rp 2,4 juta bayi pasangan Lastri Listiani (26 tahun) dan suaminya Abu Musa disandera pihak RSUD Tangerang (sejak 24 April 2010) tak boleh dibawa pulang. Pihak rumah sakit mengaku sudah mengurangi jumlah biaya yang semula Rp 3,3 juta. Namun keduanya saat itu belum mampu melunasi.
Sehari-hari, Abu Musa (29 tahun) memproduksi dan memasarkan kerupuk. Kini bisnisnya sedang sepi. Sedangkan Lastri guru TK Wijaya Kusuma di Cisauk dengan penghasilan Rp 200 ribu per bulan. Penghasilan mereka tak mencukupi untuk melunasi tagihan, sehingga bayi mereka sempat tertahan di pavilun Aster di lantai 2 RSUD Tangerang.
Menurut Abu Musa, semula ia merencanakan kelahiran anak keduanya di dukun beranak (paraji) atau Puskesmas yang biayanya murah. Namun, setelah diperiksa di Puskemas Cisauk dan paraji, dinyatakan harus menempuh operasi. Karena harus operasi, akhirnya Abu Musa membawa istrinya ke RSUD Tangerang (21 April). Namun hingga Sabtu (24 April) ia belum mampu melunasi, sehingga bayi lelakinya yang diberi nama Zulfikri Hakim itu tak bisa dibawa pulang ke rumahnya di Kampung Cisauk RT 2/4 Desa Situgadung, Kecamatan Pagedangan, Tangerang Selatan, Banten.
Kasus tak mampu membayar biaya operasi persalinan juga terjadi pada pasangan Pandi Bangun (40 tahun) dengan Sri Wijiyati (35 tahun), warga Jalan Tenggiri RT 02/08, Tanjungpriok, Jakarta Utara. Setelah 10 tahun menikah tanpa anak, akhirnya pasangan ini berhasil punya keturunan. Ketika usia kandungan sudah mendekati saat kelahiran, Pandi membawa istrinya ke RSUD Koja.
Tidak terbayang oleh Pandi bila persalinan anak pertamanya harus ditempuh melalui operasi caesar yang biayanya tergolong mahal menurut ukuran kantongnya. Saat itu (Sabtu 1 Mei 2010), Pandi hanya memiliki dana Rp 1,5 juta hasil tabungannya selama bekerja sebagai tenaga lepas di sebuah agen minuman mineral dengan upah sebesar Rp 40 ribu per hari. Karenanya tidak bisa segera melunasi sisa tagihan sebesar Rp 5 juta. Akibatnya, anak dan istrinya disandera pihak rumah sakit.
Untungnya, kasus Pandi dan Sri Wijiyati ini sampai juga ke istana SBY. Staff khusus SBY, Andri Arief pada hari Sabtu 15 Mei 2010 melunasi tagihan biaya persalinan anak pertama Pandi, sehingga mereka bisa kembali ke rumah. Semula Pandi tidak menyangka sama sekali bahwa seseorang yang pernah menjenguknya adalah Andi Arief, staf khusus Presiden SBY. “Kami betul-betul berterimakasih kepada staff khusus presiden. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan presiden.”
Pandi masih beruntung, karena biaya tagihan operasi caesar anaknya ‘hanya’ Rp 5 juta, itu pun sebagian dilunasi staf khusus presiden SBY. Kejadian yang menimpa Diki Sofyan (49 tahun), jauh lebih mengenaskan. Pedagang kopi di kantin sebuah mal ini selain harus kehilangan istrinya pasca operasi caesar anak ketiga mereka, juga dibebani biaya Rp 50 juta. Dari jumlah itu sudah ia bayarkan sebesar Rp 28 juta untuk biaya operasi caesar, cuci darah dan operasi pengangkatan rahim. Karena belum melunasi, pihak rumahsakit menyandera sepeda motor milik kerabat Diki, yang sebelumnya memang dijadikan jaminan oleh Diki. Bahkan, biaya Rp 28 juta yang telah dibayarkan Diki, adalah hasil patungan sejumlah kerabatnya yang kelak harus dikembalikan.
Bila Diki harus merelakan sepedamotor kerabatnya sebagai jaminan selama ia belum melunasi biaya rumah sakit, di Bali terjadi kasus yang lebih memilukan. Siti Munawaroh, wanita asal Surabaya, Jawa Timur terpaksa merelakan bayinya diadopsi oleh seseorang yang siap melunasi biaya persalinan yang membebaninya.
Keputusan itu ia ambil karena tidak tahu lagi harus berbuat apa. Siti Munawaroh menuturkan, pada hari Sabtu tangal 3 Juli 2010, ia mengalami pecah ketuban sejak pukul 07.00 Wita. Suaminya, Hartoyo, kemudian membawa Siti ke Rumah Sakit Umum Sari Darma Denpasar, Bali. Di rumah sakit, diputuskan persalinan tidak bisa berlangsung normal, tetapi harus menempuh upaya operasi caesar. Akhirnya lahirlah bayi lak-laki dengan kondisi gangguan infeksi pada paru parunya.
Meski begitu, kehadiran sang bayi laki-laki membuat Siti sempat merasa bahagia. Namun kebahagiaan itu ternyata hanya hadir sekejap. Ketika pihak rumahsakit menyampaikan jumlah biaya persalinan yang harus dibayar, yaitu sebesar Rp 6 juta, serta-merta Hartoyo sang suami menghilang dengan hanya meninggalkan selembar KTP sebagai jaminan. Siti ditinggal sendirian dalam keadaan bingung. Saat itulah hadir seseorang yang menawarkan jasa baik: ia bersedia mengadopsi anak Siti dan melunasi biaya persalinan yang menjadi beban Siti.
Di Pontianak, juga terjadi kasus serupa, meski tidak sampai “menjual” anak. Karena tak mampu melunasi biaya persalinan anak kelimanya, pasangan Jemen Ardianto (46 tahun) dan Siti Sukaesih (45 tahun) harus menerima konsekuensi bayinya tertahan selama 11 hari (sejak akhir Juni 2010) di RSUD dr Soedarso, Pontianak, Kalimantan Barat. Biaya persalinan yang harus dibayar Jemen sebesar Rp 4 juta. Namun, ia tidak punya uang sebanyak itu, karena tidak punya pekerjaan tetap.
Menurut Jemen, sebelum operasi dilakukan, ia telah mengurus kartu Jamkesko. Namun, setelah kartu tersebut selesai, pihak rumah sakit menolak dengan dalih melewati 3X24 jam. Menurut pihak RSUD dr Soedarso Pontianak, Jamkesko milik Jemen bukan ditolak, tetapi saat proses perawatan kartu tersebut tidak diajukan. Akhirnya, ditempuh kesepakatan yang manusiawi diantara kedua belah pihak (Senin, 12 Juli 2010).
Di Blitar, Jawa Timur, karena tidak mampu membayar biaya persalinan senilai ‘hanya’ Rp 1,2 juta bayi pasangan Anik Ambarwati (19 tahun) dan Edi (29 tahun), ditahan pihak rumah sakit. Bahkan, kedua orangtua warga Desa Plosorejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur ini sama sekali tidak diperkenankan melihat kondisi bayinya.
Menurut Anik Ambarwati, ia masuk rumah sakit pada 7 Juli 2010. Sejak saat itu ia sudah mengajukan keringanan biaya. Namun pihak rumah sakit tidak mengabulkan, karena Anik bukan peserta jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Pihak rumah sakit bersedia mengembalikan bayi dengan syarat Anik mengurus kartu jaminan kesejahteraan daerah (Jamkesda). Yang memberatkan, Anik tetap diminta uang jaminan senilai Rp1,2 juta.
Di Medan, Maisyarah (29 tahun) melahirkan anak ketiganya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUPHAM), sekitar pekan ketiga Juli 2010. Saat diperiksa, pihak rumah sakit menyatakan Maisyarah harus menjalani operasi caesar. Namun, Maisyarah tidak punya usang cukup untuk melunasi biaya persalinan yang mencapai Rp 6.750.000. Maisyarah adalah orangtua tunggal, setidaknya sejak Ridwan suaminya eningalkan drinya sejak kandungannya berusia 2 bulan. Sejak saat itu, Maisyarah hidup terkatung-katung, sebatang kara. Satu-satunya cara adalah meminta belas kasihan dari keluarga suaminya.
Karena belum melunasi biaya persalinan, sejak 23 Juli 2010, Maisyarah tergolek di rumah sakit sambil menunggu dana pembayaran cukup, yang saat itu sedang diusahakan oleh tetangganya yang baik hati. Para tetangganya juga membantu Maisyarah mengurus surat keterangan miskin dari kelurahan dan kecamatan untuk mendapatkan biaya berobat gratis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUPHAM). Namun, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara menyatakan, dana untuk bantuan Jamkesda dan biaya pendampingan bagi keluarga tidak mampu sudah tidak ada dan tidak bisa ditanggulangi lagi.
Akhirnya, Maisyarah meminta bantuan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA). Setelah PKPA menyerahkan uang jaminan sebesar Rp 1,5 juta, Maisyarah pun dibolehkan keluar rumah sakit sejak Senin 2 Agustus 2010. Meski begitu, Maisyarah tetap berhutang sekitar Rp 5 juta kepada Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUPHAM).
Menjadikan bayi yang baru lahir sebagai sandera atau jaminan karena orangtua bayi tidak mampu membayar biaya persalinan, juga terjadi di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Sebagaimana terjadi pada Sakdiyah (26 tahun), istri dari Rohman, warga Desa Campor, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. Pada Ahad 8 Agustus 2010, Sakdiyah melahirkan di RSUD Pamekasan melalui operasi caesar. Seharusnya, pada hari Kamis tanggal 12 Agustus 2010, Sakdiyah sudah boleh pulang. Namun, karena tak sanggup membayar biaya operasi caesar sebesar Rp 8 juta, Sakdiyah dan bayinya tidak diperbolehkan pulang.
Sebenarnya, suami Sakdiyah sudah berupaya membuatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Namun ditolak pihak rumah sakit, dengan alasan ada perbedaan alamat. Hal itu bisa terjadi karena sebelum melahirkan Sakdiyah sempat berkunjung ke rumah keluarganya di daerah Blega. Di tempat itulah Sakdiyah merasa mual hendak melahirkan. Saat itu juga Sakdiyah dibawa ke Puskesmas Blega, namun karena kurang peralatan, Sakdiyah dirujuk ke RSUD Pamekasan. Meski sudah dijelaskan, SKTM Sakdiyah tetap ditolak. Akhirnya, ditemukan juga solusi yang manusiawi untuk kasus ini.
Bila kasus Sakdiyah menjadi rumit karena ada perbedaan alamat, dalam kasus yang satu ini meski tidak ada perbedaan alamat, SKTM tetap tidak diperhatikan. Hal ini sebagaimana terjadi pada Maryati (33 tahun), warga Jalan Komarudin Ujung Kerawang RT10/5 nomor 217, Pulogebang, Jakarta Timur.
Pekan ketiga Agustus 2010, Maryati melahirkan bayi kembar tiga melalui operasi caesar di Rumah Sakit Pondok Kopi, Jakarta Timur. Suami Maryati, Tino Indro (40 tahun) sehari-hari bekerja sebagai pengemudi Taksi Blue Bird dengan penghasilan tak menentu. Sehingga, ia tidak mampu melunasi biaya persalinan yang mencapai Rp 31 juta. Meski sudah menunjukkan surat keterangan tidak mampu (SKTM), ia tetap diharuskan membayar biaya persalinan. Tino berharap pihak rumah sakit bisa memberikan keringanan dan kebijakan mengangsur sesuai kemampuan bila memang tidak bisa membebaskan Tino dari tangung jawab melunasi biaya persalinan.
Seribu Satu Kasus Mengepung Rakyat Miskin
Selain kasus tidak mampu melunasi biaya persalinan, berbagai kasus lain yang pernah terjadi misalnya pada penderita Hernia, sebagaimana terjadi pada Endang Suparman, warga gang Keranti RT 009/RW011 Kemandoran 8, Grogol Utara, Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Endang tetap diharuskan membayar uang obat dan perawatan sebesar Rp 2.484.000 meski sudah melampirkan SKTM (surat keterangan tidak mampu) dan surat rekomendasi dari angggota DPRD DKI Jakarta mengenai permohonan keringanan biaya. (bataviase.co.id edisi 13 Januari 2010)
Di Samarinda, Kalimantan Timur, seorang pasien diusir dari rumah sakit karena tak bisa bayar biaya berobat. Eddy (28 tahun) warga Sempaja, Samarinda Utara, adalah korban tabrak lari. Ia ditabrak seseorang di kawasan Sebulu, Kutai Kartanegara (Kukar), sehingga harus dirawat selama tiga bulan di RSUD AW Sjahranie, Samarinda, Kalimantan Timur. Pada hari Selasa tanggal 16 Maret 2010, Eddy dipaksa pulang dari rumah sakit dalam keadaan alat kelaminnya masih terpasang selang.
Eddy tidak memiliki keluarga di Samarinda. Selama ini ia tinggal dengan cara menumpang di rumah warga. Setelah diusir dari rumah sakit, Eddy tinggal dan tidur di pos ronda RT 53, Sempaja, Samarinda Utara. Kondisi kesehatan Edy semakin memburuk: saat buang air kecil, ia merasakan sakit yang amat sangat. Bahkan, ada darah dan nanah yang ikut keluar saat buang air kecil.
Di Kabupaten Tangerang, Banten, keluarga miskin yang tak punya biaya harus kehilangan anaknya yang masih berusia 6,5 bulan. Kemalangan itu menimpa warga Perumahan Griya Yasa RT 06/05, Blok G-I No 9, Desa Pasir Gadung, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.
Sejak Sabtu 13 Maret 2010, Elsa Ainurohmah, anak Paidi (37 tahun) dan Teti Nuraini (25 tahun) menderita sakit pilek dan batuk. Saat itu Paidi membelikan obat sirup di warung. Namun Elsa tak kunjung sembuh. Senin pagi, 15 Maret 2010, Paidi dan Teti membawa Elsa ke bidan terdekat, tapi juga sembuh. Akhirnya, Paidi dan istrinya Elsa ke Rumah Sakit (RS) Tiara Ibu dan Anak, Cikupa, Banten. Dengan alasan fasilitas minim, mereka dirujuk ke RS Sari Asih Karawaci, Kota Tangerang.
Menurut pihak RS Asih Karawaci, Elsa menderita infeksi paru-paru, dan sempat dirawat di ruang ICU. Saat itu, pihak RS Sari Asih meminta Paidi untuk menyiapkan Rp 10 juta sebagai uang jaminan jika ingin mendapatkan ruang inap. Karena Paidi tak bisa menyediakan uang jaminan sebesar itu, akhirnya ia membawa Elsa keluar dari RS Sari Asih. Oleh beberapa kerabatnya, Paidi disarankan menuju ke RSUD Tangerang. Belum sampai di RSUD Tangerang, Elsa yang saat itu berusia 6,5 bulan meninggal dunia.
Di Sragen, Jawa Tengah, pasien kecil Krisna Tegar Abukhori (8 tahun) “disandera” pihak rumah sakit, karena ayahnya Waluyo (45 tahun) warga Ringinanom RT 5/XVIII, Sragen Kulon tidak punya uang untuk membayar biaya perawatan sebesar Rp 10 juta. Pada tanggal 3 Maret 2010, Krisna Tegar Abukhori dirawat dirumah sakit hingga 13 Maret 2010, dan dinyatakan sembuh total. Namun, Waluyo sang ayah yang sehari-hari berjualan bakso dengan penghasilan Rp 25.000 per hari, saat itu tidak mampu melunasi biaya perawatan yang disodorkan rumah sakit. Meski pihak rumah sakit sudah memberi kelonggaran berupa keringan sistem pembayaran, namun Waluyo tetap tidak dapat segera memenuhi kewajibannya.
Di Jombang, Jawa Timur ada Syifa Aulia Safaat, bayi perempuan anak pertama pasangan Muhamad Ilham dan Siti Nurul Samsiah, warga Desa Gading Mangu, Kecamatan Perak, Kab Jombang, Jawa Timur, pada pertengahan Maret 2010 mengalami gangguan pernapasan, dan menjalani perawatan selama satu minggu di RSUD Jombang. Namun pada hari Selasa siang tanggal 23 Maret 2010, Syifa meninggal dunia.
....Karena Ilham tidak mampu melunasi sisa biaya perawatan sebesar Rp 2 juta, jasad Syifa tidak bisa langsung dibawa pulang untuk dimakamkan....
Karena Ilham tidak mampu melunasi sisa biaya perawatan sebesar Rp 2 juta, jasad Syifa tidak bisa langsung dibawa pulang untuk dimakamkan. Orangtua Syifa pontang-panting cari pinjaman, karena tidak ada barang berharga yang bisa mereka jual. Barulah pada Selasa petang, mereka mendapatkan pinjaman uang secukupnya. Tapi saat itu staf rumah sakit sudah pulang, sehingga jasad Syifa sempat tertahan. Akhirnya, Selasa malam jasad Syifa baru bisa dibawa pulang. Karena tidak ada fasilitas ambulance, jasad Syifa dibawa orangtuanya dengan sepeda motor.
Di Jakarta ada Koesworo Setia Buddhi (65 tahun) yang tidak mampu membayar biaya pengobatan untuk kanker usus yang dideritanya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), meski sudah menjual mobil dan rumah pribadinya. Sebelum dirawat di RSCM, Koesworo berbulan-bulan dirawat di RS PMI Bogor. Yang paling mahal, radiasi terapi yang biayanya mencapai Rp 15 juta per hari. (Sriwijaya Post - Jumat, 9 April 2010 11:53 WIB).
Koesworo Setia Buddhi adalah anak dari Ernest François Eugčne Douwes Dekker (1879-1950) alias Danudirja Setiabudi atau lebih dikenal dengan sebutan Dr Setiabudi, pahlawan nasional yang menggagas istilah Nusantara untuk menggantikan Hindia-Belanda. EFE Douwes Dekker punya hubungan persaudaraan (cucu tidak langsung) dengan Eduard Douwes Dekker (1820-1887) alias Multatuli pengarang buku Max Havelaar.
Di Cilacap, Jawa Tengah ada Sri Wini (24 tahun) warga Jl Ahmad Yani Cilacap, yang tak mampu membayar biaya perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cilacap. Ia korban ledakan gas LPG 3 kilogram. Sehari-hari Sri Wini bekerja sebagai penjual jamu gendong, dan tidak terdaftar sebagai peserta Askeskin maupun Jamkesmas. (jakartapress.com edisi Jumat, 23 Juli 2010)
Di Surabaya, Jawa Timur, ada Tressia Hermin Uneputih (17 tahun), warga Lempung Tama, Candi Lontar, Surabaya yang menderita demam berdarah. Sejak Kamis sore tanggal 15 Juli 2010, Tressia dirawat di RSI Darus Syifa’ yang terletak di Jalan Raya Benowo. Pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 2010, ia dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Namun karena ia tak mampu bayar, selang infus di tangannya tak dilepas dan tetap menancap sehingga tangannya bengkak. Tressia berasal dari keluarga tidak mampu. Sehari-hari ia menumpang di rumah neneknya yang juga miskin dan tinggal berpindah-pindah rumah kos. Kedua orangtuanya sudah meninggal dunia.
Di Gresik, Jawa Timur, ada Didik Sulistiyono, penderita tumor, warga Jalan Wachid Hasyim Gang III A Nomor 49 Kelurahan Pekauman, Gresik yang tidak mampu membayar biaya CT Scan, sehingga harus tergolek lemah di kamar rumahnya. Dua tahun lalu, Didik menjalani operasi batu ginjal di Rumah Sakit Bunder (sekarang RS Ibnu Sina Gresik), tapi penyakitnya tak sembuh.
Karena terus kambuh, dokter menyatakan Didik perlu menjalani CT Scan. Tapi CT Scan di rumah sakit tersebut rusak, sehingga Didik dirujuk ke RS Dr Soetomo Surabaya. Ternyata di rumah sakit ini CT Scan-nya juga rusak. Akhirnya Didik kembali ke RS Bunder lagi. Meski CT Scan-nya sudah berfungsi, Didik tak bisa menerima layanan CT Scan karena ia tidak mampu membayar biaya yang ditetapkan senilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta. Akhrnya Didik kembali ke rumah, tergolek lemah menanti uluran tangan dermawan. (beritajatim.com edisi Minggu, 25 Juli 2010)
Di Semarang, Jawa Tengah, ada kasus memilukan yang menimpa (almarhumah) Susanti (28 tahun), guru SMP Ma’arif Kendal yang menderita penyakit langka guillain-barre syndrome (GBS). Susanti yang dirawat di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang sejak 11 Juli 2010 akhirnya meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 3 September 2010 pukul 20:45 wib karena kondisinya sangat kritis setelah menjalani operasi kiret.
Keluarga almarhumah belum mampu membayar biaya tagihan perawatan yang besarnya mencapai Rp 300 juta. Selama menjalani perawatan, keluarga Susanti sudah mengeluarkan biaya sebesar Rp 100 juta lebih. Uang sebesar itu berasal dari hasil penjualan tanah milik Sumardi, kakak almarhumah.
Bukan hanya biaya ratusan juta rupiah tak mampu dilunasi, bahkan di Situbondo, Jawa Timur, ada kasus seorang pasien yang tidak mampu bayar biaya rumah sakit meski itu ‘hanya’ Rp 500 ribu saja. Hal ini sebagaimana terjadi pada Anik Indrawati (26 tahun) yang menderita infeksi saluran kencing. Karena tak mampu Anik berusaha kabur dari RSU dr Abdoer Rahem Situbondo pada hari Jum’at tanggal 24 September 2010, namun dipergoki seorang perawat. Pihak rumah sakit akhirnya membebaskan Anik dari kewajibannya, setelah melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial (Dinsos) Situbondo.
Di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, ada Novel Budi Pratama (23 tahun) yang menderita kanker otak, karena tidak mampu membayar biaya perawatan, dipekerjakan sebagai office boy di RS Banjar Baru. Ia menjalani peran sebagai office boy selama tiga pekan, untuk melunasi kewajibannya membayar biaya rumah sakit sebesar Rp 750 ribu. Selama menjadi office boy, ijazah Novel ditahan pihak rumahsakit sebagai jaminan. Barulah pada tanggal 28 September 2010, setelah sebulan kurang sembilan hari bekerja, ijazah Novel dikembalikan.
Di Situbondo, Jawa Timur, ada Abdul Bahar (43 tahun), warga Kilensari Kecamatan Panarukan Situbondo yang nekat gantung diri karena tak mampu membayar biaya perawatan istrinya yang masih dirawat di Rumah Sakit. Bahar gantung diri di areal tambak dekat pohon bakau yang berjarak beberapa meter dari rumahnya. Selain meninggalkan seorang istri, Bahar meninggalkan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. (jurnalbesuki.com edisi Senin, 04 Oktober 2010 - 05:31 wib).
Di Jember, Jawa Timur, ada Sarmini warga desa Mojomulyo kecamatan Puger yang tidak mampu membayar biaya pengobatan, sehingga ditelantarkan selama dua bulan oleh pihak RSUD Subandi Jember. Sarmini pada Agustus 2010 mengalami luka bakar saat ia bekerja di Bali. Setelah menjalani perawatan di rumah sakit Bali selama 5 hari, karena alasan biaya perawatan Sarmini dipindah ke RSUD Subandi Jember.
Pada September 2010, pihak rumah sakit meminta kepada keluarga Sarmini untuk membayar biaya perawatan sebesar 20 juta rupiah. Karena belum mampu membayar, sejak saat itu semua perawatan medis terhadap Sarmini dihentikan, meski Sarmini masih berada di ruang isolasi bedah khusus. Pihak rumah sakit sudah memberikan keringanan, dari seharusnya menjadi ‘hanya’ Rp 7 juta saja. Namun tetap saja keluarga Sarmini tidak mampu segera melunasi tagihan tersebut.
Masih di Jember, ada Jofan Piter Adi Putra, balita berusia tiga tahun setengah tahun yang menderita gizi buruk, terpaksa dipulangkan paksa dari RSUD Subandi Jember karena kedua orangtuanya tidak sanggup membayar biaya perawatan yang mencapai jutaan rupiah. Jofan adalah anak pertama pasangan Edi Winoto dan Sarmiwati, warga Dusun Kraton, RT 1 RW 1 Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo. Berat badan Jofan hanya 10 kilogram dari seharusnya 23 kilogram untuk anak seusia dia (3,5 tahun). Sehari-hari orangtua Jofan bekerja sebagai buruh tani, sehingga sang balita ini dirawat oleh neneknya. (jemberpost.com, 18 Oktober 2010).
....bermegah-megahan dalam hidup dan tidak mempedulikan orang miskin adalah yang melekat pada diri orang-orang kafir, namun menjadi ancaman pula bagi orang Islam yang menyandang sifat dan kelakuan buruk itu....
Beda Orang Beriman dengan Orang Kafir Ketika Hidup di tengah orang-orang yang menderita
Ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam orang-orang yang hatinya lalai dari akhirat, bermegah-megahan dalam hidup, dan tidak mempedulikan orang miskin.
Sifat-sifat itu melekat pada diri orang-orang kafir, namun menjadi ancaman pula bagi orang Islam yang menyandang sifat dan kelakuan buruk itu. Hingga dalam Islam banyak peringatannya, di antaranya:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur” (Qs At-Takatsur 1-2).
Sikap orang kafir yang tidak belas kasihan kepada anak yatim dan orang miskin diancamkan pula kepada orang Muslim.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Qs Al-Ma’un: 1-3).
....Tidak beriman denganku (secara sempurna) orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sedang tetangganya lapar di sisinya dan dia mengetahuinya....
Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin menyebutkan, mereka yang tidak peduli kasih sayang terhadap orang lain, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin itu karena hatinya adalah batu yang keras –kita berlindung kepada Allah dari yang demikian—maka hati mereka bagai batu: Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS Al-Baqarah 74). Jadi.. tidak ada padanya kasih sayang, tidak untuk anak-anak yatim dan tidak pula untuk orang-orang miskin. Maka dia itu orang yang keras hati. Na’udzubillahi min dzalik! (Syaikh Shalih Al’Utsaimin mengenai tafsir ayat “ yadu’ul yatim.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam:
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ.
“Tidak beriman denganku (secara sempurna) orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sedang tetangganya lapar di sisinya dan dia mengetahuinya” (Hadits Riwayat At-Thabrani dan Al-Bazzar dengan sanad hasan).
Bersedekah di Tengah Musibah, Bukan Bermewah-mewah!!
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; “Pada suatu ketika, beberapa orang Arab Baduy datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para shahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para shahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau.”
Jarir berkata: “Tak lama kemudian seorang shahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang shahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang shahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab Baduy tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa menjalani jalan yang baik dalam Islam, lalu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa menjalani jalan yang buruk dalam Islam, lalu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun” (Hadits shahih riwayat Muslim- 4830).
Bagaimana pula bila contoh bermewah-mewah di tengah-tengah manusia yang sedang menderita aneka kesulitan itu ditiru pula oleh orang-orang durjana lainnya? Na’udzubillah min dzalik! kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. []
____________
*) Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede adalah penulis buku Pendangkalan Akidah Berkedok Ziarah.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!