Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Oktober 2010 13:08 wib
2.756 views
"Perempuan Berbandrol" di Israel
Istilah Human Trafficking atau penyelundupan manusia mungkin sudah sangat akrab di telinga kita mengingat fenomena tersebut telah merajalela, di berbagai negara khususnya negara-negara miskin. Namun bagaimana dengan sex trafficking?
Dalam hal ini, Israel khususnya kota Tel Aviv menjadi "sorga" bagi aktivitas pusat-pusat prostitusi. Sebagian besar perempuan-perempuan di tempat itu diselundupkan dari negara-negara Eropa timur dan negara yang baru saja merdeka.
Di Tel Aviv, selain tokoh elektronik, kosmetik, busana, dan toko buku, terdapat pula toko tempat menjual perempuan. Biasanya di etalase toko pakaian, pengunjung dapat menyaksikan pakian terbaru yang dikenakan pada manekin. Namun kini jangan heran jika perempuan-perempuan hidup dipampang di sebuah etalase toko dengan memampang slogan "Women to Go". Perempuan-perempuan tersebut bahkan diberi bandrol harga beserta keterangan usia, tinggi dan berat badan, serta negara asal.
Berita itu langsung mendapat sorotan dari media-media massa asing. Tel Aviv pun segera menepisnya. Akan tetapi ketika berita itu dipublikasikan oleh media massa Israel sendiri, para pejabat Tel Aviv langsung menuding sumber-sumber berita itu pembohong.
Kementerian Luar Negeri Israel pun merilis statemen menepis pemberitaan tersebut. Media-media Barat pun dikerahkan untuk menyimpangkan opini umum tentang hal ini. CNN misalnya dalam sebuah laporannya tanggal 25 Oktober 2010, menurunkan berita bahwa toko yang memampang perempuan-perempuan berbandrol di sebuah toko Israel itu adalah upaya untuk meningkatkan "kewaspadaan terhadap penyelundupan perempuan dan sex trafficking".
Patutnya, "kewaspadaan" itu harus ditingkatkan di negara asal perempuan-perempuan tersebut bukan di negara tujuan.
Sisi Lebih Gelap Sex Trafficking Israel
Ini bukan fenomena baru. Sex trafficking di Israel termasuk di antara kejahatan terorganisasi di Israel yang telah mengakar di negeri agresor ini. Juli 2005 misalnya, kabinet Israel saat itu menyatakan mendukung penetapan draf hukum yang lebih tegas soal sex trafficking. Namun hingga kini tidak ada tindakan hukum tegas apapun.
Penolakan rezim Zionis soal fakta "perempuan berbandrol" itu mengemuka di saat berbagai laporan membenarkan adanya toko "perempuan-perempuan berbandrol" itu di Israel khususnya di Tel Aviv.
Salah satu bukti kuatnya adalah laporan oleh Nomi Levenkron, Direktur Hukum Lembaga Migrant Worker Hotline. Ia bekerja tanpa gaji untuk memerangi penyelundupan perempuan ke Israel untuk dipekerjakan sebagai pelacur. Berikut ringkasan penuturannya.
Saat ini, wajah tempat-tempat prostitusi di Israel khususnya Tel Aviv telah berubah. Pusat-pusat prostitusi di Israel umumnya di jalan-jalan kotor dengan gedung-gedung kuno dan rusak. Lampu-lampu neon berwana merah yang tersebar di sepanjang jalan seakan membimbing para pengunjung menemukan tempat itu dengan mudah.
Dari jendela-jendela klub-klub seks itu dapat disaksikan perempuan-perempuan dengan make-up "dahsyat" tengah berbincang atau merokok. Sebagian besar mereka diselundupkan dari Romania atau negara-negara yang baru merdeka. Mereka dijebak oleh para penyelundup. Contohnya adalan Ana (bukan nama sebenarnya) 23 tahun asal Romania, yang memberikan kesaksian di pengadilan Israel pada tahun 2002.
Di kota kelahirannya, Anna berkenalan dengan seorang gadis asal Israel bernama Shula. Ia dijanjikan pekerjaan untuk menjaga orang tua Shula di Israel. Anna pun setuju. Berikutnya, Anna diberi tiket untuk terbang dari Bucharest. Namun Anna tidak tahu di mana ia akan mendarat. Ketika pesawat mendarat di Kairo, Annad mengira dia di Tel Aviv. Dia dikumpulkan oleh penghubung bersama beberapa perempuan lain, dinaikkan ke sebuah mobil terbuka melintasi padang. Perjalanan mereka dikawal oleh para baduwi bersenjata. Jam dua pagi, mereka dipaksa berjalan beberapa jam dan kemudian merayap melintasi pagar kawat.
Terkadang, para baduwi itu sendiri yang mengatakan kepada perempuan-perempuan tersebut bahwa mereka akan dijadikan pelacur, sebagai alasan untuk menodai mereka.
Menurut pengakuan Anna, setelah tiba di Isarel, Anna dipaksa telanjang dan dimasukkan ke dalam kamar penuh dengan pria. Mereka menginspeksi seluruh bagian tubuhnya untuk menetukan harganya. Akhirnya Anna dijual dengan harga 6.000 USD.
Mario, salah seorang penyelundup perempuan kawakan di Israel mengatakan, "Perempuan-perempuan itu harus telanjang sehingga para penyelundup dapat menentukan harga mereka."
Nasib perempuan asal Moldova yang berpindah tangan ke enam penyelundup itu akhirnya berakhir menjadi pengacara hukum setelah menjalin kontak dengan Migrant Worker Hotline. Ia berupaya menuntut dan mengadu kepada pihak kepolisian, namun pengaduannya tidak diperhatikan. Bahkan pada masa itu, perempuan yang menjadi korban penyelundupan tidak dianggap sebagai korban. Mereka justru dinilai sebagai pelaku kejahatan.
Selain tidak diberi kesempatan untuk memberikan kesaksian, "perempuan-perempuan berbandrol" itu hanya ditangkap dan diusir dari Israel.
Pada Mei 2000, Amnesti Internasional merilis laporan yang mengecam Israel karena tidak memperhatikan masalah "perbudakan seks". Pasca laporan tersebut, muncul gejolak di Israel yang akhirnya memaksa parlemen Zionis menetapkan penyelundupan perempuan sebagai tindak kriminal dengan ancaman hukuman penjara maksimal 16 tahun. Namun masalah pelaksanaannya masih menjadi polemik besar.
Disebutkan bahwa jumlah pengunjung rumah-rumah prostitusi di Israel mencapai satu juta perbulan, dan segala tindakan akan mempersulit kondisi. Berdasarkan laporan berbagai lembaga-lembaga HAM internasional, sedikitnya 3.000 perempuan setiap tahunnya diselundupkan ke Israel untuk dijadikan budak seks. (irib/mj)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!