Ahad, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 30 September 2018 01:36 wib
8.984 views
Media Sosial: Selfi, Unjuk Diri, atau Eksistensi?
Oleh : Tari Ummu Hamzah
Menurut penelitian yang dilakukan We Are Social, perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. (kompas.com)
Masih dilansir dari kompas.com, dari laporan berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World" yang diterbitkan tanggal 30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen.
Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial, dengan penetrasi 45 persen. Dalam sepekan, aktivitas online di media sosial melalui smartphone mencapai 37 persen.
Data di atas menunjukkan besarnya penggunaan media sosial di Indonesia. Bagaimana tidak, di zaman milenial ini teknologi dan media sosial nyaris menjadi faktor utama sebagai penunjang berbagai aktivitas. Gadget, signyal dan kuota menjadi list kebutuhan pokok masyarakat milenial, bahkan menjadi syarat dasar eksistensinya di dunia maya.
Pengaruh sosial media pada masyarakat
Keberadaan sosial media mempengaruhi serta mengubah kebiasaan dan cara pandang masyarakat akan banyak hal. Tidak hanya pengaruhnya yang besar, aktivitas masyarakat saat ini pun banyak yang menggantungkan hidup dari media sosial. Pada akhirnya media sosial menjadi poros eksistensinya. Kita ambil contoh jual beli online. Mulai dari marketing dan transaksinya, semua bisa dilakukan di media sosial. Muncul pula istilah-istilah baru seperti netizens, citizen journalis, selebgram, endorse, Instagramable dll. Cukup banyak orang saat ini menggantungkan penghasilan dari eksistensinya sebagai Vlogers atau YouTubers. Jangan salah, aktivitas tersebut bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah dari iklan dan endorsement.
Tidak hanya dari sisi penghasilan, dari sisi kebiasaan masyarakat juga sangat terikat dengan sosial media. Kita ambil contoh orang yang pergi ke restoran. Dulu ketika sosial media belum ada, kebutuhan akan restoran kalau tidak makan ya untuk sekadar nongkrong. Hal ini jadi berbeda saat gadget meraja. Sekarang ini restoran bukan hanya memenuhi kebutuhan manusia dalam urusan perut, tapi juga masalah eksistensi.
Masuk restoran selfi, sebelum makan instastory dulu, setelah makan buat boomerang video di instagram. Akhirnya menjamurlah restoran yang berkonsep unik agar Instagramable. Ini adalah salah satu cara pemilik restauran untuk menarik pengunjung, baik di dunia maya atau dunia nyata.
Tidak hanya itu, saat masyarakat kota hendak pergi ke taman kota, tujuannya tidak lagi untuk bersosialisasi saja, tapi juga bentuk eksistensi terhadap sosial media. Akhirnya menjamurlah taman-taman di pusat kota-kota di Indonesia, yang dipercantik agar Instagramable. Hal ini bertujuan agar kota-kota kecil bisa dikenal di seluruh Indonesia.
Bukan masyarakat awam saja yang menggantungkan aktivitasnya di sosial media, para pengemban dakwah ideologis pun tak kalah unjuk diri dalam aktivitas dakwahnya di media sosial. Sebab saat ini masyarakat tak lagi mencari-cari berita tapi berita itu datang dengan sendirinya lewat media sosial.
Kesempatan inilah yang digunakan para pengemban dakwah ideologis untuk meng-opinikan Islam di media sosial. Maka menjamur pula kajian-kajian Islam yang bertema menarik, berkonsep unik yang instagramable, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikutinya dan agar dikenal di seluruh Indonesia.
Uniknya, banyak dari peserta yang mengaku mengetahui info kajian dari media sosial. Transaksi infaq serta pendaftaran pun dilakukan via media sosial pula. Ajang selfie saat kajian juga terjadi, insya Allah bernilai positif. Bagaimana bisa? Kajian Islam ini bisa menjadi bukti bahwa media sosial mampu mempererat tali ukhuwah Islamiyyah.
Bukankah aktivitas ini lebih bermanfaat dari sekadar selfie di restoran atau di taman? Bahkan sangat selaras antara aktivitas dunia maya dan dunia nyata. Jadi poros kehidupan ada pada dakwah itu sendiri, bukan eksistensi diri di sosial media. Karena sungguh, segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!