Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Juni 2017 23:56 wib
13.083 views
Perjuangan Perempuan Generasi Milenial (80-90an) Menjalani Peran sebagai Ibu
Oleh: Karina Hakman
Bunda salihah sahabat voa-islam yang dirahmati Allah...
Adakah di antara bunda yang pernah merasa stres menjalani perannya sebagai seorang Ibu? Inilah kita, generasi perempuan yang sejak kecil sampai usia 21 tahun atau lebih dididik untuk menjadi wanita karir.
Zaman dulu, satu titik ekstrem meletakkan perempuan hanya pada ruang dapur, sumur, dan kasur. Di sisi lain, ada titik ekstrem yang dibawa sistem pendidikan generasi kita yaitu mempersiapkan perempuan untuk menjadi wanita karir, saja.
Sepanjang 16 tahun atau bahkan lebih kita mengenyam pendidikan, tak pernah dikenal kurikulum bagaimana membangun keluarga yang baik. Tidak ada "kurikulum menjadi istri dan suami", atau "kurikulum menjadi ayah dan ibu".
Hanya sebagian dari kita beruntung sekali memiliki orang tua yang mengajarkan tentang hal-hal tersebut di rumah. Sebagian yang lain tidak, sehingga mereka tidak kenal dunia anak, dunia manajemen rumah tangga, dan dunia keluarga. Semuanya sudah terbiasa diurus oleh pembantu, dari mulai mengurus adik, mengatur nutrisi dan pasokan rumah tangga, beserta urusan kenyamanan layak huninya.
Maka jadilah sekarang perempuan generasi kita, gelagapan. Mayoritas dari kita terkaget-kaget dengan berbagai rutinitas menjadi seorang ibu yang serba kejutan. Karena membesarkan anak ternyata tidak bisa dijadwalkan seperti saat kita dulu membuat skripsi. Mengatur kurikulum pendidikan anak pun tak sama seperti kita mengatur jadwal kerja atau meeting bersama klien.
Belum lagi dengan kelelahannya. Kita terbiasa lelah berpikir strategis. Berpikir menjawab soal atau menulis esai. Kita terbiasa membuat acara, seminar, dan menjadi event organiser. Tapi kita tak pernah diajar lelah bagaimana menjaga rumah tetap nyaman, menjaga nutrisi keluarga, dan mengatur waktu agar semua kebutuhan cinta terpenuhi.
...Karena membesarkan anak ternyata tidak bisa dijadwalkan seperti saat kita dulu membuat skripsi. Mengatur kurikulum pendidikan anak pun tak sama seperti kita mengatur jadwal kerja atau meeting bersama klien...
Kita terbiasa untuk menjaga emosi terhadap sesama rekan kuliah atau menjaga profesionalitas di hadapan rekan satu tim kerja. Tapi kita belum pernah latihan menjaga emosi terhadap anak kecil yang entah maunya apa, atau mainan yang baru saja dibereskan dan dikeluarkan kembali: dilempar, dipukul-pukul, dst.
Inilah kita, generasi 80-90'an, yang terbiasa hidup di dunia bernama "akademis" dan "kerja kantoran". Menjadi wanita karir bukanlah selalu salah, karena kontribusi perempuan memang selalu diperlukan. Namun yang menjadi PR adalah mengembalikan fitrah kita sebagai suami dan istri, sebagai ayah dan ibu, sejak dini.
Kita hidup bukan untuk bekerja dan mencari uang.
Kita mencari uang dan bekerja, untuk hidup, untuk meningkatkan kesejahteraan orang banyak.
Untuk itulah, kalaulah ada yang membaca tulisan ini, kalaulah para bunda termasuk yang merasa begitu banyak tantangan untuk menjadi seorang istri dan ibu, percayalah you are not the only one.
Bersabarlah, masih banyak korban lain atas nama "pemerataan sistem pendidikan" yang selama ini kita enyam (termasuk saya). Untuk itulah, saya sering sangat memaklumi, kalau ada ibu-ibu yang stres dan sangat rapuh meski baru memiliki satu anak.
Bagi saya, pemakluman lebih kita perlukan untuk bisa "tetap waras" dan "mau" melanjutkan hidup sebagai seorang istri dan Ibu, daripada memilih untuk tidak menikah atau tidak ingin memiliki anak. Atau lebih parah lagi memilih mengakhiri hidup (sudah ada kasusnya kan dulu?). Naudzubillah mindzalik.
Saya yakin dan percaya, kebanyakan dari perempuan generasi kita sudah sadar, tentang fitrahmya sebagai istri dan ibu. Hanya saja semua itu butuh proses yang tak mudah.
Tentulah tak mudah, mengubah paradigma dan gaya hidup "wanita karir" yang tertanam selama 20 tahun lebih pada kita, menjadi kembali pada fitrahnya yakni seorang istri dan ibu.
Kontribusi wanita karir akan senantiasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat di luar sana. Namun menjadi wanita karir yang tetap full time Ibu adalah sesuatu yang generasi kita sedang berusaha untuk wujudkan. Bagi saya, inilah PR para Ibu generasi kita yang perlu diwariskan ke generasi di bawah kita.
Dari pengalaman-pengalaman inilah, dari jatuh bangunnya kita, para peneliti dan pembelajar nantinya mampu memformulasikan sebuah impian berjudul "work-life balance".
Terakhir, saya hanya berharap agar semua Ibu berprestasi di luar sana,
yang sedang berjuang mengembalikan fitahnya sebagai istri dan ibu,
Allah lapangkan hatinya,
Allah kuatkan jiwa dan raganya,
untuk menemukan jati dirinya kembali.
Agar rumah kita menjadi "tempat kerja" kita yang utama.
Agar mengasuh anak menjadi "job desc" kemahiran kita.
Agar membangun keluarga menjadi pekerjaan kita sesungguhnya, ❤️sebelum pekerjaan yang lain.
Allahua'lam bishawab.
Salam hangat dan cinta,
untuk ibu-ibu sedunia ❤️
(riafariana/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!