Selasa, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Oktober 2010 13:09 wib
10.548 views
Tathbiq Syariah di Indonesia
Oleh: Habib Rizieq Syihab, MA
(Ketua Umum DPP Front Pembela Islam)
Kewajiban Asasi Manusia
Sejak manusia diciptakan kewajiban asasinya adalah ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al Quran Surat Adz-Dzariyat ayat 56, Allah SWT menegaskan bahwasanya tidaklah manusia diciptakan melainkan hanya untuk ibadah kepada Allah SWT.
Syariat pun diturunkan Allah SWT untuk tiap-tiap umat. Dan tiap umat diwajibkan untuk mematuhi Syariat yang ditetapkan. Umat Nabi Musa As diwajibkan melaksanakan syariat Taurat, dan umat Nabi Isa As diwajibkan menjalankan syariat Injil. Sedangkan umat Nabi Muhammad SAW diwajibkan mematuhi syariat Al-Qur'an. Bahkan Allah SWT memvonis bagi orang yang tidak mau memberlakukan syariat Allah SWT sebagai Kafir, Zhalim dan Fasiq. Semua itu termaktub dalam QS. Al-Ma’idah ayat 44-50.
Makna Syariat dan Klasifikasinya
Syariat secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya 'jalan'. Sedangkan secara terminologis, syariat adalah aturan hidup yang diturunkan Allah SWT bagi manusia, baik terkait aqidah, hukum maupun akhlaq.
Dan dalam konteks hukum, maka syariat diartikan sebagai hukum taklif amaliyah yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum syariat pun diklasifikasikan menjadi empat, yaitu :
Pertama, Ahkamul Fardi yaitu Hukum Syariat Perorangan, seperti pengucapan dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dsb.
Kedua, Ahkamul Usroh yaitu Hukum Syariat Rumah Tangga, seperti pernikahan, perceraian, hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban orangtua dan anak, masalah nafkah, wasiat dan waris, dsb.
Ketiga, Ahkamul Mujtama' yaitu Hukum Syariat Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, seperti pendidikan, ekonomi, asuransi, perbankan, tradisi, budaya, adat istiadat, dan masalah mu'amalat lainnya.
Keempat, Ahkamud Daulah yaitu Hukum Syariat Tata Negara, seperti syarat Kepala Negara, tata cara penetapan Kepala Negara, Hak dan Kewajiban Kepala Negara dan Rakyat, pertahanan dan keamanan, dsb. Termasuk katagori ini semua Hukum Syariat yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan kekuatan negara, seperti Qishash, Hudud, Hubungan Internasional dan Hukum Perang.
Tathbiq (Penerapan) Syariah di Hindia Belanda
Sejak masuknya Islam ke Nusantara, masyarakat muslim sudah mulai melaksanakan Syariat Islam. Bahkan ketika bermunculan Kerajaan dan Kesultanan Islam di Nusantara, justru Syariat Islam disahkan sebagai Hukum Resmi berbagai Kerajaan dan Kesultanan tersebut.
Selanjutnya, Syariat Islam makin berakar dan menguat, sehingga berhasil sedikit demi sedikit menggusur Hukum Adat di berbagai daerah seantero Nusantara.
Di Aceh, tercatat dalam sejarah Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar (1537 s/d 1571 M) bahwa Raja Linge ke XIV yang berkuasa di Aceh Tengah dijatuhi hukuman oleh Hakim Agung Kesultanan Aceh dengan membayar diyat 100 ekor kerbau karena telah membunuh adik tirinya. Dan Sultan Iskandar Muda (1603 s/d 1637 M) telah menjatuhkan Hukum Rajam kepada putra kandungnya sendiri karena berzina.
Itulah sebabnya, Pemerintahan Hindia Belanda yang menjajah Indonesia selama lebih dari 350 tahun tidak mampu menghapus Syariat Islam yang telah berurat berakar di tengah masyarakat Indonesia. Bahkan tidak ada pilihan bagi Pemerintah Hindia Belanda kecuali harus mempertahankan keberadaan Mahkamah Syariat di berbagai daerah untuk menyelesaikan aneka permasalahan hukum di tengah kehidupan masyarakat, termasuk mengangkat Mufti bagi kepentingan memberikan fatwa hukum bagi umat Islam.
Di tahun 1855, Ahli Hukum Belanda, LWC. Van Den Berg mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengajukan 'Teori Receptie in Complexu' yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yakni Hukum Islam, sehingga sudah sepatutnya didirikan Pengadilan Agama. Kemudian usulan tersebut dikabulkan Raja Willem III di Belanda, sehingga diterbitkan 'Konninklijk Besluit' (Keputusan Raja) No.24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam 'Staatersebutlad 1882 No. 152 tentang Peraturan Peradilan Agama. Namun, akhirnya keputusan tersebut diprotes keras oleh Christian Snouck Hugronje dengan menggunakan 'Teori Receptie' yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah Hukum Adat, sehingga pada tanggal 1 April 1937 lahirlah 'Staatersebutlad 1937 No. 116 tentang pembatasan wewenang Pengadilan Agama.
Itulah sebabnya, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan tiga sistem hukum sekaligus di Indonesia, yaitu: Hukum Islam bagi umat Islam, dan Hukum Adat bagi masyarakat adat, termasuk umat Hindu dan Budha, serta Hukum Sipil bagi warga Eropa dan umat Kristiani.
Tathbiq Syariah di NKRI
Pada tanggal 22 Juni 1945, dalam rangka persiapan dan penyambutan kemerdekaan Indonesia, para Founding Father bangsa dan negara Indonesia telah menyepakati sebuah Konsensus Nasional bernama Piagam Jakarta, yang secara eksplisit menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Inilah sebenarnya Pancasila Asli yang paling autentik, yaitu Pancasila yang berintikan Tauhid dan Syariah.
Dalam sejarah Indonesia, Pancasila sejak diusulkan Soekarno hingga terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah mengalami banyak perubahan, sehingga dikenal aneka Pancasila dengan sistematika dan isi redaksi yang berbeda-beda, yaitu: Pancasila Soekarno 1 Juni 1945, Pancasila Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pancasila UUD 1945, Pancasila RIS 1949, Pancasila UUDS 1950, dan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pancasila Soekarno merupakan usulan rumusan Pancasila pertama kali, namun yang disepakati sebagai Konsensus Nasional adalah Pancasila Piagam Jakarta yang berintikan Tauhid dan Syariah, sedangkan Pancasila UUD 1945 adalah Pancasila Kontroversial yang penuh dengan pengkhianatan kaum Sekuler. Ada pun Pancasila RIS 1949 dan Pancasila UUDS 1950 disebut oleh Mr. Muhammad Roem sebagai Pancasila Penyelewengan, sedang Prof Hazairin menyebutnya sebagai Pancasila Palsu. Kini, yang berlaku adalah Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu Pancasila yang DIJIWAI Piagam Jakarta sebagaimana disebut secara eksplist dalam dekrit tersebut.
Dengan demikian, Pancasila sebagai Dasar Negara harus DIJIWAI Piagam Jakarta yang berintikan Tauhid dan Syariah, sehingga ini menjadi Landasan Konstitusional untuk penerapan Syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah sebabnya, sekali pun kaum SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) selalu berupaya sekuat kemampuan dengan menghalalkan segala cara untuk menghalangi dan menggagalkan penerapan Syariat Islam di Indonesia, namun ternyata gerbong Syariat Islam jalan terus tanpa ada yang bisa menghentikannya secara ilegal, karena gerbong tersebut sudah berjalan di atas rel yang benar dan sesuai koridor yang ditetapkan oleh negara.
Peluang Tahthbiq Syariah
Memperhatikan Klasifikasi Hukum Syariah sebagaimana diuraikan di atas, maka dengan jujur harus diakui bahwa klasifikasi pertama, kedua dan ketiga 'sudah berlaku' di Indonesia sejak lama. Bahkan kini sudah mulai ditransformasikan ke dalam bahasa perundang-undangan, sehingga peluang penerapan Syariat Islam di ketiga klasifikasi tersebut semakin hari semakin terbuka lebar.
Klasifikasi pertama terkait Hukum Syariat Perorangan, sejak dulu hingga kini dengan bebas bisa dilaksanakan di Indonesia, karena pada dasarnya klasifikasi ini memang bisa dilaksanakan oleh siapa pun tanpa campur tangan negara. Namun demikian, sebagiannya sudah diformalisasikan dalam bentuk UU Zakat dan UU Haji, sehingga tentunya semakin memperkuat posisi Syariat dalam perundang-undangan negara.
Klasifikasi kedua terkait Hukum Syariat Rumah Tangga, sejak dulu hingga kini juga bisa dilaksanakan dengan bebas di Indonesia. Bahkan kini sebagiannya bukan saja sudah diformalisasikan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan, Perceraian, Warisan, Wasiat, Waqaf dan Hibah, tapi juga sudah disediakan secara formal Pengadilan Agama lengkap dengan perangkat hukum dan sarana prasarananya.
Klasifikasi ketiga terkait Hukum Syariat Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, ternyata sejak dulu hingga kini pun bisa dilaksanakan dengan bebas. Bahkan sudah terformalisasikan secara sistematis dan meluas. Di bidang pendidikan, secara sah berdiri pesantren dan madrasah serta Perguruan Tinggi Islam dengan kurikulum khas Islam yang diakui negara. Di bidang ekonomi, telah bermunculan secara legal formal perbankan syariah, asuransi syariah, pergadaian syariah, dsb.
Ada pun klasifikasi keempat terkait Hukum Syariat Tata Negara atau Hukum Syariat yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan kekuatan negara, seperti Qishash dan Hudud, maka klasifikasi ini masih jadi perdebatan serius di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa atau tidak boleh, tapi hanya merupakan proses perjuangan yang masih memerlukan waktu.
Dengan demikian, sebenarnya 75 persen peluang Tathbiq Syariah sudah ada di tangan umat Islam, karena tiga dari empat klasifikasi sudah bisa dilaksanakan dengan leluasa. Ada pun yang 25 persen masih dalam proses perjuangan. Yakinlah, jika yang 75 persen kita jaga dan amalkan dengan baik, nisacaya keberkahannya akan membuka sisa peluang 25 persen lainnya dengan izin Allah SWT.
Strategi Tathbiq Syariah
Memperhatikan peluang Tathbiq Syariah sebagaimana diuraikan di atas tadi, maka penulis mengajak semua pihak yang peduli dengan penegakkan Syariat Islam untuk melakukan langkah-langkah konkrit sebagai berikut :
1. Terkait Hukum Syariat perorangan, maka mantapkan Iman, Islam dan Ihsan dalam pengamalan, karena itulah pembuka pintu keberkahan dan kemenangan perjuangan penegakkan Syariat Islam. Jangan sampai terjadi, seseorang berteriak keras tentang penerapan Syariat Islam, tapi mengamalkan perilaku syirik perdukunan, atau meninggalkan shalat, atau berakhlaq buruk.
2. Terkait Hukum Syariat Rumah Tangga, maka laksanakan perkawinan dan perceraian dengan cara Islam, penuhi hak dan kewajiban dalam rumah tangga sesuai aturan Syariat Islam, termasuk masalah warisan dan lainnya. Jika terjadi perselisihan dalam soal rumah tangga, maka selesaikan di Pengadilan Agama yang menggunakan Hukum Islam. Jangan sampai terjadi, seseorang berteriak keras tentang penerapan Syariat Islam, tapi kumpul kebo, berzina, atau selingkuh, atau pun menyelesaikan persoalan rumah tangga atau masalah warisnya di Pengadilan Negeri yang menggunakan Hukum Sipil.
3. Terkait Hukum Syariat Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, maka soal pendidikan, kembangkan pendidikan Islam, masukkan anak-anak kaum muslimin ke pesantren dan madrasah serta sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum khas Islam. Dan soal ekonomi, lakukan segala bentuk transaksi ekonomi, termasuk perbankan, asuransi dan pergadaian, serta persoalan mu'amalat lainnya, hanya dengan sistem ekonomi Islam. Soal budaya, pertahankan tradisi dan adat istiadat selama tidak brtentangan dengan Syariat Islam. Jangan sampai terjadi, seseorang berteriak keras tentang penerapan Syariat Islam, tapi berhubungan dengan sistem Riba, atau menyekolahkan anak di sekolah- sekolah non Islam, atau mengikuti budaya dan tradisi yang tidak Islami.
4. Terkait Hukum Syariat Tata Negara, yang juga mencakup Hukum Syariat yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan kekuatan negara, seperti Qishash dan Hudud, maka harus terus menerus diperjuangkan melalui koridor konstitusi, baik di tingkat Pusat mau pun Daerah. Sosialisaikan secara merata ke semua lapisan masyarakat tentang keindahan Syariat Islam, melalui Dakwah yang komprehensif. Jangan pernah putus asa, atau pun merasa lelah dalam memperjuangkan penegakkan Syariat Islam di semua bidang.
Kesimpulannya, mana-mana bagian Syariat Islam yang sudah bisa ditegakkan, dengan atau tanpa perundang-undangan negara, maka wajib untuk segera kita laksanakan. Sedangkan mana-mana bagian Syariat Islam yang belum bisa dilaksanakan kecuali dengan melibatkan aturan negara, maka kita harus terus memperjuangkan formalisasinya dalam bentuk perundang-undangan.
Pesan Pejuang Syariat
Di tahun 2003, tatkala penulis dan Ust. Abu Bakar Ba'asyir menghuni "pesantren" LP Salemba, kami dikunjungi seorang pejuang penegakkan Syari'at Islam di Indonesia, almarhum Hardjono Mardjono. Beliau datang menawarkan diri untuk menjadi Saksi Ahli dalam persidangan penulis, terkait Gerakan Nasional Anti Ma'siat yang digaungkan Front Pembela Islam (FPI). Sungguh mengharukan, banyak tokoh diminta oleh penasihat hukum penulis untuk menjadi Saksi Ahli, tapi umumnya menolak dengan berbagai alasan, tapi tokoh yang satu ini justru datang menawarkan diri. Tak disangka, ternyata itulah pertemuan terakhir penulis dengan sang pejuang, karena beberapa waktu kemudian beliau meninggal dunia saat sedangkan menjalankan kewajiban da'wahnya sebagai seorang pejuang yang mukhlish. Semoga Allah SWT memberkahi dan merahmatinya.
Dalam pertemuan penuh kenangan tersebut, ada pesan penting dari beliau tentang Piagam Jakarta. Beliau dengan semangat dan penuh percaya diri menyatakan bahwa saat ini Piagam Jakarta adalah JIWA Dasar Negara Republik Indonesia yang sah sesuai amanat Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959. Beliau menegaskan bahwa Dekrit tersebut secara De Jure mau pun De Facto telah secara sah membubarkan Konstituante dan mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Negara RI yang DIJIWAI Piagam Jakarta yang berintikan Tauhid dan Syariah.
Selanjutnya, beliau menekankan bahwa pada prinsipnya perdebatan tentang Piagam Jakarta sudah tidak perlu lagi, karena Piagam Jakarta sebagai JIWA Dasar Negara RI sudah FINAL dengan Dekrit tersebut yang hingga saat ini masih tetap berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Dan tentu saja menjadikan Piagam Jakarta sebagai JIWA Dasar Negara RI sudah semestinya, karena memang pada mulanya Dasar Negara yang menjadi Konsensus Nasional para Founding Father Bangsa Indonesia yang dicetuskan tanggal 22 Juni 1945 adalah Piagam Jakarta, bahkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 yang sah sebagai Dasar Negara adalah Piagam Jakarta, yang kemudian dikhianati oleh kelompok Sekuler pada tanggal 18 Agustus 1945.
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 merupakan pelurusan sejarah yang telah diselewengkan dan pengembalian Konsensus Nasional yang telah dikhianati,
sehingga sejak Dekrit tersebut dikeluarkan maka Dasar Negara yang paling autentik telah dikembalikan JIWANYA.
Beliau pun menyarankan agar FPI ke depan lebih pro aktif memperjuangkan perundang-undangan Syariat dari pusat sampai ke daerah, sebagai bentuk implementasi dari JIWA Dasar Negara RI yang berintikan Tauhid dan Syariah. Beliau pun menekankan bahwasanya, mereka yang menyebarluaskan paham atau perbuatan yang anti Tauhid dan anti Syariat berarti mereka lah musuh Pancasila yang sebenarnya.
Akhirnya, penulis hanya bisa mengatakan untuk almarhum: Selamat jalan pejuang ! Jasamu akan selalu kami kenang ! Pesanmu akan kami pegang ! Insya Allah kita menang ! Allahu Akbar !. []
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!