Rabu, 25 Jumadil Akhir 1446 H / 15 Desember 2021 14:17 wib
26.887 views
Depresi dan Aborsi, Pacaran Sehat Bukan Solusi!
Oleh: Nuraisah Hasibuan S.S.
Kasus kematian Novia Widyasari, seorang mahasiswi Universitas Brawijaya Malang, telah menarik perhatian banyak orang baik dari kalangan warganet bahkan politisi. Kematian yang disinyalir karena depresi setelah diperkosa dan dipaksa aborsi tersebut membuat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA), Bintang Puspayoga, angkat bicara. Bintang menyebut kasus yang menimpa Novia termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Menurutnya ini adalah pelanggaran HAM.
Dukungan warganet juga terus mengalir. Tidak tanggung-tanggung, tagar #savenoviawidyasari bergema di Twitter. Lebih dari 64 ribu cuitan menunjukkan empati terhadap Novia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati, juga menyatakan keprihatinannya atas rentetan kasus percobaan bunuh diri dan bunuh diri pada generasi muda bangsa. Ai mengatakan ini harus jadi perhatian serius bagi seluruh elemen masyarakat, yaitu keluarga, masyarat, dan pemerintah.
Keprihatinan ini bukan tanpa alasan, sebab kasus bunuh diri Novia ini bukanlah yang pertama di negeri ini. Tahun lalu sempat viral berita bunuh diri oleh seorang mahasiswi di Ambon yang meninggal gantung diri, karena depresi diputusin pacarnya. Juga seorang siswi SMK di Gresik yang bunuh diri setelah bertengkar dengan kekasihnya. Di Toraja, seorang siswi SMK meninggal gantung diri di pohon jambu dengan menggunakan dasi sekolahnya. Yang terbaru di Talaud, seorang siswi bunuh diri meminum racun karena ditegur ibunya saat kedapatan pacaran di dalam kamar.
Dan masih banyak lagi deretan kasus bunuh diri lain yang tidak terekspos media, yang itu diakibatkan depresi masalah pacar.
Angka kematian akibat bunuh diri memang telah menjadi perhatian dunia sejak dulu hingga kini. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah angka kematian akibat bunuh diri di dunia mencapai 800 ribu per tahun. Itu artinya ada yang mati bunuh diri setiap 40 detik. Di Indonesia sendiri, salah satu penyebab utama bunuh diri adalah karena konflik dengan pacar.
Itulah sebabnya, Komisioner KPAI mengimbau agar orang-orang terdekat memiliki deteksi terhadap perasaan yang dialami anak. Misalnya saat anak galau karena putus cinta. Pendapat yang senada juga datang dari Praktisi Psikolog Anak, Endy Widyorini. Endy menjelaskan bahwa masalah utama seorang anak berani melakukan bunuh diri adalah karena faktor usia yang memang rentan mengalami depresi. Tambahnya lagi, pada masa-masa ini orang tua harus memberi edukasi dalam hal berpacaran sehat. Menurutnya sumber depresi remaja adalah karena pemahaman yang tidak realistis tentang pacaran.
Memprihatinkan memang. Remaja yang diharapkan jadi generasi penerus bangsa malah sangat rapuh bahkan oleh masalah sepele seperti pacaran.
Sangat disayangkan pula, baik MenPPPA, Komisioner KPAI dan praktisi Psikolog Anak, tidak ada yang menyoroti kasus bunuh diri ini sebagai dampak dari minimnya pendidikan agama dan tidak diberlakukannya aturan yang tegas terkait interaksi antara pria dan wanita.
Betul, pernyataan Komisioner KPAI bahwa seluruh elemen masyarakat harus serius menangani masalah ini. Namun menjadi blunder saat dikatakannya lagi bahwa contoh keseriusan itu adalah dengan memahamkan anak tentang pacaran sehat.
Sebab faktanya, tidak ada yang namanya pacaran sehat. Sebaliknya, pacaran adalah pintu menuju kerusakan yang besar, seperti zina, aborsi, usia yang tidak produktif, dan lain sebagainya.
Dengan mengizinkan anak berpacaran, meski dibarengi wejangan pacaran sehat, sama artinya orang tua mengantarkan anaknya pada maksiat, menuju kerusakan. Jadi salah besar jika ada imbauan agar para orang tua mengajarkan anak-anak mereka tentang pacaran sehat. Karena satu-satunya yang harus dilakukan justru dengan melarang anak-anak mereka berinteraksi yang tidak penting dengan yang bukan mahramnya.
Aturan Allah Swt tidak pernah salah. Ketika mendekati zina dilarang, maka segala akses menuju ke sana wajib dijauhi. Jika tidak, akibatnya adalah gaya hidup bebas dan rusak seperti yang saat ini melanda generasi muda.
Penanganan yang serius haruslah dengan cara yang benar. Pertama, dari pihak keluarga wajib memahamkan akidah Islam sejak dini. Agar tertanam ketaatan pada Allah Swt dan agar anak memiliki rem saat berhadapan dengan dunia luar yang penuh godaan.
Ke dua, dari pihak masyarakat harus memiliki kepedulian terhadap sesama warga. Saling menjaga dan tidak terkesan membiarkan saat menyaksikan kemaksiatan. Misalnya saat di lingkungannya terlihat perempuan dan laki-laki yang berkhalwat tanpa uzur syar'i. Masyarakat juga harus sepakat untuk tegas melarang saat ada kegiatan yang mengharuskan ikhtilat seperti.
Dan ketiga yang sangat penting, harus ada peraturan tegas tentang larangan mendekati zina yang diberlakukan pada seluruh warga negara. Peraturan ini harus tertuang dalam undang-undang negara. Termasuk juga harus ada sanksi yang sama tegasnya jika aturan ini dilanggar.
Artinya, pemerintah harus memiliki kontrol terhadap aktivitas seluruh rakyatnya, demi menjaga mereka dari keburukan maksiat. Dengan begini, kasus bunuh diri akibat masalah pacaran bukan hanya dapat diminimalisir, tapi juga dicegah.
Demikianlah solusi tuntas terhadap kasus bunuh diri yang sedang marak saat ini. Ternyata penyebab utamanya bukan karena usia remaja yang rentan depresi, bukan pula karena minim edukasi pacaran sehat. Namun semata-mata karena tidak diterapkannya aturan Allah Swt dalam bingkai keluarga, masyarakat, dan negara. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!