Selasa, 16 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Februari 2010 12:06 wib
2.724 views
Makar Musuh Menyelinap Ke Dalam Tubuh !!!
Masih ingat dengan Watsiqat Tarsyid Al-Amal Al-Jihadi fi Mishra wal Alam karya Abdul Qadir Abdul Aziz? Ya, karena mantan petinggi Jamaah Jihad Mesir itu sempat membuat geger dunia jihad internasional. Pasalnya, dalam tulisan tersebut, Abdul Qadir Abdul Aziz mengkritisi beberapa langkah Al-Qaidah. Gayung pun bersambut. Ayman Zawahiri, sesama tokoh Jihad asal Mesir pun harus turun bicara. Meski ini bukan karya pertama yang mengkritisi Al-Qaidah, namun baru kali ini Ayman mengomentari pemikiran Abdul Qadir Abdul Aziz. Fenomena ini turut memperhangat cuaca pemikiran jihad di tanah air. Kalangan yang cenderung kritis terhadap Al-Qaidah, misalnya kelompok Sabili, menerbitkan taraju’ tersebut dalam edisi Indonesia. Sementara pihak yang pro, cukup aktif menyebarkan bantahan Aiman berbagai media.
Lupakanlah hiruk-pikuk akibat rilis Watsiqat itu. Beralihlah ke statemen Abu Yahya Al-Libbi. Dalam sebuah rilis video berdurasi sekitar 40 menit, salah satu dari dua orang yang berhasil kabur dari penjara Bagram bersama Umar Al-Faruq—rahimahullah—juga memberikan tanggapan yang sekilas tampak sama dengan komentar petinggi Al-Qaidah lainnya. Namun, satu kesimpulan cukup menarik ia tegaskan di dalamnya. Al-Libbi menganggap bahwa rilis buku tersebut (Watsiqat) merupakan bagian dari makar musuh. Tujuannya, menurut Al-Libbi sudah jelas. Membuat mujahidin sibuk dengan perdebatan, tanggapan dan bantahan sehingga lalai dari amal-amal jihad sesungguhnya, yaitu berjihad melawan musuh yang nyata. Yang juga menarik, Al-Libbi sama sekali tidak mencela Abdul Qadir Abdul Aziz. Ia tidak menyebut mantan tokoh Jamaah Jihad itu sebagai “penulis,” namun menyebut buku tersebut sebagai sesuatu “yang disandarkan” (mansubah) kepada Syaikh Abdul Qadir. Meski beredar video Syaikh Abdul Qadir merilis resmi Watsiqat tersebut. Bahkan, dalam menyebut nama Abdul Qadir pun Al-Libbi menambahinya dengan doa kebaikan: “farrajallahu lahu.”
Ini menegaskan keyakinan Al-Libbi bahwa buku tersebut, sekali lagi, merupakan bagian dari konspirasi besar melawan jihad dan mujahidin. Boleh jadi, Watsiqatlaunching buku tersebut. Kalaupun iya, tak lepas dari konspirasi dan campur tangan musuh. Sebuah kejelian dalam memandang sesuatu lebih utuh dan mendalam, tidak sekadar larut perbantahan dan asal debat. Tentu, di samping menunjukkan ketinggian akhlak seorang mujahid yang tetap berusaha menjaga kehormatan sesama muslim, dengan tidak menyerang pribadinya. Wacana dibantah dengan wacana, tak sampai menohok karakter dan kepribadian seseorang. Lain dengan kondisi lokal kita, di mana sosok yang tidak jelas dengan mudah melemparkan tuduhan dan fitnah kepada tokoh-tokoh gerakan jihad Indonesia—entah lewat internet atau selebaran gelap—menyanjung satu tokoh dan menghujat tokoh lain. Sebuah perubahan cuaca gerakan yang sangat drastis dan mencurigakan, sehingga patut diduga menjadi bagian dari operasi intelijen musuh dalam rangka character assassination (pembunuhan karakter) tokoh-tokoh tertentu. tersebut tidak ditulis oleh Abdul Qadir—meski yang bersangkutan merilis video saat
Menciptakan suasana hiruk-pikuk penuh perbantahan dan perdebatan di kalangan mujahidin hanyalah satu dari sekian makar musuh-musuh Islam. Dalam video yang sama, Al-Libbi mengungkapkan dua makar lain. Pertama, penggunaan senjata untuk membunuh para mujahidin. Pertempuran face to face, mengerahkan segenap mesin-mesin perang untuk memberangus mujahidin. Sebuah tindakan nyata yang dapat didengar, dilihat dan dirasakan oleh siapapun, sebagaimana hari ini terjadi di Iraq, Afghanistan dan bumi jihad lainnya. Kedua, bersifat tersembunyi—sama seperti penciptaan suasana hiruk pikuk di atas, lebih kepada aksi intelijen. Yaitu, menyewa ulama-ulama suu’ agar mau mendeligitimasi jihad. Muncullah penafsiran-penafsiran aneh yang memandulkan makna jihad sehingga menyeleweng. Meski cukup efektif dalam mempengaruhi sebagian kaum Muslimin di satu sisi, di sisi lain terjadi kanalisasi pemikiran yang cukup kentara. Hanya manjur di kalangan awam, sementara ahlul ilm dan orang-orang yang jujur dapat membedakan mana fatwa pesanan dan mana yang bukan.
Selain tiga hal di atas yang di urai Al-Libbi, setidaknya masih tersisa dua hal yang menjadi strategi musuh dalam memberangus jihad dan mujahidin. Pertama, operasi sosial dengan penyebaran opini plus sedikit tekanan (intimidasi) sebagai senjata utama. Bagaimana menciptakan lingkungan sosial yang tidak mendukung jihad dan mujahidin. Sosok mujahid dicitrakan sebagai tukang pembuat onar dengan julukan teroris. Contoh kongkritnya belum lama kita rasakan saat pemakaman jenazah Urwah dkk—rahimahumullah. Betapa masyarakat yang sebenarnya adem-adem saja tiba-tiba disulut seolah benar-benar membenci para “teroris” tersebut. Rangkaian berita yang dimuat di media massa waktu itu sama sekali tidak mencantumkan rekayasa dan intimidasi oknum-oknum tertentu. Masyarakat dikondisikan sedemikian rupa untuk menjauhi jihad dan mujahidin. Sayangnya, pada saat berbarengan, terkadang para aktivis justru—entah mengapa—berucap dan bertindak kontra-produktif, yang malah membuat masyarakat lari dan membenci mereka. Klop sudah.
Terakhir, virus internal yang seringkali tidak disadari oleh kalangan aktivis jihad: infiltrasi dan provokasi. Musuh sengaja membantu mematangkan sebuah rencana aksi jihad, memprovokasi sebagian mujahidin untuk melakukan aksi-aksi prematur. Prematur dalam arti kurang mempertimbangkan kajian strategis bagi kelangsungan gerakan selanjutnya. Kalau pun terencana, semua data dan informasi kegiatan tersebut sudah dipantau oleh musuh. Tak jarang, tiba-tiba mereka hadir di kalangan jihadis sebagai sosok yang begitu bersemangat mendukung jihad. Bahkan menyatakan sanggup menyandang dana dan logistik. Sehingga ketika terjadi sebuah aksi, dengan gampang musuh mampu menggulung, dan melakukan hajat tersembunyi yang sengaja ditunggangkan kepada aksi tersebut. Pola semacam ini memiliki motif beragam. Bisa menjadi sarana pengalihan isu—saat musuh secara politis terdesak oleh lawan-lawan politiknya, atau sengaja menjadikan buah jihad itu matang sebelum waktunya, sehingga “dampak negatif” jihad bagi mereka mampu dilokalisir dan diantisipasi. Dampak destruktif bagi mereka tak sampai seperti kalau buah jihad matang dengan sempurna.
Sebagai dzirwatu sanam (puncaknya) Islam, ibadah jihad memiliki fadhilah yang jauh lebih tinggi daripada amal-amal lainnya. Itu pulalah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin tak pernah absen menorehkan perjalanan jihad dari masa ke masa. Kita tentu tak ingin menjadikan jihad yang dibangun kaum Muslimin didasarkan pada suatu rekayasa yang malah dirancang oleh musuh-musuh Islam, untuk berbagai kepentingan mereka yang justru merugikan kaum Muslimin. Kita tentu tak rela bila ibadah jihad yang mengorbankan segala-galanya yang terbaik yang dimiliki umat Islam ini, buahnya malah dipetik oleh musuh-musuh Islam. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggembosi ruh dan amal jihad. Hanya sebuah ekspresi ketidakrelaan penulis bila telaga darah dan airmata yang telah dikucurkan umat ini berujung kepada sorak dan tawa kemenangan musuh, atas keberhasilan makarnya. Cukuplah Ali Moertopo dengan Opsus (Operasi Khusus) nya yang terkenal menjadi episode terakhir bagi tragedi jihad di negeri negeri ini. Tak ada lagi generasi penerusnya. Hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!