Kamis, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Agutus 2012 14:21 wib
7.525 views
DKI Menjadi Kuburan Partai Politik?
Jakarta (voa-islam.com) Usai Idul Fitri bakal ketahuan. Nasib partai-partai politik. Apakah rakyat masih mempercayai partai politik atau tidak? Apakah partai politik masih menjadi tempat penyalur aspirasi rakyat atau tidak? Keputusan rakyat usai Idul Fitri nanti, pasti berdampak terhadap pemilu 2014.
Sebenarnya, pemilukada DKI putaran pertama, di mana pengikut Golput yang hampir mencapai 40 persen, sudah menjadi tanda, begitu besarnya tingkat ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik, dan tokoh-tokoh yang akan memimpin DKI, termasuk terhadap tokoh-tokoh partai politik. Rakyat sudah sangat mafhum, bahwa partai politik itu, identik dengan korupsi, koruptor, dan inkonsistensi alias munafik.
Semua partai politik dan tokohnya melakukan pragmantisme politik. Tidak ada satupun partai yang dengan sangat serius, berpijak dan berpegang pada ideologi yang menjadi dasar gerakan perjuangannya.
Semua bisa dilihat dalam pola koalisi yang mereka lakukan. Ibaratnya orang kawin dengan pasangan yang gonta-ganti. Tidak peduli. Apakah pasangan itu sehat secara jasmani dan rohani, atau tidak. Tidak terkena penyakit berbahaya alias HIV. Sudah tidak peduli. Tidak ada lagi yang menjadi dasar koalisi itu kesamaan, misalnya "aqidah".
Semuanya yang berlaku kaidah "wani piro" (berani berapa), dalam hitung-hitungan harga, yang bisa disepakati bersama antara kekuatan partai politik dengan calon. Itulah yang menjadi prinsip atau kaidah koalisi. Tidak dikedepankan visi, misi, dan kaidah moral, serta fatsoen politik (etika politik). Semua yang terjadi hanyalah proses yang bersifat traksaksional.
Bisa jadi partai politik yang awalnya bertolak belakang, dan menjadi kompetitornya, kemudian mendukung kompetitornya. Sudah tidak ada lagi risih alias malu. Karena, sudah tidak ada lagi, yang namanya fatsoen politik. Semua yang ada hanyalah pragmatisme belaka.
Semuanya yang menjadi hitung-hitunganya yang bersifat materi (fulus), bukan ideologi atau keyakinan, yang menjadi dasar gerakan politiknya. Ideologi gerakan ditinggalkan. Ideologi sementara di grounded (ditanggalkan). Tidak lagi dipakai dalam mengambil keputusan politik. Nilai-nilai ideologi politik itu, hanyalah dalam tingkat indoktrinasi di kalangan kader belaka. Tetapi, tidak terkait dalam praktek politik.
Maka, semua partai politik yang sekarang sudah menjadi oligarki, di mana sekelompok kecil elite (pimpinan) dalam partai yang sangat berkuasa, dan mereka yang menentukan keputusan dan kebijakan partai. Mereka yang membuat seluruh keputusan dan kebijakan, tanpa mengedepankan yang namanya prinsip ideologi perjuangan, dan bahkan meninggalkan fatsoen politik.
Kader dan para anggota serta pengurus, hanyalah serpihan, yang hanya bisa berkata : "sami'na wa atho'na" (kami mendengar dan taat). Dengan kondisi seperti itu, para elite partai itu sangatlah dimanjakan. Mereka bisa mirip "nabi", yang ucapan dan tindakannya diyakini dan ditaati.Mereka bisa terus berkuasa, dan memiliki kekuasaan tanpa batas, dan menentukan segala permasalahan dalam kehidupan partai itu.
Wajar. Kalau melihat dinamika partai-partai yang ada seperti sangat tidak rasional. Alias tidak masuk akal. Mereka menentukan dengan siapa harus berkoalisi. Masalah partai mana, ideologi apa, semua itu sudah tidak ada persoalan yang perlu dipersoalkan. Persoalan ideologi dianggap sudah selesai. Karena ideologi sudah benar-benar di tangalkan. Jadi berbicara soal ideologi dan agama, sekarang menjadi sangat paradok.
Sebuah partai yang awalnya mengaku partai agama, disebuah pilkada di daerah tertentu, mendukung calon yang berbeda agama. Tokohnya mengatakan sudah tidak zamannya menjadikan isu agama, dan tidak menjadikan persoalan agama sebagai persoalan yang sangat serius.
Tetapi, sekarang ini di dalam kontek di DKI, dikembangkan pseudo perbedaan agama. Inilah inkonssistensi. Kecuali kalau partai agama itu, hanya mengedepankan koalisinya dengan syarat-syarat yang ketat, dan tidak dilepaskan dengan masalah agama. Tetapi, selama ini kenyataan tidak, dan ini sudah terjadi secara terbuka, di berbagai daerah. Bagaimana praktek-praktek politik yang dijalankan, khususnya dalam koalisi dan dukungan.
Sekarang Fauzi Bowo (Foke) didukung seluruh partai politik. Partai Demokrat, Golkar, PPP, PKS, PKB, PAN, dan sejumlah partai lainnya. Apakah Foke akan memenangkan putaran kedua nanti?
Hasil pertarungan ronde kedua antara Foke melawan Jokowi, hanyalah menunjukkan bagaimana sikap rakyat terhadap partai-partai politik, pemimpin partai politik yang ada. Kalau Foke menang berarti rakyat masih percaya terhadap partai-partai politik. Mesin partai politik masih berjalan alias bergerak. Kader partai masih benar-benar taat dan percaya terhadap para pemimpin mereka.
Sebaliknya kalau Jokowi yang menang, itu hanyalah menggambarkan rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap partai politik, pemimpin partai politik, termasuk tokoh yang diusung oleh partai-partai politik. Inilah esensi pertarungan di ronde kedua antara Foke dengan Jokowi. Sejatinya bukan pertarungan antara Foke dengan Jokowi, tetapi pertarungan antara rakyat dengan partai-partai politik dan pemimpin partai politik.
Memang, secara terbuka dan sangat kasat mata (ceto welo-welo), partai politik, tidak lain hanya tempat dan gudangnya para koruptor, yang hanya menyusahkan hidup rakyat. Mereka menggunakan partai politik, hanyalah untuk mensiasati rakyat, menipu rakyat, dan mendustai rakyat.
Sementara itu, para elite partai berpolitik seperti Machiavellis, yang menghalalkan segala cara. Di mana semua aktivitas politik tidak bisa dipisahkan dengan traksaksi "uang", yang akhirnya hanya digunakan memperkaya para elite partai.
Aqidah mereka yang terus ditanamkan dalam pikiran, hati, dan diwujudlkan dalam bentuk amal, tak lain, sebuah pameo : "Tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi". Kemarin musuh. Besok menjadi teman. Kemarin teman. Besok menjadi musuh. Tentu bagi pengikut dan kader partai yang taat dan loyal, semuanya tidak pernah dimengerti. Mereka akan berkorban apa saja demi partai.
Tetapi, entahlah di pemilukada DKI putaran kedua ini, yang akan berlangsung usai Idul Fitri. Apakah rakyat masih dapat bersikap rasional dan menggunakan akal sehat mereka? Apakah kader partai masih akan all out membela keputusan elite partai yang memberikan dukungan kepada calon tertentu?
Memang, sekarang Jokowi menjadi antitesa dari Foke, yang sangat berbeda. Jokowi menyihir rakyat di Jakarta. Dengan etalese sebagai walikota Solo. Seakan Jokowi seperti tukang sulap, yang segera akan menyulap DKI Jakarta, kalau Jokowi menjadi gubernur. Seperti orang berharap terhadap ratu adil. Sama halnya, ketika Soeharto jatuh, lahir pemimpin baru, yaitu Megawati, dan dielu-elukan luar biasa.
Megawati disebut "ratu adil", yang akan membawa keadilan, kebahagiaan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa. Kenyataannya yang ada semuanya "nothing". Tidak ada yang terbukti. Sebaliknya, yang ada hanyalah kader-kader PDIP masuk bui, karena korupsi.
Ternyata Megawati hanyalah seorang perempuan saja, dan tidak lebih. Ketika berkuasa, tak berbeda dengan penguasa sebelumnya. Bahka, asset negara habis dijual, di zamannya Laksamana Sukardi menjadi Meneg BUMN.
Megawati lengser digantikan seorang tokoh militer SBY. SBY menang dan mendapatkan dukungan luas rakyat. Tokoh militer ini, seperti digambarkan menjadi antitesa dari Megawati, yang dianggap lemah, dan gagal.
Tetapi, ketika SBY berkuasa, semuanya gambaran dan harapan yang ada, khususnya terhadap SBY, seperti tokoh turun dari langit, ternyata sama saja : "nothing". Bahkan, Indonesia dikatakan oleh lembaga internsional di Amerika, Indonesia masuk dalam kategori negara gagal (failed state).
Sekarang pun, mulai rakyat di aduk-aduk emosinya, di mana dengan hasil polling dari berbagai lembaga mulai di elu-elukan yaitu Letnan Jendral Prabowo Subianto. Seperti istilah Permadi, disebut sebagai "satrio piningit" (tokoh yang dipersiapkan dari alam gaib), yang akan dapat mengatasi seribu macam persoalan yang ada. Bahkan, sudah diskenariokan akan disandingkan dengan Jokowi, sebagai capres dan cawapres di tahun 2014. Sesudah Jokowi terpilih menjadi gubernur.
Tetapi, semua itu hanyalah "pepesan kosong", yang tak akan pernah terwujud, dan hanya angan-angan belaka, akibat dari opini yang terus menerus dibangun oleh media, sebagai bentuk pencitraan.
Ibaratnya, orang tidur sedang dibuai mimpi, dan ketika bangun mereka hanya bisa terbelakak belaka. Melihat kenayataan yang berbeda dengan alam mimpi. Inilah impian rakyat miskin yang terus-menerus tertindas. Mereka hanya bisa terus bermimpi. Silakan bermimpi tentang pemimpin. Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!