Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Oktober 2010 16:31 wib
5.668 views
DENSUS 88, GURUNYA SAJA TUKANG SIKSA!
Pasukan anti-teror Densus 88 yang dididik aparat intelijen Amerika Serikat dituduh menyiksa tahanan. Pers Barat kini menyorotinya.
Terbunuhnya Dr Azhari Husin, dalam pengepungan yang dilakukan pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88, November 2005, di Batu, Jawa Timur, memancing decak kagum di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia. Soalnya, selain disebut-sebut sebagai pembuat bom paling ditakuti di Asia, Azhari yang warga Malaysia itu dianggap otak terorisme di Indonesia, menyebabkan hampir 300 nyawa melayang.
Dia dianggap berada di belakang aksi teror mengerikan Bom Bali I, menyebabkan ratusan orang terbunuh – 88 di antaranya warga Australia. Dia pula dalang serangan bom di Hotel Marriott Jakarta, milik perusahaan bermodal Amerika Serikat. Azhari dituduh bertanggung jawab dalam serangan terhadap gedung Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
‘’Sekarang,’’ tulis koran berpengaruh Amerika Serikat, The New York Times, 16 November 2005, ‘’semua aparat hukum, diplomat, agen intelijen dari Amerika Serikat, Australia, dan Eropa mengatakan Indonesia telah mengalami sukses besar’’.
Pujian itu tentu ditujukan kepada pasukan anti-teror Densus 88 Polri yang dalam berita sama disebut memiliki kemampuan intelijen prima, selain interogator yang piawai. Berkat kehebatan pasukan ini semua peristiwa teror – dari Bom Bali 1, Hotel Marriott, sampai Kedubes Australia – bisa dibongkar. Pelakunya berhasil ditangkap dan diadili.
Padahal, puji koran itu, tak ada laporan yang kredibel tentang penyiksaan tahanan, tak ada Abu Ghraib atau Guantanamo. Dan Indonesia tak punya Internal Security Act, seperti Singapore dan Malaysia, yang membolehkan menahan orang lebih dari 2 tahun tanpa tuduhan. Pendek kata dalam berita koran utama dunia ini, Densus 88 betul-betul istimewa.
Pernyataan dari sejumlah pengacara – seperti Mahendradatta dari Tim Pembela Muslim (TPM) – pada waktu itu bahwa anggota Densus 88 menyiksa para tahanan, dianggap sepi atau dikategorikan tak kredibel. Rupanya bagi para wartawan Barat – yang katanya sangat profesional – sumber berita berbau Islam atau Muslim dianggap tak kredibel.
Tapi sekarang bacalah koran Australia, The Sydney Morning Herald atau The Age, atau koran Amerika Serikat, The Christian Science Monitor, maka Densus 88 sudah berubah wajah. Puja-puji itu kini telah berubah menjadi ejekan. Densus 88 yang dibentuk dan dibiayai pajak rakyat Australia atau Amerika Serikat, sekarang dituduh menyiksa para tahanan Republik Maluku Selatan (RMS). Karena itu koran tersebut meminta pemerintahnya bertanggung jawab atas tindak penyiksaan itu.
Selain itu lembaga advokasi HAM internasional Human Rights Watch dari New York dan Amnesty International dari London, tampak aktif mengumpulkan bukti-bukti penyiksaan para tahanan dengan mewawancara para tahanan di penjara, atau mewawancarai para saksi lainnya.
The Sidney Morning Herald edisi 13 September 2010, misalnya, dengan panjang-lebar menulis laporan penyiksaan oleh Densus 88. Itulah yang dialami Yonias Siahaya, 58 tahun, bersama 7 temannya senasib di Ambon yang ditangkap Densus 88 awal Agustus lalu.
Mereka dituduh mempersiapkan balon-balon udara untuk menerbangkan sejumlah bendera RMS. Aksi itu dimaksudkan sebagai menyambut kedatangan Presiden SBY ke Ambon, 3 Agustus 2010, guna memeriahkan perayaan Sail Banda. Densus kemudian menggeledah rumah mereka untuk menyita balon udara, bendera RMS, foto, rekaman video, dan sebagainya.
Tapi seperti dilaporkan koran Australia itu, dalam pemeriksaan di kantor Densus di kawasan Tantui, Ambon, para tahanan itu mengalami berbagai penyiksaan. Yonias Siahaya, misalnya, selama 4 hari terus-menerus disiksa petugas Densus. Darah keluar dari mulutnya dan akhirnya ia terpaksa dibawa ke rumah sakit.
Temannya, Paul Lodewijk Krikoff, mengaku dipaksa makan cabai. Ia diperintahkan memeluk dan mencium mulut seorang tahanan lain. Perlakuan seperti ini pernah terungkap dialami tahanan terorisme, Muhammad Jibriel. Selain disiksa, Jibriel mengaku ditelanjangi dan disuruh melakukan perbuatan sodomi kepada tahanan lain. Kasus ini kemudian telah dilaporkan Forum Ummat Islam (FUI) ke Komisi III DPR.
Sebelum ini, Presiden SBY pernah datang ke Ambon menghadiri perayaan Hari Keluarga Nasional di Stadion Merdeka, 29 Juni 2007. Ketika itu 28 penari membawakan Cakalele, tarian perang tradisional di hadapan Presiden, para pejabat setempat, serta sejumlah diplomat asing, para tamu terhormat dari Jakarta.
Tapi kemudian para penari itu mempermalukan Presiden SBY, ketika tiba-tiba mereka mengembangkan bendera RMS berukuran raksasa (panjang 9 meter) yang sebelumnya mereka sembunyikan di dalam peralatan music drum.
Seperti bisa dibaca dalam laporan Human Rights Watch, 22 Juni 2010, Presiden SBY tampak amat tersinggung oleh perlakuan para penari dari Pulau Haruku itu. Maklumlah semua itu terjadi di depan para tamu asing. ‘’Kalau ada acara yang mengganggu keutuhan kita sebagai bangsa dan negara, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, atas nama konstitusi tentu kita harus memberikan tindakan yang tegas dan tepat. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi,’’ kata SBY.
Maka segera setelah SBY meninggalkan Ambon, Densus 88 pun bergerak dengan cepat untuk melakukan ‘’tindakan yang tegas dan tepat’’, menangkap para penari Cakalele tadi. Seperti dimuat dalam laporan LSM itu, di dalam tahanan para penari babak-belur oleh siksaan.
Masih belum cukup. Majelis hakim yang mengadili mereka memberikan hukuman yang berat, berkisar 6 tahun sampai 20 tahun penjara. Kini mereka menjalani hukuman itu di berbagai penjara di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Nusa Kambangan, terpaut jauh dari keluarga mereka di Ambon.
Kasus tuduhan penyiksaan aktivis RMS ini belakangan berbuntut tuntutan di pengadilan di Den Haag yang mengakibatkan Presiden SBY terpaksa menunda kunjungannya ke Belanda, minggu pertama Oktober ini.
ABU GHRAIB, BAGRAM, DAN GUANTANAMO
Mengapa Densus 88 yang dulu dipuja-puji, kini diejek? Seperti ditulis koran The Sydney Morning Herald tadi, Amerika Serikat dan Australia memiliki kepentingan yang jelas di Indonesia yaitu memerangi ektrimisme Islam. Berbagai peristiwa terror, terutama Bom Bali 1, menyebabkan lebih 100 warga kedua negara menjadi korban.
Maka setelah peistiwa Bom Bali 1 dibentuklah Detasemen Khusus 88 dengan bantuan dana dan pelatihan sepenuhnya dari Australia dan Amerika Serikat. Detasemen itu memiliki sekitar 400 anggota di Jakarta, serta ratusan lainnya terserak di 33 Polda di daerah-daerah.
Tampaknya belakangan Densus 88 mulai meresahkan Amerika Serikat dan Australia ketika ternyata pasukan khusus itu tak hanya dikerahkan untuk menumpas terorisme (yang melibatkan kelompok Islam), tapi juga untuk menumpas gerakan separatis di Maluku (RMS) dan Papua (OPM) yang notabene melibatkan bukan orang Islam, melainkan Kristen.
‘’Kami semua disiksa di luar batas, dan selama dalam penyiksaan jika kami menyebut nama Tuhan Jesus kami ditinju dan ditampar,’’ kata Yusuf Sahetapy, salah seorang tahanan (The Sydney Morning Herald, 13 September 2010).
Juru Bicara Mabes Polri Komisaris Besar Marwoto Soeto mengatakan Densus 88 memang dibentuk untuk menghadapin terorisme. Tapi satuan itu, katanya, bisa juga ditugaskan menghadapi tindak kriminal dengan intensitas tinggi. ‘’Jadi menangani gerakan separatisme bukan di luar jurisdiksinya,’’ kata Marwoto.
Lagi pula yang mendidik Densus adalah aparat keamanan atau intelijen Australia dan Amerika Serikat. Bagi aparat intelijen Amerika Serikat, CIA, menyiksa tahanan adalah keahliannya. Selama ini, sudah banyak buku diterbitkan, banyak berita ditulis media massa menelanjangi penyiksaan yang dilakukan aparat intelijen Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib (Iraq), Bagram (Afghanistan), atau Guantanamo, Kuba. Ada lagi penjara rahasia CIA di Eropa.
Untuk mengelabui kontrol dari dalam negeri, CIA melakukan kerja sama dengan aparat intelijen negara lain. Tersangka yang ditangkap tak langsung dibawa ke Guantanamo tapi dikirim ke negara lain di Asia atau Afrika. Di sana mereka disiksa habis-habisan. Setelah pengakuan diperoleh baru mereka dikirim ke Guantanamo.
Perlakuan seperti itu antara lain dialami Binyam Mohamad, warga Ethiopia, yang ditangkap di Pakistan dan dituduh anggota Al-Qaeda. Ia dibawa aparat intel Amerika Serikat ke Maroko untuk disiksa. Di dalam sel, misalnya, ia tak bisa tidur karena pengeras suara dibunyikan keras-keras. Banyak siksaan lainnya. Terakhir alat kelaminnya dipotong.
Sejak 2004, ia menghuni Guantanamo. Tuduhan terhadapnya dibatalkan pengadilan pada 2009, setelah penyiksaan-penyiksaan itu dibuktikan di depan hakim. Lalu ia dibebaskan.
Sebuah laporan terbaru di Amerika yang dikeluarkan Pro Publica, lembaga pers non-profit, bekerja sama dengan National Law Journal, semacam penerbitan pengadilan, Agustus lalu, mengungkapkan bagaimana mayoritas tahanan Guantanamo memberikan pengakuan dalam pemeriksaan berkat siksaan (The New York Times, 26 Agustus 2010).
Hal itu diketahui setelah hakim memeriksa gugatan para tahanan Guantanamo. Seperti diketahui pada 2008, Mahkamah Agung memutuskan para tahanan yang merasa tak bersalah bisa melakukan gugatan ke pengadilan atas penahanan mereka di Guantanamo.
Ternyata dari 53 kasus yang diperiksa hakim, 37 kasus berakhir dengan kekalahan pemerintah. Sebagian besar kekalahan itu karena aparat keamananan tak bisa membuktikan tahanan itu anggota Al-Qaeda. Kalau selama ini mereka mengaku, tak lain karena tak tahan menghadapi siksaan. Kalau gurunya saja begini, bagaimana pula muridnya?. (AMRAN NASUTION)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!