Jum'at, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 17 Februari 2023 22:50 wib
22.324 views
Cerpen: Valentine for Gaza
Hai, Salam sobat muda voa-islam yang dirahmati Allah. Cerpen di bawah ini pernah diterbitkan dalam bentuk buku kumcer (kumpulan cerpen) para penulis berjudul Gadis Kota Jerash. Saat itu Gaza nyaris lebur dibombardir oleh Israel laknatullah. Jadilah kami, para penulis berusaha mengambil peran membantu Gaza dalam bentuk tulisan. Hasil penjualan 100% disalurkan untuk saudara kita di Gaza.
Dalam rangka mengenang dan menyimpan momen tersebut, maka voa-islam memuatnya kali ini. Enjoy!
-----------------------------------
Valentine for Gaza
By: Ria Fariana
7 Januari 2009
Hari ini, aku berangkat sekolah dengan riang gembira. Mom bilang bila seminggu ini aku tidak nakal, maka ia akan mengajakku pergi rekreasi. Hurray…senangnya. Semoga saja aku bisa ‘tidak nakal’ menurut mereka, karena seringkali apa yang mereka anggap nakal, bagiku itu biasa saja. Misalnya saja ketika ada desingan suara bom terlontar dari perbatasan jalur Gaza, aku memilih untuk memandang ke arah mana roket itu mengarah. Aku tidak suka berlari-lari untuk sembunyi di bawah tanah seperti teman-temanku lainnya. Dan sampai di rumah, mom pasti menganggapku anak nakal karena bisa saja aku terbunuh bila tidak segera sembunyi, begitu selalu katanya.
Sambil berjalan ke sekolah yang jaraknya Cuma sekitar 15 menit dari rumah, aku masih terus berpikir, apa enaknya sih bersembunyi di lorong pengap itu. Toh, selama ini juga tak ada yang mati karena serangan roket yang memang sering aku lihat berdesing di udara. Paling tidak aku belum pernah melihat sendiri ada tetangga atau temanku mati dan berdarah-darah karena roket. Ada sih tetanggaku, Mr. Sharon mati tapi usianya memang sudah tua, 65 tahun. Mom bilang itu akibat serangan roket Hamas dari jalur Gaza. Waktu kubilang, “Bukan, Mom. Mr. Sharon mati karena serangan jantung.” Eh, kembali aku dibilang anak nakal dan disuruh diam. Aku masih tak habis pikir, kalau memang karena bom dan roket, harusnya ada darah keluar dari tubuh tua itu.
Kulihat jam di tangan kiriku, kurang 10 menit lagi masuk kelas. Teman-teman perempuan bergerombol, pasti mereka sedang merencanakan Tu B’Av, hari cinta dan kasih sayang versi Yahudi yang dipercepat jadi 14 February. Mom sudah mengingatkanku untuk segera menyewa baju putih di butik, tapi aku masih malas melakukannya. Aku belum berniat untuk menikah apalagi pacaran dengan laki-laki ingusan itu. Usia 12 tahun tak membuatku tertarik untuk menjadi gadis genit yang ikut-ikutan acara Valentine.
Aku lebih suka melihat langit, arah mana biasanya roket Qossam berasal. Ada apakah di balik tembok perbatasan itu? Apa yang ada di benak para pelempar roket anggota Qosam itu? Hhh…betapa inginnya aku bisa berbincang dengan mereka. Bel berbunyi, kulangkahkan kaki menuju kelas. Tiba-tiba…ada suara lain yang juga berbunyi! Sirene yang meraung keras tanda ada roket yang mengarah ke Sderot bagian selatan dan itu artinya tepat mengarah ke sekolah kami!
Teman-teman berlarian semua menuju bungker bawah tanah. Aku pun ikut berlari, tapi tidak searah dengan mereka. Belum jauh aku melangkah, aku ingat kata-kata Mom, “Jika kamu tidak nakal seminggu ini saja, maka Mom akan mengajakmu rekreasi ke Parash Hill.” Dan Mom sangat tahu bahwa tempat itu adalah surga bagiku karena keindahannya yang luar biasa. Dari puncak bukit Parash, kota Gaza terlihat hijau di kejauhan berupa ladang dan padang rumput yang mempesona. Laut Mediterania juga terlihat jelas dengan warna birunya yang khas dan luar biasa. Disana juga tersedia bangku-bangku untuk bercengkerama bagi para wisatawan. Bagi anak-anak ada ayunan yang membuat suasana hari menjadi semakin menyenangkan. Lalu ada juga patung orang naik kuda. Untuk gampangnya orang biasa menyebut Parash Hills dengan Horseman Hills, yaitu bukit orang berkuda karena adanya patung ini. Ah…tak sabar rasanya untuk ke Parash Hills.
Tapi sekarang, rasanya mimpi itu harus sirna. Karena aku masih saja disini, bahkan berlari kea rah roket Qassam mengarah. Hanya sekitar 15 detik dari sirene dibunyikan oleh pemerintah daerah Sderot, roket itu meluncur deras ke arah tak terduga. Sderot bagian selatan adalah yang paling sering disasar oleh roket-roket Al-Qossam dan itu berarti sekitar daerah tempatku tinggal dan bersekolah. Dan bagiku, menyaksikan roket meluncur sama asyiknya dengan menikmati ice cream. Bila ice cream memberi sensasi lumer di lidah, maka roket Al Qossam melumerkan hati.
Orang-orang akan berlarian dengan panik mencari tempat perlindungan bila tak sempat baginya untuk menuju bungker bawah tanah. Tapi bagiku, tindakan itu aneh dan lucu. Roket itu tak berbahaya menurutku karena sejauh yang aku tahu dengan mata kepalaku sendiri, belum pernah ada penduduk yang terkena efek langsung serangan roket itu hingga berdarah-darah dan meninggal. Oleh karena roket itu tak berbahaya, aku malas sembunyi di bungker. Selain pengap dan gelap, hanya orang-orang pengecut saja yang takut pada kematian.
Dan aku punya setengah jiwa pengecut itu. Aku memang tak takut mati, tapi aku takut Mom tahu bahwa aku sedikit kagum pada orang-orang Al-Qossam itu yang tak takut mati. Roket sederhana mereka yang sangat jarang bisa membunuh kami (memberi efek rasa takut mereka berhasil, tapi itu karena kami memang tipe takut mati) dilawan dengan senjata dan roket canggih angkatan bersenjata Israel. Bahkan sering aku lihat anak-anak seusiaku di balik tembok yang memisahkah Sderot dengan Gaza yang kurang dari 1 mil, malah menggunakan batu untuk melawan pasukan kami.
Aku bahkan baru sadar kalau aku mempunyai jiwa pengecut. Kupikir aku dulu ingin menjadi perempuan Yahudi yang berbeda. Tapi ternyata untuk menunjukkan kagumku pada Al Qossam saja aku tak berani. Bukan tanpa alasan sikapku ini, karena dulu aku pernah melontarkan kalimat yang sedikit membela kelompok yang disebut Amerika dan bangsaku sebagai teroris ini, Mom sudah langsung menyambetku dengan sabuk yang saat itu dilepasnya dari pinggangnya.
Mom memang wanita yang keras. Tokoh idolanya saja Tzipi Livni, si perempuan berdarah dingin itu. Dulu aku sempat mengidolakan wanita itu pula, karena Mom sering sekali menceritakan kehebatan wanita berwajah kotak itu. Tapi setelah tahu sepak terjangnya, simpatiku padanya mulai luntur. Aku banyak membaca berita-berita yang tidak melulu bersumber dari mereka yang membela Israel. Aku ingin tahu apa kata dunia tentang negeri Zionis kami ini. Dan saat itulah aku tahu bahwa Livni ini adalah satu dari banyak petinggi Israel yang menyuruh penyerangan membabi-buta ke Gaza.
17 January 2009
Akhirnya beberapa hari ini aku mampu duduk manis di dalam bungker bawah tanah ketika ada alarm berbunyi tanda Qossam melancarkan roket, Mom memenuhi janjinya untuk mengajakku rekreasi ke Parash Hills atau lebih terkenal dengan Horseman Hills. Meskipun dekat, kami berangkat ke lokasi naik mobil terbaru Pap. Ketika sudah dekat, kami memilih jalan kaki untuk mendaki bukit indah ini. Seperti kebiasaan semua orang bila datang ke Horseman Hills, mereka membawa teropong untuk melihat hijaunya kota Gaza dan Laut Mediterania di kejauhan.
Hari masih cukup pagi, matahari baru saja menampakkan dirinya dengan anggun di ufuk timur. Belum panas benar. Tapi keadaan langit agak berbeda pada rekreasi kali ini. Horseman Hills yang biasanya tenang dan cenderung sepi, menjadi sedikit bising dengan suara pesawat hilir mudik di udara. Langit pun tak lagi terlihat biru karena banyak burung-burung besi yang beterbangan menuju arah Gaza. Bahkan sesekali suara dentuman terdengar di kejauhan. Dan setiap dentuman itu terdengar, maka suara teriakan puas dan tepuk tangan pun bergema di Horseman Hills ini. Wajah wisawatan Setelah Mom dan Pap puas melihat, teropong itu akhirnya diberikan padaku.
Pertama mula masih belum jelas akan apa yang kulihat disana. Namun lama-lama aku baru menyadari apa yang sedang kulihat ini. Aku jadi tahu mengapa orang-orang ini bersorak dan bertepuk tangan setiap kali ada dentuman terdengar. Kujauhkan lensa teropong dari mataku yang tiba-tiba perih. Aku terhuyung.
“Bagaimana, sweetheart? Indah bukan pemandangannya? Satu ketika nanti kamu pasti bisa seperti itu, jadi salah satu pilot yang mengemudikan pesawat tempur. Bukankah itu cita-citamu?” Mom memandangku dengan tersenyum. Tapi aku memandang Mom dengan tatapan ngeri. Mom yang biasanya terlihat cantik dengan rambutnya yang berwarna pirang keemasan, saat ini tak ubahnya seperti monster ganas dengan tanduk di kepala dan taring di sela giginya. Aku pun menjerit histeris.
Pap datang berusaha menenangku. Bukannya tenang, aku makin berteriak dan memberontak dari pegangan Pap. Kulihat wajah yang biasanya tampan seperti Mel Gibson, saat ini pun seperti makhluk buas penuh dengan darah di mulutnya. Darah itu bukan darah binatang melainkan darah manusia, darah manusia-manusia Gaza terutama anak-anak seusiaku.
Orang-orang yang tadi bersorak gembira dan bertepuk tangan setiap mendengar suara dentuman di kejauhan, datang menolong Mom dan Pap. Wajah mereka juga tak jauh berbeda dengan wajah Mom dan Pap, penuh berleleran darah segar di tiap mulutnya dan mereka tertawa puas. Aku semakin berontak tak karuan, menendang-nendang ke segala arah.
Entah berapa lama aku seperti itu karena kemudian aku merasakan suntikan yang membuat kepalaku berat dan kehilangan kesadaran. Ketika siuman, kulihat langit kamar di atasku berwarna putih, pdahal seingatku kamarku berwarna biru. Dan ketika kucoba untuk bangun, tanganku telah terikat, juga kedua kakiku. Ada suara-suara tak jelas di luar ruangan. Ketika aku masih setengah bingung, pintu kamar terbuka dan…aku kembali berteriak histeris sekeras-kerasnya. Mom, Pap, kupanggil nama itu berulang-ulang. Aku rindu dengan mereka berdua. Tapi mengapa wajah Mom dan Pap menjadi berubah?
1 Februari 2009
Aku tak ingat berapa hari terbaring dengan kondisi terikat. Lama-lama aku lelah berontak dan menjadi terbiasa memandang Mom, Pap dan hamper semua orang yang kutemui berwajah penuh darah terutama di mulutnya. Hanya anak kecil dan bayi yang masih bisa kulihat dengan wajah tanpa darah. Ketika sudah tak berontak lagi, para dokter pun (mereka juga bermulut penuh darah) melepas ikatanku. Mom dan Pap membawaku pulang.
Sesampai di rumah, para Rabi Yahudi didatangkan untuk mendoakanku dan mengusir arwah yang dianggap menganggu jiwaku ketike berwisata ke Parash Hills. Para Rabi ini datang dengan wajah penuh darah yang jauh lebih banyak daripada orang-orang lainnya. Kutahan sekuat tenaga agar aku tak menjerit dan berontak, aku tak ingin diikat lagi.
Aku pun memilih mengurung diri dalam kamar. Sesekali saja temanku datang untuk menengokku. Tapi bukannya menghibur, mereka lebih asyik bercerita tentang persiapan hari Valentine tanggal 14 Februari nanti. Baju putih, pesta dansa, siapa laki-laki di sekolah yang mereka suka sehingga berharap nantinya akan diajak pacaran olehnya, mendominasi pembicaraan mereka. Beberapa di antara mereka ada yang bersih wajahnya tapi lebih banyak lagi yang mulutnya berlumur darah. Aku sudah mulai terbiasa dengan apa yang kulihat itu.
Kututup mataku dan apa yang kulihat ketika berwisata di Parash Hills kembali hadir. Darah-darah itu, tubuh-tubuh koyak itu, suara desing bom, teriakan gembira dan tepuk tangan berkelebat membuatku menggigil akibat menahan diri agar tidak berteriak dan berontak. Satu demi satu temanku beringsut pulang ketika Mom datang untuk menyelimutiku dan aku tetap menutup mata, berharap supaya tidak melihat wajah Mom yang penuh dengan mulut berlumur darah.
14 Februari 2009
Keluar rumah memakai baju putih dan berdansa di kebun anggur adalah tradisi Tu B’Av Yahudi yang sekarang banyak dialihkan ke perayaan Valentine. Tapi karena sekolah kami jauh dari perkebunan anggur, maka pesta kebun diadakan di halaman belakang sekolah yang luas. Suasana pink dan gambar hati ada dimana-mana. Di kejauhan, semburat jingga mentari yang akan tenggelam menambah romantis suasana sebelum akhirnya musik dimainkan.
Para gadis yang semuanya berpakaian putih, gaun dari hasil meminjam ke butik agar tak ada yang terlihat kaya atau miskin, memasuki arena dansa. Mereka berdansa disertai dengan pandangan liar para lelaki untuk memilih gadis paling seksi dan cantik. Meskipun sangat dianjurkan memilih gadis bukan karena kecantikan fisiknya tapi lebih ke inner beauty, tapi siapa peduli? Saran tinggal saran, gadis seksi dan cantik yang lebih laku untuk dijadikan pacar atau istri.
Di tengah-tengah dansa para gadis, mereka mengucapkan kata-kata semacam mantra “Hai para pemuda, bukalah mata kalian dan lihatlah kami. Pilihlah kami sebagai pasanganmu.” Para pemuda kemudian datang dan memilih gadis yang disuka kemudian mereka berdansa berpasangan.
Aku melangkah menjauh dari tempat pesta. Kulangkahkan kaki menuju dataran agak tinggi menyerupai bukit, mendekat ke matahari yang hamper sempurna hilang di ufuk barat. Ketika berjalan tadi aku sempat mendengar beberapa orang bercakap-cakap membicarakanku, “Kasihan Julia, roket Qassam telah membuatnya depresi. Itulah akibatnya bila seorang gadis tak mendengar nasehat orang tua. Bukannya sembunyi di bungker bawah tanah, ia malah lari mendekat ke arah roket Qassam mengarah.”
Tak kuhiraukan kata-kata itu. Semua orang mengira aku depresi karena terror roket Qassam dari jalur Gaza. Itu pula yang selalu dijadikan alasan bagi Israel untuk menyerang Gaza dengan membabi buta. Kulayangkan pandang ke arah Gaza di kejauhan. Kututup mata dan pemandangan yang kusaksikan melalui teropong di tempat wisata Horseman Hills kembali membayang. Darah tercecer dimana-mana, jasad yang dimakan anjing, suara bom dan kepulan asap, tubuh-tubuh terkoyak, jeritan kematian, bayi dan anak kecil terkapar berserakan, semua itu silih berganti hadir dengan sosok Mom, Pap, para tetangga, para dokter di rumah sakit itu, para Rabi, sebagian teman-teman, dan hamper semua orang di Israel mempunyai wajah itu; mulut penuh berlumuran darah segar dan kepuasan terpancar di mata mereka.
Happy Valentine Palestine, aku bergumam sendiri dengan mata nanar menatap ke Gaza sementara suara di belakangku, hentakan musik dansa tentang cinta dan kasih sayang terus membahana. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!